Mohon tunggu...
Gan Pradana
Gan Pradana Mohon Tunggu... Dosen - Hobi menulis dan berminat di dunia politik

Saya orang Indonesia yang mencoba menjadi warga negara yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Retaknya Kohesi Sosial dan "Terorisme" di Mako Brimob

9 Mei 2018   17:56 Diperbarui: 9 Mei 2018   18:07 997
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PARTAI NasDem untuk kali yang pertama, Selasa (8 Mei) malam, menggelar diskusi mingguan bertajuk "Dialog Selasa". Topik atau isu yang diangkat dalam edisi pertama kemarin adalah "Kohesi Sosial yang Mulai Retak" dengan pembicara pengamat politik J Kristiadi dan wartawan senior Saur Hutabarat.

Penasaran dengan isu tersebut, saya coba mengikuti diskusi yang dipandu Direktur Pemberitaan Media Indonesia Usman Kansong tersebut dari awal hingga akhir.

Terus terang saya penasaran mengapa tema yang diangkat mencantumkan kata "kohesi" yang bagi sebagian di antara kita asing dengan kata ini. Apalagi di kalangan anak-anak zaman now.

Iseng saya buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Di sana ada penjelasan bahwa kohesi (dalam ilmu fisika) adalah tarik-menarik di antara molekul sejenis dalam suatu benda.

Makna lainnya adalah hubungan yang erat; perpaduan yang kokoh: keangkuhan dapat mengancam rasa solidaritas sosial dan kekurangan masyarakat.

Pastinya NasDem mengaitkan kata "kohesi" dengan makna yang kedua, yaitu "hubungan yang erat dan perpaduan yang kokoh" dalam masyarakat (kehidupan sosial) yang belakangan retak dan (mungkin) telah rusak.

Mengapa retak dan rusak? Untuk sementara lewat diskusi tersebut, saya mendapatkan jawaban dari Kristiadi. Dia mengatakan rusaknya kohesi sosial kita belakangan ini lantaran para elite politik memperebutkan kekuasaan tanpa memertimbangkan nilai dan norma hukum yang telah diatur dalam konstitusi negara.

Jika kita amati geliat politik belakangan ini, para elite politik memang tengah berupaya memperebutkan kekuasaan tanpa memertimbangkan moral dan norma hukum.

Peristiwa terbaru belakangan ini barangkali bisa dijadikan contoh. Negara (pemerintah) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah dibubarkan dan beberapa hari lalu pembubaran itu telah dikuatkan dengan ditolaknya gugatan HTI oleh PTUN.

Itu artinya secara konstitusi dan berdasarkan norma hukum, HTI adalah organisasi terlarang karena organisasi ini dan para pengikutnya berniat menggantikan ideologi negara Pancasila dengan ideologi lain.

Namun, tak sampai hitungan minggu, ada empat partai yang siap menampung para anggota dan pentolan HTI. Kita maklum (terpaksa), sebab empat partai itulah yang selama ini mendukung HTI dan bersimpati kepada umat HTI dalam rangka meraih kekuasaan.

Keempat partai itu apa saja, silakan cari sendiri informasinya di Google. Kita hanya bisa berharap semoga keempat partai itu bisa membina para eks-HTI untuk pulang ke pangkuan ideologi Ibu Pertiwi.

Logika politik, HTI kini menjadi organisasi terlarang. Para pengikutnya yang disebut-sebut 1.000.000 orang itu selayaknya bersyukur sebab mereka tidak diperlakukan layaknya saudara-saudara kita yang dulu pernah terlibat atau difitnah menjadi anggota PKI.

Pasalnya, negara kini sedang membangun etika dan nilai-nilai keadaban, meskipun keadaban dan norma hukum yang tengah dibangun itu kerap ditafsirkan bahwa negara (pemerintahan) dalam posisi lemah dan kemudian dimanfaatkan para begundal politik untuk menebar kebencian dan fitnah.

Oleh sebab itu saya sependapat dengan Kristiadi yang dalam diskusi itu melanjutkan bahwa cara-cara tak santun (melanggar norma hukum dan nilai-nilai) itu dapat merusak kohesi atau hubungan yang erat di masyarakat.

Ia memberikan contoh, sejak era orde lama hingga reformasi saat ini sudah banyak tokoh besar pendiri bangsa jatuh karena ada gesekan dalam memperebutkan kekuasaan.

"Fenomena perebutan kekuasaan ini jadi daya rusak yang sangat dahsyat terhadap kohesi sosial masyarakat," tutur Kristiadi sebagaimana dikutip koran Media Indonesia, Rabu (9/5).

Kristiadi mengatakan, cara memperebutkan kekuasaan dengan menggabung-gabungkan ajaran agama apa pun dapat meretakkan kohesi sosial. Karena berlatar belakang Katolik, Kristiadi mengungkapkan, kohesi sosial sempat retak di Eropa saat umat Katolik di sana menetapkan Paus sebagai pemimpin tertinggi bagi umat Katolik dan memonopoli kebenaran bahwa Yesus Kristus sebagai milik mereka.

"Penggunaan politik identitas untuk merebut kekuasaan tidak dapat dimungkiri menjadi salah satu faktor yang bisa merusak kohesi sosial dalam masyarakat," tegas Kristiadi.

Siti Nurbaya Bakar selaku penggagas acara Dialog Selasa menyebut bahwa demokrasi di Indonesia telah memunculkan ciri demokrasi yang dianggap lemah dalam etika.

Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini, demokrasi yang lemah beretika itu, menurut Siti Nurbaya, telah merambat ke tingkat akar rumput dan berstatus sangat mengkhawatirkan.

Jika demokrasi hanya dicirikan dengan sistem pemilihan umum atau pendekatan elektoralisme, seperti diungkap Siti Nurbaya, maka demokrasi hanya diartikan sangat sempit dan menyuburkan tumbuhnya rezim-rezim yang berebut kekuasaan.

Demokrasi seperti itu, jelas sangat berisiko. Mengutip Olle Tornquist, Siti Nurbaya mengatakan, jika demokrasi model seperti itu diteruskan, bukan tidak mungkin akan lahir situasi yang lazim disebut "demokrasi kaum penjahat".

Bukan cuma Siti Nurbaya, kita pun menengarai demokrasi kaum penjahat itu sudah menggejala di Indonesia. "Ancaman seperti ini sudah muncul ketika perilaku anarkis muncul saat pilkada," ungkap Nurbaya.

Persoalan yang paling mutakhir, disebut Nurbaya, adalah lemahnya komunikasi politik, munculnya isu dan kesimpangsiuran informasi. Ini lebih mengkhawatirkan sebab "demokrasi penjahat" sudah benar-benar dimasukkan ke akar rumput.

Apa yang diungkapkan Siti Nurbaya saya coba kaitkan dengan informasi tentang kasus terbaru kerusuhan di Mako Brimob yang saat saya menulis catatan ini, para tahanan terorisme masih menyandera anggota kepolisian dan lima petugas tewas.

Para aktor politik memanfaatkan akar rumput memutarbalikkan fakta tentang peristiwa itu. Dalam situasi seperti itu ada pula anggota masyarakat yang malah bersorak-sorak gembira dan menulis pesan seperti ini: "Alhamdulillah sudah 10 kuffar (kafir) dari Densus yang mati ..."

Ada pula yang menulis: "Aminnn ya Allah, semoga terus bertambah kufar denjing yang modar. Amin".

Silakan renungkan, kohesi sosial seperti apa yang akan mewarnai perjalanan bangsa ini jika di akar rumput, situasinya sudah seperti itu?

Saya menduga jika aparat bertindak tegas terhadap para tahanan teroris itu menyusul penyanderaan yang mereka lakukan, pasti ada elite politik yang mengeluarkan kecaman dan sama sekali tidak pernah mengecam aksi brutal yang dilakukan para teroris yang telah menewaskan lima anggota polisi.

Benar apa yang dikatakan Saur Hutabarat di acara diskusi itu bahwa kohesi sosial itu benar-benar terlihat retak di media sosial. Info hoaks dan ujaran kebencian begitu masif, sistematis dan terstruktur di media sosial.

Teknologi informasi berkembang secara cepat, tetapi menurut Saur, banyak di antara kita yang belum melek bermedia sosial. Nilai-nilai menghormati perbedaan belum tertanamkan dengan baik.

Akan semakin terpurukkah bangsa ini? Tidak. Mantan menteri semasa orde baru, Siswono Yudo Husodo, menjelaskan bahwa keretakan kohesi sosial di masyarakat dapat diatasi melalui upaya penegakan hukum yang jelas dan tegas.

Negara sama sekali tidak boleh berkompromi dengan pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan dengan cara inkonstitusional atau dengan menunggangi kasus-kasus hukum.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun