Mohon tunggu...
Gan Pradana
Gan Pradana Mohon Tunggu... Dosen - Hobi menulis dan berminat di dunia politik

Saya orang Indonesia yang mencoba menjadi warga negara yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok dan Senjakala PDIP Mega

10 Maret 2016   17:31 Diperbarui: 10 Maret 2016   17:40 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Senjakala PDIP. Foto: metrotvnews.com"][Senjakala PDIP. Foto: Metrotvnews.com]

 

PENGUASA Orde Baru ketika masih berjaya pernah memberlakukan apa yang disebut dengan “massa mengambang”. Saya bagian dari massa mengambang tersebut yang memilih partai politik pada saat pemilu berdasarkan situasi dan kondisi.

Beberapa kali pemilu, saya memilih Golkar yang waktu itu alergi disebut partai. Setelah Orde Baru tumbang, saya giliran memilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dipimpin Megawati Sukarnoputri, perempuan yang oleh orang-orang dekatnya selalu diembel-embeli dengan “ibu”. Maklum kalau mereka tidak menyebut “ibu” -- apalagi tidak menurut -- bisa kualat atau tidak diberi tempat.

Saya memilih partai berlogo banteng bermoncong putih itu karena semangat kerakyatannya memang tinggi. Idealisme kebangsaannya lumayanlah dibandingkan partai-partai lain yang kalau terpojok mau kalah selalu memakai jurus “mabok” menjual ayat-ayat cinta (agama).

Ketika Pemilu 2014 digelar ada partai baru bernama NasDem. Ideologi partai ini boleh dibilang sama dengan PDIP. Sepertinya visinya pun demikian, sama. Oleh sebab itulah kedua partai ini kompak mencalonkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden pada Pilpres 2014.

Guna memenangkan Jokowi, PDIP dan Partai NasDem bahkan berkolaborasi membentuk media center bersama yang markasnya di Jl Cemara, Menteng, Jakarta Pusat. Di markas media center inilah, berbagai isu dan strategi komunikasi disiapkan dalam rangka pembentukan opini publik. Ujung-ujungnya Jokowi terpilih menjadi presiden.

NasDem bersedia bergabung dengan PDIP karena Jokowi adalah sosok calon presiden yang memang dikehendaki rakyat. Pilihan dan dukungan NasDem memang tidak sia-sia, terbukti Jokowi setelah menjadi presiden benar-benar pro-rakyat, sederhana dan berorientasi kerja, kerja dan kerja.

Sejak Jokowi terpilih menjadi presiden, tanpa disadari pola pikir rakyat sudah berubah. Ketokohan seseorang jauh lebih penting daripada sosok partai. Rakyat akan bersimpati kepada parpol jika parpol dan petingginya mau menganut prinsip “tut wuri handayani” (mengikuti dari belakang apa yang diharapkan rakyat).

Rakyat memilih Jokowi tempo hari bukan karena PDIP atau NasDem dan partai pendukung lainnya, tapi karena sosok Jokowi yang bersahaja dan dianggap representasi dari rakyat.

Cara rakyat memilih Jokowi rupanya berlanjut saat proses pilkada berlangsung. Rakyat di daerah memilih pemimpin tidak lagi melihat partai apa yang mengusung sang calon, tapi melihat siapa tokoh yang diusung. Terpilihnya Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung) dan Risma Harini (Wali Kota Surabaya) dan masih banyak lagi adalah contoh konkret memilih pemimpin “model baru”.

Andai saja Risma dalam Pilkada 2015 kemarin diusung kumpulan partai gurem, ia pasti juga akan menang. Fakta membuktikan, Risma bukan kader PDIP, tapi PDIP-lah yang menumpang popularitas dan kerja keras Risma. Rakyat Surabaya tentu berterimakasih kepada PDIP yang peka dengan keinginan warga Surabaya, lalu mengusung Risma.

Warga Jakarta semula menduga PDIP akan mengusung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) setelah Partai NasDem lebih dulu mendukung Ahok tanpa syarat dalam proses pencalonannya  menjadi gubernur DKI Jakarta pada Pilkada Serentak 2017.

Namun, dugaan warga Jakarta itu tidak terbukti. Beralasan “ada mekanisme yang harus dilewati Ahok”, partai itu tidak sudi mengusung atau mendukung Ahok yang lebih dulu “dikuasai” Teman Ahok. Apa pun dalih PDIP, masyarakat nggak bisa dibohongi bahwa partai ini ogah mendukung dan mengusung Ahok lantaran menjunjung tinggi gengsi gara-gara Ahok sudah terlanjur maju menuju DKI-1 melalui jalur perseorangan (independen). Partai ini pun mencari-cari “kesalahan” Ahok.

PDIP boleh jadi juga tersinggung dengan kata-kata Ahok bahwa kalau ia maju lewat partai akan berkonsekuensi dengan biaya (mahar), padahal, “saya tidak punya uang,” katanya.

Ahok jujur, ia memang tidak punya uang untuk hal-hal seperti itu. Uang yang dimilikinya selama ini hanya bersumber dari gajinya sebagai gubernur. Kalaulah ada pengusaha yang berniat membantu, sang pengusaha pasti mikir belasan kali, jangan-jangan malah kena semprot Ahok.

Ahok berharap, jika memang PDIP mau mendukung, tirulah apa yang dilakukan Partai NasDem (mendukung tanpa syarat). Kalaupun NasDem mengajukan syarat, syarat itu adalah Ahok harus serius mencalonkan diri dan keluar sebagai pemenang.

Permintaan Ahok agar PDIP mengikuti jejak NasDem itu tak urung juga membuat orang-orang PDIP, terutama Ibu Mega tersinggung. Pasalnya, PDIP tak punya aturan main seperti itu. PDIP bukan partai cheer leader alias partai sorak-sorak bergembira.

Apa mau dikata, PDIP “menghukum” Ahok. Amit-amit-lah mendukung Ahok. Di sinilah PDIP kelihatan belangnya. Tersiar kabar untuk melawan Ahok, PDIP akan mengusung Risma Harini atau Gandjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah). Wow, masyarakat pun menertawakan partai yang kini sudah menjauh dari wong cilik itu (soal ini pernah dikeluhkan Taufik Kiemas kepada wartawan).

Denny Siregar, seorang penulis “mbeling”, menyimpulkan PDIP sudah kehilangan integritas. Besarnya tubuh PDIP, tulis Denny di situsnya www.dennysiregar.com, ternyata tidak membuat jiwa mereka juga besar. Arogansi sebagai partai pemenang kursi parlemen di banyak daerah, membuat mereka bertingkah seperti orang kaya baru. Tindakan-tindakan mereka menjadi aneh di mata masyarakat, berlawanan dengan harapan yang selama ini ditanamkan.

Nasi sudah menjadi bubur. Inilah senjakala PDIP Ibu Mega. Sebagai orang yang pernah bersimpati kepada PDIP dan memilihnya dalam pemilu, saya kecewa jika orang terbaik di Surabaya dan Jawa Tengah ke Jakarta hanya untuk melawan Ahok.

Jika memang motivasinya menggusur Ahok, akan lebih bagus jika sekalian saja PDIP mengusung dan mendukung Yusril Ihza Mahendra, lawan Ahok yang paling tangguh. Atau dukung Haji Lulung yang hari ini (Kamis 10 Maret) dicalonkan PPP Djan Faridz sebagai ikon baru calon DKI-1. Siapa tahu Lulung semakin kinclong mendekati pilkada.

PDIP dan Bu Mega, tak perlulah memikirkan logika. Toh, Anda ingin Ahok kalah, kan? Pendukung Anda maklum, kok, PDIP sekarang sudah masuk era senjakala.Sudah rada-rada pikun-lah.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun