ALHAMUDULILLAH, puji Tuhan! Peringatan Natal 2015 di penjuru Indonesia berjalan dengan aman, demikian pula peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 24 Desember 2015. Damai di bumi damai di hati.
Saya percaya, semua umat beragama di negeri ini, apa pun agamanya, pasti beriman bahwa tertangkapnya terduga teroris tempo hari (18 Desember), bukan karena “kehebatan” aparat keamanan, tapi karena campur tangan Tuhan.
Ya, campur tangan Tuhan, sebab Tuhan rindu Indonesia aman sejahtera saat umat-Nya (terutama yang Islam dan Kristen) memperingati Maulid Nabi dan Natal.
Oleh sebab itulah, meskipun aparat keamanan menetapkan Indonesia dalam “Siaga Satu”, umat Kristen di Tanah Air tanpa rasa takut berbondong-bondong ke gereja untuk mengikuti ibadah malam Natal pada 24 Desember dan misa (ibadah) Natal pada 25 Desember 2015.
Umat Kristen seolah tidak peduli dengan predikat “Siaga Satu”, juga umat Islam yang merayakan hari jadi junjungannya, Kanjeng Nabi Muhammad. Harap maklum, sebab sebagian besar (mayoritas) umat beragama di negeri Pancasila ini sudah bersepakat secara tidak tertulis bahwa para teroris – disebut-sebut telah menyiapkan diri menjadi “pengantin” (bom bunuh diri) – sebagai orang-orang tak ber-Tuhan dan pastinya tak beragama meskipun dalam menjalankan aksinya mereka membawa-bawa agama.
Para teroris membawa misi berdakwah untuk menyebarluaskan agama? Jelas tidak! “Mereka hanya menebar ketakutan. Jika kita takut datang ke gereja untuk memperingati Natal, maka itu berarti keinginan para teroris tercapai,” kata Pdt Matias Filemon Hadiputro saat memberikan khotbah Natal di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Tangerang.
Warga gereja itu sama sekali tidak nerasa takut melaksanakan ibadah Natal, baik saat malam Natal, maupun ketika Natal tiba. Dalam ibadah Natal 25 Desember, tercatat ada 500-an jemaah yang hadir dalam kebaktian Natal, padahal kapasitas tempat duduk hanya untuk 300-an orang.
Jemaah GKJ Tangerang juga merasa nyaman dan aman mengikuti kebaktian Natal, sebab saudara-saudaranya yang Muslim menjaga gedung gereja yang letaknya sangat strategis di Jl Sudirman, di depan Mal Balekota Tangerang. Selain aparat kepolisian dan militer (Kodim), anak-anak muda yang tergabung dalam FKPPI juga ikut mengamankan jalannya peribadahan.
Maka beralasan jika Ketua Panitia Natal 2015 GKJ Tangerang Edi Prasetyo Wibowo tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada saudara-saudaranya yang Muslim itu yang secara sukarela menjaga dan mengamankan gereja, sehingga prosesi ibadah Natal dapat berjalan dengan lancar, tidak ada gangguan secuil pun.
Sejak beberapa tahun ini, GKJ Tangerang tidak menggelar “perayaan” Natal yang diselenggarakan secara terpisah, tapi disatukan dengan ibadah Natal 25 Desember. Pasalnya, menurut Pdt Matias Filemon, ibadah Natal yang jatuh bukan hari Minggu, sesungguhnya merupakan “perayaan”, jadi buat apa harus dirayakan lagi secara berlebihan?
Bisa dipahami jika Panitia Natal GKJ Tangerang tahun ini tidak melakukan penggalangan dana Natal dengan membuat proposal dan ditujukan kepada jemaah atau warga gereja yang dianggap mampu. Panitia yang dipimpin Edi Prasetyo cukup menyiapkan amplop khusus Natal. Jika ada jemaah yang mengisinya dengan uang untuk keperluan Natal, ya “alhamdulillah”. Tapi, jika ada warga yang tidak peduli dengan amplop-amplop tersebut, ya tidak apa-apa.
