Mohon tunggu...
Gan Pradana
Gan Pradana Mohon Tunggu... Dosen - Hobi menulis dan berminat di dunia politik

Saya orang Indonesia yang mencoba menjadi warga negara yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Nyalon" DKI-1? Mikir Kata Cak Lontong

30 April 2016   11:29 Diperbarui: 30 April 2016   11:57 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Foto: Dokumen Pribadi

PARA pembenci (haters) Ahok dan pendukung Ahok hingga hari ini masih terus “berjibaku” di media sosial. Para tokoh yang merasa layak jadi “kandidat” calon gubernur DKI Jakarta terus bermanuver hingga melupakan logika politik. Bisa dimaklumi, sebab mereka berprinsip “yang penting bukan Ahok”.

Buat para “penonton” (warga DKI yang bersikap netral dan warga Botabek), ulah para haters Ahok dan pendukung Basuki Tjahaja Purnama tak ubahnya stand-up comedy yang membuat penonton tertawa. Malah, ada pula penonton yang sulit tertawa karena tingkah polah dan ucapan mereka benar-benar tak lucu.

Tapi, tak apalah, hitung-hitung ini hiburan menjelang Pilkada Serentak 2017. Jakarta sekarang ini memang jadi panggung utama. Ibarat nonton film kartun, kita sedang menyaksikan Tom & Jerry, keduanya saling menggebuk, tapi nggak mati-mati. Banyak malah yang bernasib seperti Tom yang “ngos-ngosan” karena si Jerry pintar berkelit dan balik bertingkah memancing Tom agar kembali menyerang.

Mari kita kembali ke logika (hitung-hitungan) politik pemilu kepala daerah (pilkada) di Jakarta. Aturan mainnya, sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 8 Tahun 2015, sudah jelas, terang benderang.

Dalam Pasal 40 UU itu disebutkan bahwa: (1) Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.

(2) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika hasil bagi jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menghasilkan angka pecahan maka perolehan dari jumlah kursi dihitung dengan pembulatan ke atas.

(3) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(4) Partai Politik atau gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengusulkan 1 (satu) pasangan calon, dan calon tersebut tidak dapat diusulkan lagi oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik lainnya.

Lalu bagaimana dengan calon perseorangan (populer dengan sebutan independen), khusus untuk gubernur? Ketentuannya tertuang di dalam  Pasal 41 yang bunyinya seperti ini: (1) Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur jika memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:

a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen);

b. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen);

c. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen);

d. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan

e. jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kabupaten/kota di Provinsi dimaksud.

Sampai sedemikian jauh, khusus untuk DKI Jakarta, sementara ini calon gubernur yang bakal maju lewat jalur perseorangan adalah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Itu berarti Ahok dan timnya antara lain harus mematuhi bunyi Pasal 41 ayat (1) butir (d), karena jumlah penduduk Jakarta lebih dari 12.000.000 jiwa.

Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) belum lama ini menganulir bunyi ketentuan dalam UU tersebut. MK mempermudah syarat calon kepala daerah dari jalur independen. Persentase syarat dukungan 6,5% tidak lagi berdasarkan jumlah penduduk, melainkan atas dasar jumlah pemilih tetap di pilkada.

Itu berarti, Ahok harus mengumpulkan dukungan paling sedikit 532.000 orang. Dalam soal ini, posisi Ahok aman, sebab Teman Ahok sampai hari ini (Sabtu 30 Mei) berhasil mengumpulkan dukungan yang dibuktikan dengan fotokopi KTP sebanyak 710.000-an orang. Posisinya bertambah aman, sebab ia didukung Partai NasDem dan Partai Hanura.

Sekarang mari kita tengok logika (aturan main) pilkada di DKI Jakarta berdasarkan undang-undang. Berdasarkan hasil Pemilu 2014, total jumlah kursi di DPRD DKI Jakarta ada 106.

Ke-106 kursi itu habis terbagi untuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebanyak 28 kursi; Partai Gerindra (15 kursi); Partai Keadilan Sejahtera (11 kursi); Partai Persatuan Pembangunan (10 kursi); Partai Demokrat (10 kursi); Partai Hati Nurani Rakyat (10 kursi); Partai Golongan Karya (9 kursi); Partai Kebangkitan Bangsa (6 kursi); Partai NasDem (5 kursi); dan Partai Amanat Nasional (2 kursi).

Di DPRD DKI Jakarta terdapat sembilan fraksi. Dua kursi (anggota) PAN bergabung ke Partai Demokrat, sehingga “koalisi” dua partai ini mempunyai 12 kursi.

Syarat bagi parpol untuk bisa mengajukan calon gubernur dan wakil gubernur di Jakarta, masih berdasarkan ketentuan dalam pasal UU Pilkada di atas, minimal harus punya 23 kursi.

Itu berarti dari sembilan parpol yang punya kursi di DPRD DKI Jakarta, hanya PDIP yang bisa melenggang sendirian mengajukan calon gubernur secara “independen” (baca: terserah gua, dong) karena punya 28 kursi.

PDIP belum lama ini mengumumkan ke publik ada 34 orang dari luar partai yang mendaftar (melamar) atau mengajukan diri menjadi calon gubernur. Beberapa di antaranya adalah Yusril Ihza Mahendra, Sandiaga Uno, Haji Lulung dan Farhat Abbas.

PDIP belum mengumumkan secara resmi ke publik siapa calon gubernur yang diusung dari intern partai. Nama-nama yang santer berputar-putar dilempar ke publik adalah Djarot Saiful Hidayat (wakil gubernur DKI Jakarta), Tri Rismaharini (wali kota Surabaya), dan Ganjar Pranowo (gubernur Jawa Tengah).

