[caption caption="Ilustrasi"]
SERANGAN bernuansa SARA hari-hari ini kembali mengarah ke Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) setelah Ridwan Kamil menolak dicalonkan oleh partai mana pun menjadi gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022.
Para lawan politik Ahok kontan mengkeret begitu mengetahui Ridwan Kamil yang diharapkan bisa menandingi Ahok tidak bersedia ikut dalam proses pencalonan gubernur DKI pada Pilkada Serentak 2017 mendatang. Alasan Kamil, “Bandung masih membutuhkan saya.”
Bisa dipahami, sebab Ridwan Kamil-lah satu-satunya tokoh yang bisa mengimbangi Ahok karena selain punya modal “prestasi”, juga bermodal (maaf) bukan Tionghoa dan Kristen.
Oleh sebab itu wajar pula jika “senjata tradisional yang amat kuno” itu dikeluarkan lagi untuk melawan Ahok. Habis mau bagaimana lagi? Melawan Ahok dengan prestasi, jelas nggak mungkin, karena calon-calon penanding Ahok rata-rata belum punya pengalaman menjadi gubernur.
Kalau pun ada yang telah berpengalaman, paling banter jadi birokrat, tapi mereka belum berpengalaman menggusur Kalijodo. Yang mereka bisa lakukan cuma menyebut kata “Kalijodo”. Sok membela warga Kalijodo, terutama kepada perempuan penghibur lelaki hidung belang di sana? Jelas, ini tindakan berbahaya, salah-salah malah ketahuan belangnya. Oleh sebab itu yang paling aman untuk meruntuhkan pertahanan Ahok, ya itu tadi, memanfaatkan “barang rongsokan” yang telah lama disimpan di gudang, SARA.
Para mantan birokrat yang diperkirakan bakal memanfaatkan “barang rongsokan” itu adalah Adhyaksa Dault. Merasa menjadi korban bully di medsos, mantan menteri pemuda dan olahraga itu menuding Ahok sebagai biang kerok. Pasalnya, menurut Adhyaksa, Ahok – mengutip Adhyaksa -- mengatakan kepada wartawan bahwa dia akan menang dalam pilkada mendatang kalau Ahok seorang Muslim.”
Adhyaksa mengaku dia memang pernah mengatakan hal itu saat bertemu empat mata dengan Ahok, tapi sifatnya rahasia (pribadi), dan Adhyaksa minta Ahok tidak mengungkapkan rahasia itu ke publik. Dasar Ahok, siapa yang bisa menahan mulutnya?
Nah, gara-gara itulah, Adhyaksa bertekad “nyalon” jadi gubernur DKI Jakarta. Eh, siapa tahu bisa mengalahkan Ahok. Di mata Adhyaksa, mantan bupati Belitung Timur itu tidak bisa berkomitmen dan tidak bisa menjaga amanah seseorang. Adhyaksa pun, sebagaimana diberitakan Kompas.com, semakin mantap untuk tidak menjadi pendukung Ahok dalam Pilkada DKI 2017.
Diakui atau tidak, Adhyaksa ibarat pertunjukan Lenong, telah mengeluarkan ajakan: “Hai, penonton, yuk kita mainkan S...A untuk melawan Ahok.”
Selain Adhyaksa, ada pula Yusril Ihza Mahendra. Namun, laki-laki yang telah menceraikan istri pertamanya itu, kini terus berupaya melupakan komitmennya “nyalon” menjadi gubernur DKI Jakarta lewat jalur independen.
Besar kemungkinan dia sudah sadar bahwa mengumpulkan KTP dukungan sebanyak 1.000.000 seperti yang pernah dia ungkapkan tidak semudah membalik berkas dokumen gugatan kliennya saat ia melakoni sebagai pengacara.
Dalam soal begituan, Yusril mesti banyak belajar dari anak-anak muda yang tergabung dalam komunitas Teman Ahok dan Muda Mudi Ahok yang hingga hari ini (Rabu 2 Maret) getol mengumpulkan KTP dukungan buat Ahok.
Sampai sedemikian jauh, Yusril masih bermain cantik, yaitu melakukan road show ke petinggi-petinggi partai, antara ke Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan minta belas kasihan: “Calonkan saya, dong, Pak.”
Mumpung belum keduluan yang lain, ada baiknya Yusril segera sowan ke Ketua Umum PDIP Megawati. Eh, siapa tahu, Ibu Mega berkenan, apalagi sampai sekarang partai ini pun belum menentukan sikap siapa calon gubernur Jakarta yang didukung atau diusung.
Menghadapi fenomena Ahok, partai itu tampaknya jual mahal, dan masih mikir-mikir jika akan mengikuti jejak Partai NasDem yang terang-terangan mendukung Ahok tanpa syarat.
Pengalaman membuktikan jika akan mendukung seorang calon, partai itu pasti mengajukan syarat. Harap maklum, di Jakarta, partai ini punya modal, yaitu 26 kursi. Artinya, tanpa harus berkoalisi dengan partai mana pun, ia bisa bersolo karier mengajukan calon sendiri.
Seorang kader PDIP sempat nyeplos di medsos dan menulis status seperti ini: “Ahok hati-hatilah bicara, jangan menyakiti hati orang. PDIP nggak punya tradisi atau bakat jadi partai cheer leaders, pemandu sorak....”
Jika memang PDIP punya kebiasaan seperti itu, maka boleh jadi, PDIP bakal menjadikan Ahok sebagai musuh. Ini peluang buat Yusril. Sekali lagi, eh, siapa tahu beruntung.
Kalau pun kemudian Yusril tetap bisa “nyalon” tanpa lewat jalur independen, tapi lewat jalur partai-partai gurem, sangat mungkin Yusril akan menggunakan jurus mabuk, mendaur ulang barang rongsokan, SARA. Apes.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H