Paltering adalah taktik komunikasi yang digunakan oleh politisi atau individu dalam konteks politik untuk memberikan informasi yang sebagian benar dan sebagian tidak akurat atau menyesatkan. Dalam paltering, seseorang dengan sengaja menyampaikan informasi yang benar, tetapi mengabaikan informasi penting lainnya yang dapat mengubah perspektif atau pemahaman orang lain. Paltering sering digunakan untuk mempengaruhi opini publik atau mendapatkan keuntungan politik.
Sementara itu, post-truth atau pascakebenaran adalah keadaan di mana fakta-fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada emosi, keyakinan pribadi, atau kepercayaan yang berdasarkan pada narasi yang dibentuk secara selektif. Dalam konteks politik, post-truth sering terjadi ketika politisi atau kelompok tertentu dengan sengaja menyebarluaskan informasi yang tidak benar atau menyesatkan, tetapi dipercaya oleh sebagian besar masyarakat karena informasi tersebut sesuai dengan keyakinan atau pandangan mereka.
Dalam perspektif politik, paltering dan post-truth memiliki dampak yang signifikan terhadap proses demokrasi dan kepercayaan publik terhadap pemerintahan. Kedua fenomena ini dapat merusak integritas politisi dan lembaga politik, serta mengurangi transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan politik.
Paltering sering digunakan oleh politisi untuk mengelabui publik dengan memberikan informasi yang sebagian benar, sehingga menciptakan kesan bahwa mereka jujur dan terbuka, padahal sebenarnya ada informasi penting yang disembunyikan atau diabaikan. Hal ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap politisi dan lembaga politik, serta mengurangi partisipasi aktif masyarakat dalam proses politik.
Sementara itu, post-truth dapat menciptakan polarisasi dan konflik dalam masyarakat. Ketika fakta-fakta tidak lagi menjadi landasan yang kuat untuk membentuk opini publik, masyarakat menjadi lebih rentan terhadap pengaruh emosional, narasi yang dibentuk secara selektif, dan penyebaran informasi yang tidak benar. Hal ini dapat mengarah pada perpecahan masyarakat, ketidakstabilan politik, dan ketidakmampuan untuk mencapai konsensus dalam pengambilan keputusan politik.
Contoh paltering adalah ketika seorang politisi menyampaikan statemen yang sebagian benar dan sebagian tidak benar untuk mempengaruhi opini publik. Misalnya, seorang politisi mengklaim bahwa mereka telah menciptakan 1 juta lapangan kerja baru, tetapi sebenarnya hanya 500.000 lapangan kerja yang tercipta.
Contoh post-truth adalah ketika informasi yang tidak benar atau tidak berdasar dianggap lebih penting daripada fakta yang sesungguhnya. Misalnya, dalam suatu kampanye politik, seorang kandidat mengklaim bahwa imigran dari suatu negara tertentu bertanggung jawab atas tingginya tingkat kejahatan, meskipun data statistik menunjukkan hal yang sebaliknya.
Solusi untuk mengcounter Paltering dan Post-Truth dengan :
1. Individu:
- Tingkatkan literasi informasi: Pelajari keterampilan kritis dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi sumber informasi, termasuk memeriksa keandalan dan akurasi informasi sebelum mempercayainya.
- Diversifikasi sumber informasi: Jangan hanya mengandalkan satu sumber informasi, tetapi periksa berbagai sumber yang berbeda untuk mendapatkan sudut pandang yang lebih luas.
- Berbagi informasi dengan hati-hati: Sebelum membagikan informasi di media sosial atau dalam percakapan sehari-hari, pastikan informasi tersebut benar dan dapat dipercaya dengan mengonfirmasinya terlebih dahulu.
2. Masyarakat:
- Edukasi literasi informasi: Sosialisasikan pentingnya literasi informasi kepada masyarakat melalui program pendidikan, seminar, dan kampanye sosial untuk membantu masyarakat memahami dan mengidentifikasi manipulasi informasi.
- Media yang bertanggung jawab: Mendorong media massa untuk melakukan fakta-checking yang akurat dan mengedepankan kebenaran dalam melaporkan berita, serta memberikan ruang bagi sudut pandang yang beragam.
- Transparansi informasi: Pemerintah dan organisasi harus berkomitmen untuk menyediakan akses terbuka terhadap informasi dan data yang dapat diverifikasi untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas.
3. Pendidikan:
- Pendidikan politik: Mengintegrasikan pendidikan politik dalam kurikulum sekolah untuk membantu siswa memahami proses politik, sistem pemerintahan, dan keterampilan kritis dalam menganalisis informasi politik.
- Pendidikan tentang media: Membekali siswa dengan pengetahuan tentang cara kerja media massa, termasuk bagaimana mengenali bias dan manipulasi informasi.
- Pendidikan kritis: Mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan analitis melalui kurikulum yang memberikan penekanan pada logika, argumentasi, dan penilaian yang objektif.
Kesimpulannya, untuk menghadapi tantangan paltering dan post-truth, diperlukan upaya dari individu dan masyarakat. Individu perlu meningkatkan literasi informasi, diversifikasi sumber informasi, dan berbagi informasi dengan hati-hati. Sementara itu, masyarakat perlu melakukan edukasi literasi informasi, mendorong media yang bertanggung jawab, dan memastikan transparansi informasi. Pendidikan juga memiliki peran penting dalam mengajarkan pendidikan politik, pendidikan tentang media, dan kemampuan berpikir kritis. Dengan solusi ini, diharapkan individu dan masyarakat dapat lebih mampu menghadapi manipulasi informasi dan membangun pemahaman yang lebih baik tentang realitas yang sebenarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H