Mohon tunggu...
Gan Pradana
Gan Pradana Mohon Tunggu... Dosen - Hobi menulis dan berminat di dunia politik

Saya orang Indonesia yang mencoba menjadi warga negara yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Koalisi Permanen, Lho Kok Jadi Begini?

16 Juli 2014   05:20 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:12 697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DUA ibu rumah tangga mengajukan pertanyaan yang sama kepada saya: “Ini pilpres, siapa sih yang sebenarnya menang, Prabowo atau Jokowi? Saya bingung, sebab dua-duanya mengaku menang setelah melihat quick count di televisi.”

Pertanyaan itu mereka ajukan tanggal 9 Juli yang lalu beberapa jam setelah rakyat memilih capres di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan televisi-televisi menyiarkan hasil hitung cepat (quick count) dari sejumlah lembaga survei.

Para ibu bingung, sebab Metro TV dan kawan-kawan menyajikan informasi hitung cepat pasangan Jokowi-Jusuf Kalla unggul antara 52%-53%, sementara pasangan Prabowo-Hatta Rajasa 47%-48%, namun TV One dan “koalisinya” (MNC Group) menampilkan data sebaliknya: Prabowo-Hatta unggul antara 51%-52%.

Meskipun suara yang masuk belum mencapai 100% -- persisnya baru 80% -- tim Jokowi-Jusuf Kalla sudah mengumumkan bahwa mereka yang memenangkan pilpres berdasarkan hitung cepat. Tidak mau kalah, 15 menit kemudian giliran kubu Prabowo-Hatta mengumumkan: “Kami-lah yang menang.”

Setelah itu, kubu dan pendukung Prabowo lebih agresif mengklaim kemenangan. Spanduk dan karangan bunga ucapan selamat menjadi presiden bertebaran di mana-mana. Dalam berbagai kesempatan dan disiarkan TV One, wajah Prabowo tampak berbinar-binar dan menyebut kubu Jokowi yang mengklaim menang sebagai terlalu dini, karena delapan lembaga survei yang memenangkan Jokowi dibayar. Jadi wajarlah kalau menempatkan Jokowi sebagai pihak yang menang.

Sampai sedemikian jauh, kita tidak tahu, apakah tiga lembaga survei yang memenangkan Prabowo gratisan alias sukarela atau dibayar. Belakangan diketahui, tiga lembaga yang dipakai TV One dan televisinya Harry Tanoesoedibyo ternyata tidak profesional alias abal-abal. Lembaga Pol Tracking yang semula akan dipakai TV One terpaksa membatalkan kontrak dengan televisi itu, karena diminta harus memenangkan Prabowo-Hatta dengan komposisi persentase yang sudah ditetapkan, yaitu 52%.

Puskaptis, lembaga survei yang juga dipakai tim Prabowo (TV One), belakangan juga mengaku “dosa” setelah dikritik banyak pihak. Salah seorang direkturnya menjelaskan prosentase hitung cepat yang ditayangkan TV One hanya berlaku lima jam, setelah itu lembaganya tidak bertanggung. Bahwa kemudian TV One menyiarkan angka-angka yang entah berasal dari mana, ibarat surat kabar atau majalah, “isi di luar tanggung jawab percetakan.”  Artinya, apa yang ditayangkan TV One bukan tanggung jawab Puskaptis lagi.

Masih ada lembaga survei lain yang disewa kubu Prabowo, yaitu Jaringan Suara Indonesia (JSI), Lembaga Survei Nasional (LSN), dan Indonesia Research Centre (IRC)  yang disponsori Harry Tanoe. Namun ketika lembaga-lembaga ini diminta untuk buka-bukaan guna mengetahui metode apa yang dipakai, mereka keberatan. Logikanya jika mereka mengusung kejujuran dan profesionalisme mengapa takut buka-bukaan?

Satu demi satu “belang” lembaga-lembaga survei kubu Prabowo terbongkar. Mantan direktur IRC Agus Sudibyo mengungkapkan, ia mundur dari IRC karena tak tahan dengan permintaan-permintaan khusus, seperti mengumumkan  hasil survei pemilu legislatif  sebelum waktunya.

Mantan Direktur Eksekutif Indonesia Network Election Survey (INES), Irwan Suhanto juga mengungkapkan masa lalu lembaga surveinya, INES yang pernah dipakai Gerindra. Menurut Irwan, survei INES yang memenangkan Prabowo merupakan pesanan Partai Gerindra.

Jika anak buah Harry Tanoe sudah berani berkata jujur, sang bos yang justru sampai sekarang belum tersentuh untuk membuat pengakuan. Sangat mungkin Harry Tanoe dan komunitasnya yang akan terus mengawal Prabowo  sampai titik darah penghabisan.

Tidak cuma para ibu, masyarakat semakin bingung setelah kubu Prabowo mendeklarasikan Koalisi Permanen Merah Putih di Tugu Proklamasi, Jakarta, Senin (14/7) sore. Saat mendeklarasikan koalisi permanen tersebut, tercium aroma bahwa Prabowo yakin akan menang pilpres begitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan siapa yang terpilih menjadi presiden pada 22 Juli nanti.

Koalisi permanen tentu dibentuk agar partai-partai yang selama ini mendukungnya (PAN, PPP, PKS, PBB, Golkar dan Demokrat) tidak berkhianat kelak jika Prabowo menjadi presiden dan posisinya kuat karena didukung mayoritas anggota DPR.

Namun di pengujung awal, koalisi permanen itu tampaknya sulit untuk permanen 100%. Belum apa-apa, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan kawan-kawan tidak hadir dalam acara deklarasi tersebut, dengan sendirinya ia juga tidak menandatangani piagam koalisi permanen. Dalam acara itu, Demokrat hanya mengutus Ketua DPD Partai Demokrat DKI Jakarta Nachrowi Ramli yang cuma diberi kesempatan berorasi sekitar tiga menit.

Alamak, belum apa-apa, dia sudah membuat blunder, sebab ketika berorasi, Nachrowi dengan berapi-api mengatakan akan menyeret para koruptor. Dia lupa bahwa di panggung yang sama sore itu berdiri Surya Dharma Ali (Ketua Umum PPP) yang terlibat korupsi dana haji, ada pula MS Kaban (Ketum PBB) yang diduga terlibat dalam korupsi proyek radio komunikasi kehutanan; Abu Rizal Bakrie (Ketum Golkar) yang masih menunggak kasus lumpur Lapindo; dan Hatta Rajasa yang disebut-sebut terlibat dalam kasus mafia migas.

Maka beralasan jika mantan Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra memperkirakan usia Koalisi Permanen Merah Putih tidak akan lama, paling-paling setelah 22 Juli, koalisi ini akan bubar. Menurut Yusril, koalisi itu akan sulit bertahan bila Prabowo-Hatta kalah dalam pilpres. Melihat komposisi yang ada di koalisi ini, masih menurut Yusril, sepertinya akan mudah goyah. Apalagi kalau pasangan Jokowi-JK memberikan tawaran kursi menteri. "Makin banyak partai yang terima tawaran kursi menteri, makin cepat koalisi ini bubar. Akhirnya yang tersisa mungkin tinggal Gerindra dan PAN,” tulisnya di Twitter.

Apa yang diperkirakan Yusril mulai tampak, dan para elite politik yang ada di koalisi permanen itu mulai kelihatan belangnya. Elite Partai Golkar memang yang paling tidak tahan jika mendengar kata kursi (jabatan). Dari dulu, tabiat Golkar memang selalu ingin melekat dengan kekuasaan. Coba perhatikan pernyataan para elite politik pendukung Prabowo berikut ini:

1. Wakil Ketua Umum Golkar Agung Laksono: Masih ada kemungkinan Golkar untuk berpindah haluan. Syarat dari perpindahan haluan itu adalah dengan mengganti ketua umum. Buat saya bisa saja ada perubahan dan memang sudah ada indikasi kalau ganti kepengurusan bisa jadi berubah. Kan jadi tidak permanen, hanya sementara saja. Keputusan menandatangani koalisi permanen belum melalui mekanisme partai. Saya hanya diberi tahu lewat telepon beberapa hari lalu. Jadi menurut saya koalisi permanen ini sifatnya hanya sementara. Selama Aburizal Bakrie jadi ketua umum saja.

2.Waketum PPP Suharso Monoarfa mempertanyakan keputusan partainya ikut dalam koalisi itu. Kita tidak pernah bicara soal koalisi permanen, yang ada keputusan tentang pencalonan presiden. Keputusan Ketum PPP Suryadharma Ali dan Sekjen PPP Romahurmuziy (Romi) untuk ikut mendeklarasikan koalisi permanen tanpa dasar. Sebab, dalam Rapimnas PPP, tak ada keputusan soal koalisi usai Pilpres 2014.

3.Sekjen PPP Romahurmuziy: Tidak hadirnya Partai Demokrat saat penandatanganan Koalisi Merah-Putih menjadi pertanyaan. Ini sinyal yang tidak baik. Kita mempertanyakan komitmen Partai Demokrat ketika tidak hadir dalam penandatanganan kemarin, terlepas dari faktor hal teknis yang sudah disebutkan. Partai Demokrat harus  menjelaskan posisinya secara tegas terkait penandatanganan koalisi permanen partai-partai penyokong Prabowo-Hatta. Ini sinyal tidak bagus untuk Koalisi Merah-Putih ketika bangunan yang coba dibangun, ketika pada hari pertama penandatanganan menjadi tidak utuh. Saya tidak bisa menjamin koalisi permanen yang sudah disepakati itu bisa bertahan jika tidak ada komitmen dari partai-partai yang ada.

4.Ketua Harian DPP Partai Demokrat Syarief Hasan: Kami  tidak mengutus siapa pun untuk mewakili Partai Demokrat dalam deklarasi koalisi permanen di legislatif oleh Koalisi Merah Putih. Saya sendiri nggak tahu ada undangan acara itu. Ini saya sekarang sedang bertugas di Medan. Terlalu dini kalau semua sudah dirancang untuk membentuk koalisi permanen, sementara presidennya saja masih harus menunggu keputusan KPU.

Lho, kok jadi begini sih? Lama-lama saya kasihan melihat Prabowo, sepertinya dia sudah dijadikan “boneka” oleh orang-orang di sekitarnya dengan fakta-fakta palsu. Orang-orang di sekitarnya rupanya memaksakan diri apa pun yang terjadi Prabowo harus jadi presiden. Maklumlah sudah terlanjur basah, sehingga etika pun dilanggar.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun