Menggelayut tak luput. Cerita manis Emak, Kala menjejak Bandung dengan berjualan Surabi. Tahun 1990, saat iklim sedang bagus-bagusnya. Hihihi… bangun pagi menjadi gaya hidup. Sambil siduru (menghangatkan tubuh) dan membantu emak menyiapkan tungku perapian surabi, ku terduduk diam termangu. Sesekali tangan mengutak-atik kayu bakar yang belum melepuh ingin berebut hangat di depan tungku. Emak, menyaksikan saja sambil memutar-mutar olahan tepung beras dalam panci, biar encer ngak menggumpal. “ Membikin surabi, harus pas olahannya,” sergah emak. Dengan etalase serba tradisi. Memang, surabi alat-alatnya sebagian terbuat dari bambu. Memanfaatkan lapang luas milik Pemkot. Tepat di pojok dekat pos Hansip, Surabi di jajakan dengan khas tepung beras, diiring asap kayu bakar dan cetakan terbuat dari tanah liat semakin saja membuat kepulan dua asap berbeda beradu membuat aroma padu. Siap santap ! surabi mengepul. Siap saji, emmmhh. Melihat percikan api dari tungku perapian surabi, para pembeli yang sebagian besar warga sekitar satu persatu mulai menghampiri. Ya, di tahun 1990 memang halimun sangat dingin membuat bulu kuduk cepat berdiri. Sehabis lepas beduk adzan shubuh ngak selimut kain untuk tidur selimut halimun pun bukan menjadi halangan. Biar halimun menusuk-nusuk tubuh bergegas menunaikan ibadah di masjid. Kentara deh, nikmatnya. Dulu, memang sih. Begitu adanya kebiasaan. Karena memang siaran televisi yang belum sebanyak seperti jaman Fesbuk sekarang. Tempat kami berkumpul hanya mengandalkan beranda mesjid, bersama-sama pak ustadz dengan petuah-petuah yang saling berkelindan. Jika menilik-nilik ke surabi EnHai. Mungkin Emak, yang duluan mencoba-coba memasukkan inovasi serta gurauan dari para pembeli yang diakomodir dengan apik. Pakemnya surabi itu kan, surabi oncom dan surabi polos yang di taburi kinca (gula merah di cairkan) di tambah gorengan kacang dan asin teri. Masing-masing jika di pasangkan satu sama lain, cerita kelezatannya akan lain pula. kriuk-kriuknya, lengket di mulut. Dari pakem surabi itu, kemudian muncul beberapa menu surabi, pake sozis lah, telur lah. Ada juga, saudara dari rumah membekal bakso. Di potong-potongnya bakso tersebut lalu masuk tungku, bakso yang tadinya setengah mateng tetap tegas bersama adonan surabi. Kegirangan pun, langsung muncul. Saudara dari kakek ingin sesegera melahapnya. Ada lagi yang membuat Emak terus berdedikasi di dalam profesi, sempatnya membuat adonan surabi dengan dua rasa. Adonan asin dan yang tanpa sekali tidak memakai garam dan sari kelapa. Ada-ada saja, kenapa emak membuat adonan tersebut. Ternyata ini untuk mensiasati cucu-cucunya yang senang nyemil surabi, di taburinya keju kemudian sedikit susu kental serta coklat ceres sedikit mungkin. Dan, bukan main gembiranya mendapat pemberian emak, cucu-cucunya langsung menagih emak surabi yang sama di keesokan harinya. Kelak, “lewat surabi, kita berarti mencintai tradisi,” ujar emak. Mungkin belum banyak inovasi yang di lakukan emak. Akan tetapi, kecintaanya pada profesi sangat kental sekali. Emak tidak ingin usaha surabinya ini pupus di tengah generasi turunannya. Dengan candaan emak, di tengah anak-anak dan cucu-cucunya ia bilang; “ingin suatu saat bikin soto Surabi khas sunda….jika ada umur barangkali,” ungkap emak. Di tengah cengkrama kumpul bareng keluarga selebihnya, “Emak, ingin naik haji cucu-cucu ku…,” *** Gan Ridwan [caption id="attachment_82018" align="alignleft" width="527" caption="Sejumput Kisah Emak Foto : Lovelytoday.com"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H