Banyak orang menduga-duga, PDIP secara diam-diam sudah menyiapkan calon unggulan. Satu di antaranya adalah Sjafrie Sjamsoeddin. Ia pernah menjadi  pangdam Jaya saat Jakarta dilanda kerusuhan Mei 1998. Sjafrie disebut-sebut juga diincar Partai Gerindra.

Fakta: PDIP punya 28 kursi. Mungkinkah partai ini mengusung salah satu dari 34 pelamar calon gubernur dari luar partai, seperti Yusril, Sandiaga Uno, atau sosok seperti Farhat Abbas. Mengutip kata-kata Cak Lontong: “Pikir.”

Fakta: Yusril juga melamar ke partai lain, seperti Demokrat dan Gerindra. Fakta lain, di DPRD Partai Demokrat “berkoalisi” dengan PAN. Total sudah punya 12 kursi. Perlu 11 kursi lagi untuk bisa mengajukan cagub.

Berkongsi dalam rangka mengusung cagub – apalagi di Jakarta – tidak semudah dua sahabat saling merangkul, apalagi “cipika cipiki”. Maklum, banyak kepentingan. Jika didasarkan pada hitung-hitungan kertas,  bisa saja PKS yang punya 11 kursi dirangkul, sehingga ketiga partai itu punya 23 kursi.

Ingat, PKS pernah berjaya lho di Jakarta. Kalau bergabung, partai ini pasti mengajukan kadernya sendiri. Katakanlah Hidayat Nur Wahid atau Nur Mahmudi Ismail (mantan wali kota Depok) yang diusung, relakah Demokrat dan PAN?

Bingung? Ah, sudahlah ambil jalan tengah saja, usung Yusril, Lulung atau Farhat Abbas untuk mengalahkan Ahok, maukah Demokrat, PAN dan PKS? Lha, kok, enak tenan (bahasa Jawa: lho, kok, enak sekali)? Itu pasti jawaban mereka. Meniru kata-kata Cak Lontong, ayo  “mikir”.

Yuk, kita lirik Partai Golkar yang sampai sekarang masih tenang-tenang karena sedang sibuk memikirkan musyawarah nasional luar biasa. Ah, siapa tahu Yusril diusung Golkar yang punya 9 kursi di DPRD DKI. Karena masih kurang, dilobilah PKB yang punya 6 kursi.

Total Golkar-PKB punya 15 kursi. Jumlah ini masih kurang, Bo? Kalau begitu sekalian saja merapat ke Gerindra yang punya 15 kursi, sehingga gabungan ketiga partai ini total punya 30 kursi.  Ini jelas memenuhi syarat untuk mengajukan cagub (Yusril).

Jika aksi nekat itu yang dilakukan, maka akan pecah rekor MURI, Yusril-lah satu-satunya calon gubernur DKI Jakarta yang diusung tiga partai dengan total dukungan 30 kursi.

Persoalan, maukah Golkar memberikan dukungan gratisan, sebab partai ini berdasarkan sejarah, sudah terbiasa menempatkan kader-kadernya duduk di pusat kekuasaan, terutama selama 32 Orde Baru berkuasa?

Lalu bagaimana pula dengan PKB yang tempo hari pernah menerjunkan kader terbaiknya, Ahmad Dhani, ke Kalijodo dalam rangka melawan Ahok?  Ahmad Dhani sendiri menyatakan sudah menyerah, dan ini peluang buat Yusril. Tapi, sayangnya, garis ideologi Yusril (PBB) berbeda dengan PKB yang Nahdlatul Ulama. Lha, ayo “mikir,” kata Cak Lontong.

Sekarang kita coba kocok Gerindra dan PKS. Jika suara kedua partai ini digabung akan menghasilkan 26 kursi. Lumayanlah bisa menyaingi PDIP. Gerindra dan PKS sampai saat ini masih bermesra-ria di Koalisi Merah Putih (MPP) yang makin tak jelas itu.

Lagi-lagi, tegakah kedua partai itu mengusung Yusril, Farhat Abbas dan Haji Lulung, misalnya? Selayaknya kita tiru gaya Cak Lontong berstand-up comedy: “pikir”.

Ah, Haji Lulung, rupanya juga masih berminat menjadi DKI-1 dan dalam rangka menuju ke sana ia melakukan survei elektabilitas sendiri. Hasilnya tentu amat gemilang, 48,5%. Bukan main!

Di DPRD DKI, partainya, PPP punya 10 kursi. Masih kurang, nih? Sama-sama berideologi Islam, bisa saja PPP menggandeng PKS yang punya 11 kursi, sehingga total ada 21 kursi. Eiit..., masih kurang.

Kalau mau nekat, Lulung dan PPP bisa melirik lagi ke PAN yang punya 2 kursi. PAN disuruh "bercerai" dengan Demokrat. Kongsi ketiga partai itu (PPP, PKS dan PAN) punya 23 kursi, pas untuk bisa mengajukan Lulung menjadi DKI-1.

Tapi, fakta membuktikan, Lulung sudah dipecat dari PPP yang kini dipimpin Romahurmuziy (Romy). Lalu, bagaimana, dong? Semoga haters Ahok bisa membantu mencarikan solusi buat Lulung, juga Yusril, dan yang lain-lain.

Jika mereka buntu, solusi yang paling jitu adalah terus mengincar Ahok, eh... siapa tahu, mantan bupati Belitung Timur itu masih menyimpan "borok". Jangan lupa sebarluaskan "borok" Ahok ke media sosial. Jangan lupa iringi dengan "doa". []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun