5. Tekanan Sosial dan Lingkungan
Lingkungan sosial juga berkontribusi terhadap perilaku korup. Jika seorang individu berada dalam lingkungan di mana korupsi dianggap normal atau bahkan dibenarkan, mereka mungkin merasa tidak ada salahnya untuk terlibat dalam praktik tersebut. Tekanan dari atasan atau rekan kerja juga dapat mendorong individu untuk mengikuti jejak buruk tersebut.
6. Mekanisme Pelepasan Moral
Dalam konteks psikologis, mekanisme pelepasan moral (moral disengagement) memungkinkan individu untuk membenarkan tindakan korup dengan mengabaikan norma-norma moral yang ada. Mereka mungkin meyakini bahwa tindakan korup adalah hal yang wajar atau tidak berbahaya, sehingga mengurangi rasa bersalah atas tindakan tersebut.
Peran Konteks Budaya Indonesia dalam Mempertahankan Praktik Korupsi
Praktik korupsi di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor hukum dan politik, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh konteks budaya yang ada. Berikut adalah beberapa aspek yang menjelaskan bagaimana konteks budaya Indonesia berperan dalam mempertahankan praktik korupsi:
1. Warisan Budaya dan Sejarah
Budaya korupsi di Indonesia sering kali dianggap sebagai warisan dari masa penjajahan, di mana praktik-praktik seperti suap dan nepotisme sudah ada sejak lama. Beberapa ahli berpendapat bahwa sistem feodal dan birokrasi yang diperkenalkan oleh penjajah Belanda menciptakan peluang untuk korupsi yang masih ada hingga kini. Masyarakat yang terbiasa dengan praktik tersebut cenderung menganggapnya sebagai hal yang normal.
2. Rendahnya Kesadaran Hukum
Salah satu faktor kultural yang berkontribusi terhadap korupsi adalah rendahnya kesadaran hukum di kalangan masyarakat. Banyak individu yang tidak memahami konsekuensi hukum dari tindakan korupsi atau merasa bahwa hukum tidak akan diterapkan secara adil. Hal ini menciptakan lingkungan di mana tindakan korupsi dapat dilakukan tanpa rasa takut akan sanksi.
3. Budaya Nepotisme dan Patronase