Nordholt juga menjelaskan dalam bukunya bahwa pada akhirnya, kalangan ini menjadi sepenuhnya terpisah dari golongan bumiputera. Mereka adalah "eks-pribumi" yang berpakaian necis dengan celana dan juga peci, memiliki gelar akademis "kulit putih" yang terhormat, dan seringkali bepergian menggunakan kereta api, bahkan duduk di kelas dua. Kelas kereta api yang dulunya hanya untuk kalangan Eropa ataupun Indo.Â
Mas Marco, dalam karyanya "Student Hidjo", menggambarkan perubahan mode ini sebagai bentuk perjuangan. Hidjo, tokoh dalam karya itu digambarkan mengenakan pakaian necis, pergi belajar ke Belanda, dan pergi berpelesir. Ia melakukan kegiatan-kegiatan layaknya orang Belanda untuk menunjukkan kesetaraan kedudukannya (Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan, 2005).
Pengaruh Pakaian Khas Eropa pada Pergerakan Nasionalis
Dalam buku biografi Soekarno yang disusun oleh Cindy Adams, "Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" (1988), Soekarno berpendapat di dalam PNI (1927), "Selanjutnya saya menganjurkan untuk tidak memakai sarung, sekalipun berpakaian preman. Pakaian yang kuno ini menimbulkan pandangan yang rendah. Di saat orang Indonesia memakai pantalon, di saat itu pula ia berjalan tegap seperti setiap orang kulit-putih. Akan tetapi begitu ia memasangkan lambang feodal di sekeliling pinggangnya, ia lalu berjalan dengan bungkukan badan yang abadi. Bahunya melentur ke muka. Langkahnya tidak jantan. Ia beringsut merendahkan diri. Pada saat itu pun ia bersikap ragu dan sangat hormat dan tunduk."Â
Pendapatnya ini ditentang Ali Sastroamidjojo, "Sungguhpun begitu, sarung itu sesuai dengan tradisi Indonesia." yang mana lantas dibalas kembali oleh Soekarno, "Tradisi Indonesia di masa lalu---betul! Akan tetapi tidak sesuai dengan Indonesia Baru dari masa datang. Kita harus melepaskan diri kita dari pengaruh-pengaruh masa lampau yang merangkak-rangkak seperti pelayan, jongos, dan orang dusun yang tidak bernama dan tidak berupa. Mari kita tunjukkan bahwa kita sama progresif dengan orang Belanda. Kita harus tegak sama tinggi dengan mereka. kita harus memakai pakaian modern.".Â
Soekarno jelas begitu vokal dalam hal ini. Menurutnya, persoalan pakaian adalah hal krusial yang menunjukkan jati diri seseorang, dan beliau adalah pendukung setia penggunaan pakaian khas Eropa. Meski begitu, Soekarno masih mempertahankan pakaian khas bumiputera pada dirinya, yaitu peci.
Soekarno menganggap peci sebagai pengenal dirinya, kaum bumiputera modern yang tidak melupakan rakyat sendiri. Pemikiran ini muncul pada tahun 1921 setelah dalam pertemuan Jong Java, terjadi pembicaraan hangat mengenai keengganan mereka mengenakan blankon atau peci sebagaimana yang biasanya dikenakan rakyat biasa bersamaan dengan sarung. Keengganan ini adalah bentuk ejekan halus dari kaum terpelajar kepada kalangan yang lebih rendah. Beliau merasa sedih, sehingga memutuskan untuk selalu menggunakan peci bersamaan dengan kemeja, celana dan sepatunya, sebagai lambang solidaritas rakyat sendiri (Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 1988).
Perdebatan mengenai pakaian di kalangan nasionalis sebetulnya sudah marak sejak sebelum itu, yaitu pada tahun 1914. Tidak semua orang setuju dengan kecenderungan baru mengadopsi pakaian modern, bahkan tidak dalam gerakan nasionalis, karena ini berarti menyerahkan identitas diri sendiri pada bangsa lain (Nordholt, 2005:91).Â
Di tahun yang sama, R.M. Soetatmo Soeriokoesoemo menulis artikel berjudul "Apakah jas yang baik membuat seorang pria tampil baik?". Beliau khawatir penggunaan pakaian khas Eropa justru akan mengasingkan para nasionalis dengan rakyat sendiri. Sementara itu, Soewardi Soeryaningrat justru mendukung segala bentuk yang bisa mendorong rakyat untuk bPerubahan ini pada akhirnya diterima oleh kaum nasionalis moderat dan radikal sekitar tahun 1916. Pada Kongres Sarekat Islam pertama bulan Juni 1916, anggota-anggota dewan pengurus memakai pakaian malam dengan dasi putih atau jas makan malam (Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan, 2005).erubah. Ia juga menekankan bahwa kain ataupun kain penutup kepala bukanlah sumber asal nasionalisme (Nordholt, 2005:93).
Kesimpulan
Penggunaan pakaian khas Eropa dalam gerakan nasionalis bukanlah suatu hal yang konkret, melainkan hal yang terus diperdebatkan. Antara ingin menampilkan pandangan maju dan menuntut kesetaraan hak dengan bangsa Belanda, atau justru meninggalkan jati diri dan mengasingkan diri dengan rakyat. Di tengah-tengahnya, mungkin peci-lah yang menjadi jembatan, lambang seseorang yang maju namun masih bersama dengan rakyat biasa.