Penulis: Jessica Nathania, Ganta Adianto Nugroho, Rokhiyyun Nuswah, Ganisia Arfanurjakti, I Gede Diva Aditya, Vania ClarissaÂ
Belt and Road Initiative (BRI) sebagai inisiatif utama dapat disusun menjadi dua alasan utama. Pertama, BRI adalah salah satu proyek infrastruktur dan investasi paling ambisius yang digagas oleh pemerintah Tiongkok. Inisiatif ini memungkinkan Tiongkok untuk memperluas pengaruhnya di seluruh dunia melalui pembangunan infrastruktur yang menghubungkan berbagai negara. Sri Lanka menerima pinjaman besar dari Tiongkok untuk proyek pembangunan pelabuhan Hambantota. Namun, negara ini mengalami kesulitan pembayaran utangnya, yang mengakibatkan Sri Lanka harus memberikan kontrol atas pelabuhan tersebut kepada pihak Tiongkok. Ini adalah salah satu contoh dampak negatif yang mungkin timbul dari keterlibatan dalam BRI, dan studi kasus ini memberikan wawasan penting tentang bagaimana proyek ini dapat memiliki konsekuensi ekonomi dan geostrategis yang kompleks bagi negara-negara yang terlibat.Â
Sri Lanka telah mengalokasikan sejumlah besar dana untuk proyek infrastruktur yang telah menimbulkan keraguan mengenai sumber pembiayaannya, dan ini telah memperburuk masalah utang negara. Sri Lanka masuk ke dalam diplomasi "debt-trap" China. Pada tahun 2020, negara ini menerima garis $3 miliar dalam bentuk kredit mudah dari China untuk membantu pembayaran utangnya yang ada. Sri Lanka gagal membayar utang luar negerinya kepada China pada Mei 2022 di tengah krisis keuangan terburuk dalam beberapa dekade. Sri Lanka telah menyatakan kebangkrutannya karena tidak mampu memenuhi kewajiban utang yang menumpuk. Pemerintah Sri Lanka tidak mampu mengatasi masalah ekonomi, sehingga kehilangan legitimasi. Sebuah negara yang bangkrut seringkali dapat dianggap sebagai negara yang gagal karena tidak dapat membayar utang atau bunga pinjamannya kepada kreditur, dan juga tidak mendapatkan dukungan untuk pinjaman tambahan. Sedangkan negara yang gagal adalah negara yang kehilangan legitimasi dalam mata dunia.Â
Proyek Belt and Road Initiatives (BRI) yang seharusnya membawa pembangunan dan kemajuan, malah mengantarkan Sri Lanka ke dalam jebakan hutang (debt-trap). Fenomena ini terjadi karena China menyisipkan kepentingannya ke dalam proyek ini, sehingga pada akhirnya negara pendonor (China) yang akan paling diuntungkan. Hal ini selaras dengan argumen teori ketergantungan yang menyatakan bahwa kerjasama pembangunan akan menghasilkan interdependensi antar negara dan menciptakan kesenjangan antara negara core dan periphery. Selain itu, instabilitas kondisi ekonomi-politik Sri Lanka juga berkontribusi sebagai penyebab masuknya negara ini ke dalam debt-trap. Sri Lanka dapat dikatakan tidak memiliki kelayakan untuk memperoleh kredit yang sangat besar sehingga pada akhirnya mereka kesulitan untuk membayar dana pinjaman pembangunan proyek BRI.Â
Pendanaan Proyek Belt and Road Initiatives (BRI)
Keterlibatan Sri Lanka dalam proyek BRI mendapat kritik dari berbagai pihak, terutama atas bagaimana proyek ini menjerumuskan Sri Lanka pada kemunduran alih - alih kemajuan dan pembangunan, ditambah dengan kemerosotan kondisi perekonomian Sri Lanka di tahun 2022. Secara umum, devisa negara Sri Lanka berasal dari tiga sumber pemasukan, yaitu: pariwisata, pengiriman uang asing, dan ekspor komoditas (Pingewatta, 2022). Apabila ditarik mundur, sebelum menjadi bagian dari BRI, Sri Lanka memang sudah menghadapi beberapa kendala dalam manajemen ekonomi. Hal ini diperparah dengan faktor - faktor eksternal dan keengganan pemerintah untuk menerima bantuan dari International Monetary Fund (IMF) (Jones & Hameiri, 2020).Â
Setelah bergabung menjadi bagian dari BRI di tahun 2013, Sri Lanka mengalami banyak goncangan ekonomi. Hal ini dikarenakan Sri Lanka harus meminjam dana untuk mendanai proyek BRI di negaranya, seperti Pelabuhan Hambantota dan Kota Pelabuhan Kolombo. Tak hanya pelabuhan Hambantota, Sri Lanka juga berencana untuk membangun infrastruktur lainnya sehingga pembangunan proyek - proyek ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Mekanisme pinjaman dilakukan dalam dua tahap, yaitu: pemberian dana sebesar USD 360 miliar di tahun 2008 dan tahap kedua sebesar USD 600 miliar pada tahun 2011 (Awaly, 2023). Instabilitas kondisi ekonomi ditambah dengan besarnya pinjaman luar negeri membuat Sri Lanka masuk ke dalam kondisi yang disebut debt-trap.
Ketergantungan Ekonomi Sri Lanka terhadap China dalam Proyek BRIÂ
Salah satu tujuan BRI adalah pembangunan pelabuhan. Sri Lanka merasa bahwa mereka membutuhkan infrastruktur tersebut untuk mendorong pembangunan negaranya, sehingga dapat melakukan ekspor-impor. Walaupun begitu, pembangunan pelabuhan ini tidak akan sepenuhnya mendukung kepentingan Sri Lanka karena akan digunakan oleh China sebagai tempat persinggahan kapal dan jalur pengangkutan barang - barang ke China (Nurjayanti, 2020).
Dengan tidak adanya otonomi keuangan, Sri Lanka pada akhirnya bergantung pada investor - investor asing untuk dapat melanjutkan proyek yang sedang dibangun. Adapun, sebagian besar proyek - proyek BRI di Sri Lanka sangat mengandalkan pendanaan dari pemerintah China dan perusahaan swasta asal China (Wignaraja et al., 2020). Di sisi lain, minimnya studi kelayakan terhadap proyek - proyek BRI di Sri Lanka memberi ancaman bahwa investasi tersebut tidak dapat memberikan imbal hasil yang setara (Wijayasiri & Senaratne, 2018). Selain dari sisi utang, ancaman ekonomi yang dihadapi Sri Lanka dari proyek ini adalah masuknya pekerja - pekerja asing dari China, yang sedikit banyaknya akan menggeser posisi pekerja lokal.
Dampak Belt and Road Initiative (BRI)Â
Pada akhirnya, krisis ekonomi yang dialami Sri Lanka akhirnya menyebabkan ketidakmampuan mereka dalam membayar hutang luar negeri kepada China. Namun, China sendiri memiliki andil dalam kegagalan Sri Lanka tersebut. Pemerasan berkedok bantuan pembangunan BRI di Sri Lanka merupakan salah satu penyebab kegagalan perekonomian negara tersebut. Krisis ekonomi tentunya berdampak besar pada sosial dan politik dalam negeri Sri Lanka.Â
Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai permasalahan baru di masyarakat dan aksi protes masyarakat pada pemerintah. Pemerintah Sri Lanka mulai membatasi impor beberapa komoditas penting, untuk mempertahankan cadangan devisa negara. Akibatnya, harga barang kebutuhan pokok naik, inflasi mencapai angka 25%. Terjadi pula pemadaman listrik selama 13 jam per harinya imbas dari ketidaksanggupan pemerintah dalam memasok listrik untuk masyarakat Sri Lanka. Kondisi ini menyebabkan terjadinya banyak aksi protes oleh Masyarakat Sri Lanka akibat tidak puas dengan pemerintah. Sebagian besar Masyarakat sudah kehilangan kepercayaan dengan pemerintah.
Kondisi perekonomian Sri Lanka saat ini ditandai dengan tantangan yang signifikan. Negara ini telah mengalami kontraksi PDB, dengan perekonomian menyusut sebesar 3,1% pada kuartal kedua tahun ini dan proyeksi kontraksi lebih lanjut sebesar 4,3% sepanjang tahun 2023. Kemerosotan ekonomi dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kekurangan input, gangguan rantai pasokan, dan krisis neraca pembayaran yang parah. Ketidakseimbangan utang dan fiskal negara juga berkontribusi terhadap tantangan perekonomian, sehingga berdampak negatif terhadap pertumbuhan dan pengentasan kemiskinan.Â
Tingkat inflasi berfluktuasi, dengan sedikit kenaikan pada bulan Oktober 2023, dan diperkirakan akan turun pada tahun 2024. Pemerintah telah menyusun proposal untuk merestrukturisasi utang dari kreditor-kreditor besar, dan pengumuman baru-baru ini mengenai proyek infrastruktur oleh Tiongkok dan A.S. diharapkan dapat meningkatkan investasi dan membantu pemulihan ekonomi. Secara keseluruhan, perekonomian Sri Lanka sedang menghadapi kesulitan yang signifikan, dan diperlukan upaya bersama untuk mengatasi ketidakseimbangan yang ada dan mendukung pertumbuhan berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H