Oleh sebab itu, lagi-lagi kita bisa pahami jika ketika partai ini, lewat sekjennya, tersandung kasus Gatot dengan bansos-nya, semua telunjuk mengarah ke NasDem dan Surya Paloh.
Mereka tidak peduli siapa sebenarnya Rio Capella dan mengapa Rio melupakan sosoknya sebagai orang penting partai dan anggota DPR, sehingga tergoda oleh permainan Gatot, petinggi PKS, partai yang selama ini (maaf) sudah terbiasa dengan permainan-permainan kotor.
Gara-gara Gatot, karier Rio ibarat panas setahun dihapus hujan sehari. Habis. Sirna. Karena tidak mau berkompromi dengan pelanggaran hukum, apalagi korupsi, dalam tempo 2,5 jam sejak Rio ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, Partai NasDem tak memberikan pengampunan buat Rio. Partai ini “merelakan” Rio mengundurkan diri, baik sebagai anggota partai, sekjen, dan sekaligus sebagai anggota DPR. Setelah itu Surya Paloh mengumumkan kepada publik tentang keberadaan Rio yang sejak itu otomatis bukan lagi orang NasDem.
Rio pasti sangat terpukul. Selama ini dia dikenal sebagai seorang politisi yang selalu ceria. Saat mengumumkan bahwa dirinya sudah menjadi tersangka di depan para wartawan, Kamis (15/10) sore, senyumnya tak lagi kelihatan. Dia tak mampu lagi mengungkapkan canda ria.
Rio Capella adalah salah seorang pendiri Partai NasDem yang juga telah dibesarkannya. Kariernya sebagai politisi kini hancur hanya gara-gara uang Rp 200 juta dari Gatot, orang yang secara pribadi tidak dikenalnya.
Habis sudah wujud mimpinya sebagai anggota DPR. Sebelum bergabung ke Partai NasDem, Rio adalah anggota Partai Amanat Nasional (PAN). Pada Pemilu 2009 ia pernah mencalonkan diri menjadi anggota DPR dari PAN di daerah pemilihan kampung halamannya di Bengkulu. Gagal, “karena saya dikadalin,” katanya suatu kali.
Bersama Surya Paloh dan kawan-kawan, Rio Capella berkiprah mendirikan ormas Nasional Demokrat. Setelah Partai NasDem berdiri, ia dipercaya menjadi ketua umum. Rio pun rela “turun pangkat” menjadi sekjen setelah Partai NasDem melakukan kongres dan memilih Surya Paloh sebagai ketua umum.
Pemilu 2014 membawa keberuntungan bagi Rio. Ia terpilih duduk di Senayan. Saya tahu pasti, Rio seperti juga para calon anggota legislatif (caleg) dari partai mana pun, tentu telah mengeluarkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit untuk bisa memenangi pemilu legislatif.
Boleh jadi, uang Rp 200 juta yang dititipkan Gatot kepada teman sang istri untuk diserahkan kepada dirinya, dianggap Rio sebagai rezeki yang turun dari langit, lumayanlah buat menutup ongkos pemilu tempo hari.
Ah, Rio teledor. Dia lupa bahwa partai politik yang didirikan punya misi melawan korupsi. Mungkin juga Rio tidak menyangka bahwa partainya begitu cepat menyelesaikan “drama” berdurasi 2,5 jam dan berujung Rio tidak punya apa-apa lagi. Semuanya lepas. Semuanya kini ditanggung sendiri. Sepertinya, partai pun tidak menyiapkan penasihat hukum buat Rio. Yang masih bisa menghibur Rio boleh jadi adalah kata-kata Surya Paloh saat menjawab pertanyaan wartawan bahwa meskipun Rio tidak lagi menjadi anggota partai, tali silaturahmi tidak akan pernah putus.
Usianya sebagai anggota DPR cuma satu tahun. Dalam satu tahun ini, praktis Rio belum banyak berkiprah. Begitu ia mengundurkan diri jadi anggota DPR, partainya yang kini sudah ia tinggalkan pun sudah langsung menunjuk calon lain untuk pergantian antarwaktu.