Mohon tunggu...
Ganesha Siti Fariza
Ganesha Siti Fariza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Indonesia

Ganesha Siti Fariza, akrab disapa dengan Echa merupakan salah satu mahasiswa Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu SosiaI dan lmu Politik dengan jurusan Ilmu Politik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hak dan Kesempatan yang Setara bagi Perempuan

13 Oktober 2024   20:40 Diperbarui: 13 Oktober 2024   20:50 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
rutgers.international

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada diri manusia bersifat kodratif dan fundamental. Secara eksplisit, melalui pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa adanya pengakuan terhadap prinsip persamaan bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali. Prinsip ini bertujuan untuk menghapuskan diskriminasi, karena pada hakikatnya, seluruh warga negara memiliki memiliki hak yang sama di depan hukum dan pemerintah, tanpa memperhatikan agama, suku, gender, status, atau kelompok.Hukum HAM mengharuskan pemerintah untuk menjalankan beberapa kewajiban tertentu, sekaligus melarang untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu lainnya. Hak untuk hidup bebas dari kekerasan dan diskriminasi; memperoleh pendidikan; memiliki properti; memilih; dan memperoleh upah yang sama menjadi salah satunya yang harus dijunjung tinggi. Perlu disadari, makna HAM sangat penting untuk diakui karena dapat melindungi martabat serta mengatur manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Secara hukum, baik di tingkat internasional maupun nasional, instrumen hukum dan perundang-undangan Indonesia mengakui adanya prinsip kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi dalam kenyataannya, masih terdapat pelanggaran hak dan marak terjadi ketidaksetaraan gender yang dialami oleh perempuan dan tentunya sangat merugikan. