Mohon tunggu...
Ega Noviyanti
Ega Noviyanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

NIM: 43121120095 | Program Studi: Sarjana Manajemen | Fakultas: Ekonomi dan Bisnis | Jurusan: Manajemen | Universitas: Universitas Mercu Buana | Dosen: Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Diskursus Sigmud Freud dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

23 November 2024   22:29 Diperbarui: 23 November 2024   22:29 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

5. Tekanan Sosial dan Lingkungan

Lingkungan sosial juga berkontribusi terhadap perilaku korup. Jika seorang individu berada dalam lingkungan di mana korupsi dianggap normal atau bahkan dibenarkan, mereka mungkin merasa tidak ada salahnya untuk terlibat dalam praktik tersebut. Tekanan dari atasan atau rekan kerja juga dapat mendorong individu untuk mengikuti jejak buruk tersebut.

6. Mekanisme Pelepasan Moral

Dalam konteks psikologis, mekanisme pelepasan moral (moral disengagement) memungkinkan individu untuk membenarkan tindakan korup dengan mengabaikan norma-norma moral yang ada. Mereka mungkin meyakini bahwa tindakan korup adalah hal yang wajar atau tidak berbahaya, sehingga mengurangi rasa bersalah atas tindakan tersebut.

Peran Konteks Budaya Indonesia dalam Mempertahankan Praktik Korupsi

Praktik korupsi di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor hukum dan politik, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh konteks budaya yang ada. Berikut adalah beberapa aspek yang menjelaskan bagaimana konteks budaya Indonesia berperan dalam mempertahankan praktik korupsi:

1. Warisan Budaya dan Sejarah

Budaya korupsi di Indonesia sering kali dianggap sebagai warisan dari masa penjajahan, di mana praktik-praktik seperti suap dan nepotisme sudah ada sejak lama. Beberapa ahli berpendapat bahwa sistem feodal dan birokrasi yang diperkenalkan oleh penjajah Belanda menciptakan peluang untuk korupsi yang masih ada hingga kini. Masyarakat yang terbiasa dengan praktik tersebut cenderung menganggapnya sebagai hal yang normal.

2. Rendahnya Kesadaran Hukum

Salah satu faktor kultural yang berkontribusi terhadap korupsi adalah rendahnya kesadaran hukum di kalangan masyarakat. Banyak individu yang tidak memahami konsekuensi hukum dari tindakan korupsi atau merasa bahwa hukum tidak akan diterapkan secara adil. Hal ini menciptakan lingkungan di mana tindakan korupsi dapat dilakukan tanpa rasa takut akan sanksi.

3. Budaya Nepotisme dan Patronase

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun