RIDWAN Kamil yang akan dimanfaatkan Partai Gerindra untuk “melawan” Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam proses pencalonan gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 mengeluarkan jurus jitu nan-cantik – juga elegan – guna memastikan ikut atau tidak Pilkada Serentak 2017 di Jakarta.
Wali Kota Bandung itu, Sabtu (27 Februari), menulis status di Fanpage Facebook-nya seperti ini: “Setelah dua bulan intensif memenuhi undangan sana sini dan mendengarkan aspirasi dari tokoh-tokoh lokal/nasional dan kelompok sana sini, sekarang saya dengan hormat meminta pendapat 1,6 juta warga Fanpage FB ini. Pertanyaannya: Perlukah saya pergi ke Jakarta untuk ikut Pilkada Gubernur DKI 2017 ? Mohon alasannya. Hatur nuhun.”
Kontan teman-teman Ridwan Kamil di FB memberikan reaksi hingga hari Minggu (28 Februari) saat saya menulis catatan ini. Berdasarkan pengamatan saya, sebagian besar komentator mengharapkan agar Ridwan Kamil tidak berangkat ke Jakarta meninggalkan kota Bandung hanya untuk dijadikan alat bagi elite politik tertentu yang tidak senang dengan Ahok.
Banyak yang mengingatkan jika Ridwan nekat ke Jakarta ikut Pilkada Serentak 2017 mendatang, karier pelayanannya sebagai abdi negara (silakan baca negarawan) akan hancur. Ada yang menyimpulkan, jika Ridwan “nyalon” ke Jakarta, maka yang dikejar Ridwan hanya popularitas dan ambisi pribadi yang terbungkus oleh ambisi elite politik parpol yang mengusungnya.
Saya sebenarnya sudah curiga (dalam pengertian positif) Ridwan Kamil dalam hati kecilnya menolak dicalonkan untuk DKI-1 oleh siapa pun, apalagi oleh “musuh politik” Ahok di sebuah parpol yang selama ini sangat terganggu dengan gerakan Ahok. Pasalnya, seperti pesan yang diungkapkan teman-teman Ridwan di FB bahwa Ridwan lebih cocok di Bandung, atau kalau mau “nanjak” nantinya, ya di Jabar-1 (gubenur Jawa Barat), bukan di Jakarta dan berjibaku dulu dengan Ahok.
Jika pun memang mau mengimbangi Ahok – ini menurut saya – Ridwan Kamil sebaiknya sama-sama maju lewat jalur independen, jangan tiba-tiba main keroyok dengan menumpang kendaraan partai. Tak sedaplah buat Ridwan kalau ia jadi (maaf) penumpang gelap di partai. Jika memang Ridwan serius, masih ada waktu, kok, untuk mengumpulkan sejuta KTP dukungan seperti yang dilakukan Teman Ahok.
Oke, sampai di sini, saya memberikan apresiasi tinggi buat Yusril Ihza Mahendara, mantan menteri, pengacara, dan ketua umum Partai Bulan Bintang, yang juga akan “nyalon” sebagai gubernur DKI Jakarta lewat jalur independen, dan mulai 1 Maret 2016 akan mengumpulkan sejuta KTP dukungan.
Semoga Yusril konsisten dengan apa yang telah diucapkan, sebab ia optimistis 1.000.000 KTP dukungan akan terkumpul dalam dua bulan. Jika di kemudian hari Yusril “nyalon” DKI-1 dengan menangkring mobil partai merek Gerindra, ya apa kata dunia? Bohong, dong Yusril.
Postulat itu saya pikir juga berlaku buat Ridwan Kamil, sekali lagi, jika ia mau maju untuk mengimbangi dominasi Ahok. Waktu dua bulan cukuplah. Kurun waktu dua bulan cukuplah bagi Ridwan ketimbang ultimatum Roro Jonggrang kepada Bandung Bondowoso agar membuatkan seribu candi dalam semalam.
Saat itu Bandung Bondowoso belum punya akun di Facebook yang bisa dimanfaatkan menulis status kegiatan dan rencana kegiatan. Begitu pula Bandung Bondowoso tak punya akun di Instagram yang bisa ia manfaatkan untuk mengunggah foto candi-candi yang baru saja dibangunnya agar Roro Jonggrang kesengsem. Bandung Bondowoso juga nggak punya akun di Twitter dan bikin hastag “#capek ah” karena disuruh bangun seribu candi oleh sang pujaan hati.
Ridwan yang tinggal di Bandung dan menjabat wali kota Bandung punya apa yang tidak dimiliki Bandung Bondowoso, sebab Kamil hidup di era kecanggihan teknologi informasi. Ia manfaatkan itu habis-habisan.