Meskipun dikemas dengan sangat sederhana, suasana Natal tetap terasa hangat. Pada saat masa Adven, panitia menghadirkan beberapa “tokoh” untuk memberikan kesaksian. Jemaah gereja itu sangat terkesan dengan kesaksian yang disampaikan seorang mahasiswa bernama Vania Agreeciane Cristine.
Perempuan itu lahir di Kudus, 6 Mei 1994. Sejak masih kanak-kanak, Vania praktis tidak pernah merasakan kebahagiaan seorang anak di tengah keluarga. Pasalnya, tatkala Vania berumur 9 tahun, ayah dan ibunya bercerai. Sang ayah yang pecandu narkoba itu memperlakukannya secara kasar. “Saya sering melihat ayah mengonsumsi narkoba di depan saya,” katanya.
Praktis, dalam hidupnya, ia tidak pernah merasakan belaian kasih dari orang tuanya. Namun, Vania tidak pernah menyesali hidupnya, sebab ia sadar bahwa orang tua adalah pemberian Tuhan yang harus disyukuri. “Jika saya mati dan diizinkan Tuhan lahir kembali, saya ingin punya ayah, ya papa saya sekarang,” katanya.
Kesederhanaan Natal yang digelar GKJ Tangerang sangat berkesan bagi sebagian besar jemaah gereja ini. Tak berkehendak memuaskan diri sendiri, masih dalam rangka Natal, panitia pada pertengahan Januari 2016 nanti akan berkunjung ke sebuah panti asuhan guna berbagi kasih.
Banyak orang non-Kristen yang menganggap orang-orang Kristen sebagai kelompok kaya yang hidupnya serba berlebihan atau berkecukupan. Banyak orang menyimpulkan orang Kristen kaya-kaya dari deratan mobil yang terparkir di halaman atau tepi jalan depan gedung gereja, seperti yang terlihat di GKJ Tangerang saat jemaah gereja itu beribadah Natal pada 25 Desember. Puluhan mobil yang parkir hingga tiga saf sempat memacetkan arus lalu lintas di Jl Sudirman.
Padahal faktanya tidak demikian. Banyak warga gereja ini yang hidupnya pas-pasan, sehingga perlu uluran tangan dari jemaah lain. Oleh sebab itulah dalam ibadah Malam Natal 24 Desember, panitia membagikan celengan terbuat dari kaleng kepada setiap keluarga.
Edi Prasetyo berharap jemaah GKJ Tangerang mulai awal tahun 2016 membiasakan diri untuk menyisihkan uang (seberapa pun) dan dimasukkan ke celengan (ditabung), sehingga pada akhir tahun menjelang Natal terkumpul dalam jumlah besar, lalu bisa dimanfaatkan untuk membantu dan berbagi kasih kepada sesama yang memang memerlukan.
Surat kabar Kompas edisi hari ini (Sabtu 26 Desember 2015) di halaman 2 terdapat feature berjudul: “Mereka yang Merayakan Natal dalam Kesederhanaan.”
Di dalam tulisan itu terdapat kalimat seperti ini: “Dari 70 orang umat yang hadir, hampir 80 persen perempuan yang berumur lebih dari 45 tahun. Salah seorang anggota persekutuan itu adalah sumarni (73) bersama dua cucunya. Selepas kebaktian, Sumarni harus melalui celah antartembok sempit selebar 1 meter menuju tempat tinggalnya. Ini adalah akses ilegal karena dia tinggal di pinggir rel kereta api.”
“Tempat yang ditinggali Sumarni pun tidak pakai dinding, hanya dilengkapi terpal untuk sekadar manahan panas dan hujan. Atap darurat itu pun sudah banyak berlubang, seirama dengan kayu penopangnya yang sudah rapuh. Walaupun begitu, Sumarni tetap bersyukur bisa merayakan Natal tahun ini.”
Kompas melengkapi tulisan itu dengan foto Sumarni yang renta sedang menggendong cucu di tepi rel kereta api. Identik dengan saat bayi Yesus lahir di tempat yang tidak layak di Bethlehem.
Selamat Natal 2015 dan menyongsong Tahun Baru 2016. Mari kita berbagi.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H