Mohon tunggu...
Gani Sipayung
Gani Sipayung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirasawasta

Desain Grafis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Polemik dan Keserahan : Tarombo Siraja Batak

2 Juli 2024   04:39 Diperbarui: 2 Juli 2024   22:37 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah Tarombo, sehingga begitu penting untuk dibicarakan, bahkan diketahui seorang yang notabene bersuku Tapanuli atau Toba ? Pembicaraan Tarombo di kalangan suku Toba atau Tapanuli sangatlah menarik, walau tak jarang kemudian sering juga menjadi simpang siur dan tidak menemukan titik temu alias menyisakan perdebatan. Sering juga kemudian hal ini menjadi momok perpecahan diantara kalangan klan serumpun/marga dalam suku Tapanuli alias Toba yang stak dalam sebauh perbedaan pendapat. Umumya Tarombo hanya dikenal "sakral" diantara suku Tapanuli atau Toba, sampai seseorang diaspora yang tidak mengerti mengenai tarombonya, dikategorikan sebagai "dalle" atau orang yang sudah tidak memiliki identitas kebatakan. Berbeda dengan suku Karo, Dairi, Simalungun, umumnya suku-suku ini tidak mengakui Tarombo dari Tapanuli sebagai rujukan, terkecuali hanya bagi mereka kalangan suku Tapanuli yang kemudian tinggal dan menjadi bagian dari suku tersebut.

Tarombo menggambarkan skema asal-usul keturunan Siraja Batak sampai kepada klan keturunannya, marga-marga suku Tapanuli/Toba. Karya tulisan berjudul "Poestaha taringot toe tarombo ni Bangso Batak" oleh Waldemar M. Hoetagaloeng pada tahun 1926 dijadikan sakral dan malah dianggap sebuah karya besar yang menggeralisasi suku Tapanuli sebagai inang dari suku-suku serumpunnya disekitar dataran tinggi Sumatera Utara. Ini tidak lebih dari propaganda, terbukti pada dasarnya buku karya Waldemar Hutagalung justru "semakain terang benderang" mencerminkan karya fiksi besutan Belanda untuk tujuan kolonialismenya di Sumatera Utara.

Dr. Uli Kozok pernah menuliskan dalam akun media sosialnya, sebagai berikut : "Saya tiba pada kesimpulan ini karena di dalam pustaha dan juga di dalam naskah bambu tidak terdapat istilah "Batak". Istilah Batak tersebut terbawa oleh orang luar, para ahli bahasa, penginjil, dan kemudian oleh para pegawai pemerintahan Belanda sehingga lama-kelamaan teradopsi oleh penduduknya sebagai istilah kesukuan. Namun ada satu hal yang mengganggu kesimpulan saya tersebut, yakni adanya SIRAJA BATAK. Kalau memang ada  moyang yang bernama SIRAJA BATAK maka istilah "Batak" tersebut mestinya sudah digunakan oleh penduduk? Oleh sebab itu maka saya kirim email kepada sahabatku Johan Angerler bertanya apakah istilah "Siraja Batak" memang merupakan istilah asli orang Batak (Toba)? Beliau (Johan Angerler) menjawab bahwa sebutan pertama "Siraja Batak" di dalam literatur adalah dengan terbitnya buku "Poestaha taringot toe tarombo ni Bangso Batak" oleh Waldemar M. Hoetagaloeng pada tahun 1926." Demikian kutipan tulisan Dr. Uli Kozok dalam akun tersebut, tertanggal 6 November 2021.

Lebih lanjut, Dr. Uli Kozok menulis lagi : "Setelah pandemi Korona akhirnya saya diperbolehkan masuk arsip Universiteitsbibliotheek, Leiden. Ketika mencari bahan tentang sebuah naskah, saya menemukan surat-menyurat yang ditulis oleh P. Voorhoeve (ahli pernaskahan Batak) kepada Pater Promes (seorang pastor Katolik yang menjadi ahli budaya).

Di dalam surat tertanggal 6 Maret 1985 Voorhoeve mengatakan kepada Pater Promes bahwa dia (P. Voorhoeve_red) tidak pernah melihat rujukan pada "Siraja Batak" sebelum terbitnya buku  Waldemar Hoetagaloeng. Jawaban Pater Promes adalah sbb: "Dugaan Anda bahwa munculnya istilah Siraja Batak relatif baru memang beralasan." Ternyata dalam literatur tentang Batak, termasuk pustaha-pustaha, tidak ada sebutan tentang "Siraja Batak", dan tarombo yang ditulis sebelum 1926 juga tidak mengenal Siraja Batak. Lalu P. Voorhoeve memberi penjelasan, "Belanda membagikan posisi administratif (pegawai negeri) berdasarkan keturunan. Hanya mereka yang dapat memperlihatkan bahwa mereka keturunan raja diperbolehkan menjadi pegawai negeri. Maka orang ramai-ramai mulai menyusun tarombo (yang secara tradisional tidak pernah ditulis), untuk membuktikan "kelayakan" mereka diterima sebagai pegawai negeri." Dan baru sejak keluarnya buku Waldemar Hoetagaloeng maka tarombo-tarombo menyebutkan "Siraja Batak" sebagai leluhurnya. https://www.facebook.com/ulrich.kozok/posts/291059799691268?ref=embed_post

Tulisan Dr. Uli Kozok ini kemudian mendapat tanggapan serius dari berbagai kalangan. Yang menarik disini adalah mengenai penjelasan P. Voorhoeve kepada Pater Promes, dimana ketika Belanda mengutamakan kalangan bangsawan untuk direkrut sebagai Pegawai Negeri, dan tulisan Waldemar Hutagalung dijadikan rujukan pada masa itu.

Saya tertarik dan sangat konsern dengan jawaban yang dituliskan oleh P. Voorhoeve kepada Pater Promes, bahwa kepentingan colonial Belanda pada zaman itu adalah benang merah yang menjadi perhatian. Tatanan sosial masyarakat Tapanuli tidaklah seperti tatana feodalis seperti di Sumatera Timur. Sehingga Belanda memanfaatkannya untuk menciptakan sebuah konstruktif untuk meruntuhkan tatanan feodalisme/keningratan di Sumatera Timur dengan memobilisasi orang-orang Tapanuli ke Sumatera Timur. Kesamaan dan kemiripan budaya kemudian digunakan untuk menguatkan sebuah rekayasa Tarombo, bahwa Tapanuli adalah induk dari suku-suku yang ada di sekitarnya, seperti : Pakpak, Karo, Mandailing, Simalungun, bahkan Nias. Belanda menciptakan sebuah cluster "Batak" dengan sub-sub etnik besutan Belanda. Termasuk pemberian nama administratif "Simalungun" bagi klan kekerabatan empat Kerajaan (Siantar, Panei, Raya, Silou) dan lalu memecahnya menjadi 7, dan ini upaya sistematis dan efektif untuk merontokkan tatanan kerajaan yang berlaku. Terbukti, Belanda juga menerapkan ini untuk memecah Kesultanan Deli menjadi beberapa kesultanan satelit. Tak ayal lagi, orang-orang Tapanuli kemudian di mobilisasi dan ditempatkan sebagai pegawai strategis, sebegai pekerja kasar, dan sebagainya, di semua wilayah, di Sumatera Timur. Teringat dengan peristiwa kelam Revolusi Sosial di Sumatera Timur, dimana beberapa keluarag Raja-raja kerajaan dan Partuanon di Simalungun akhirnya lenyap dalam genosida (1945-1946), dan momen kelam inilah dimanfaatkan Belanda  untuk mempengaruhi perlawanan raja-raja Sumatera Timur terhadap kolonialisme Belanda di Sumatera Utara, seiring dengan pergerakan pollitik tanah air dan gejolak perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pertanyaan menggelitik, apakah kluster Batak dengan leluhur Siraja Batak yang turun dari langit "ciptaaan Belanda" melalui tangan seorang Waldemar Hutagalung (1926) ?

Saya kemudian menemukan tulisan dalam blog Sadarsibarani's Weblog berjudul Kelompok-kelompok Marga https://rajabatak2.wordpress.com/tag/sahala-sihahaan/ yang mengatakan : "Penulis tarombo yang pertama bernama W.K.H. Ypes. Semasa menjabat Asisten Residen (1917) beliau ditugasi mengadakan penelitian dalam rangka kampong vorming (penataan kampung), satu dan lain hal dimaksudkan sebagai perpanjangan tangan pemerintah penjajah di tingkat paling bawah. Agar tidak terjadi kesalahan dalam menentukan kepala-kepala kampung yang biasanya ditunjuk dari antara keturunan keluarga sulung. Hasilnya ialah berupa satu laporan yang sangat tebal dan karena isinya dianggap penting kemudian pada tahun 1922 dijadikan buku dengan judul "Bijdrage tot de Kennis van de Stamvert wantschappen, en het Grondenrecht der Toba en Dairibataks" (Kontribusi untuk Pengetahuan Stamvert, dan Hukum Dasar Toba dan Dairibataks_red. : diterjemahkan oleh glosbetranslate - https://translate.glosbe.com/nl-id ).

Masih menurut Sadarsibarani's Weblog, tulisan Ypes mengilhami penulis-penulis pribumi yang lain. Mereka umumnya adalah demang yang, karena tugasnya, banyak berhubungan dengan penyelesaian sengketa adat yang begitu marak sebagai akibat diperkenalkannya sistem peradilan yang baru. Penulis tarombo pertama adalah Waldemar Hutagalung (1926). Menyusul M. Salomo Pasaribu dengan judul Tarombo ni Borbor Morsada (1929), yang mengkhususkan pada silsilah turunan Guru Tatea Bulan. Kedua buku ini dicetak di Christeliyk Drukkeriy, Laguboti. Kemudian seorang guru H.B. Siahaan, yang lebih dikenal dengan gelar Mangaraja Asal, menerbitkan buku dengan judul Tarombo ni T.S. Dibanua dicetak pertama seksali di Laguboti (1940), kemudian pada tahun 1962 (cetakan kedua), dicetak di Perc. Philemon bin Harun Medan. Buku ini berisi daftar nama yang sangat panjang, mulai dari Sibagot Nipohan sampai generasi Mangaraja Asal Siahaan. (Buku ini tidak sesuai dengan judulnya, karena hanya memuat turunan Sibagot Nipohan --pen). Pada tahun 1961, Wasinton Hutagalung, masih pensiunan demang, menulis buku yang berjudul Tarombo Marga ni Suku Batak. Wasinton Hutagalung menulis buku ini dalam bahasa Batak yang begitu indah. Beliau mengaku bahwa buku tersebut mengacu pada tulisan W.K.H. Ypes, penulis asing pertama. Salah satu yang menarik dari tulisan beliau ialah apa yang dia katakan pada awal bukunya: "Namangalitoki partubu do hu hilala molo nidok ompu i na madekdek sian langit manang na mapultak sian bulu. Ndang na so adong ringkot ni angka mythen nian, ai sian i do dapot tandaon isara ni parpingkiran ni sada-sada bangso nahinan, alai anggo sian tarombo tama do i tarbatas: mythen ma na mythen, sintuhu ma na sintuhu." Kata-kata Wasinton Hutagalung dapat diterjemahkan secara bebas sebagai berikut: "Menyatakan leluhur sebagai manusia yang turun dari langit atau melompat dari bambu adalah sama dengan mengaburkan asal-usul keturunan. Mitologi memang memiliki makna karena dari mitologi kita dapat menyelami cara berpikir suatu bangsa pada suatu zaman. Akan tetapi, dalam penulisan tarombo harus dibatasi dengan tegas mana yang termasuk mitologi dan mana yang termasuk fakta."

Disini memperlihatkan keresahan seorang Wasinton Hutagalung mengenai mitos dan tarombo klan Siraja Batak, bahwa mitos bukan kebenaran yang "sulit" membawa kepada sebuah kesimpulan. Benar saja, polemik tentang Tarombo Siraja Batak mungkin tidak akan pernah berakhir, karena memang tidak dibangun dengan kebenaran. Sadar atau tidak sadar, mungkin generasi ini harus berpikir dengan jernih, bahwa polemik terhadap Tarombo Siraja Batak tidak pantas dipersoalkan dan berhenti memaksakan bahwa Siraja Batak sebagai inang atau lelukur bagi suku-suku lain! Sudah pasti, kolonial Belanda serta merta turut andil dalam menghanguskan literatur dan bukti-bukti sejarah untuk memuluskan rekayasa konstruktifnya. Sehingga saat ini sangat minim sekali literatur maupun fakta-fakta, bahkan nyaris akan sulit untuk melakukan pembuktian secara historis. Memang, dalam banyak sejarah kelam di dunia, hal ini sangat jamak dilakukan, demi kepentingan kolonilsme itu sendiri.

Menikmati tulisan Edward Simanungkalit dalam Kompasiana "Membongkar Mitos Siraja Batak" https://www.kompasiana.com/edwardsimanungkalit/576c30b90d977301122083c4/membongkar-mitos-si-raja-batak-sebuah-strategi-belanda-dalam-pembatakan-non-melayu?page=5&page_images=4,  bahwa dengan Tarombo adalah usaha Belanda melakukan konstruktif tobanisasi atau pembatakan demi kepentingan politisnya? Tidak perlu fanatik, antipati atau juga generalisasi, karena zaman dan peradaban ditentukan oleh alam, maka jadilah manusia moderat dan menjadi diri sendiri. Manusia diciptakan untuk bebas menikmati alam yang disukainya, tidak perlu mengusik keberadaan manusia disekitarnya, tetapi berdiri bersama-sama untuk membangun peradaban yang lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun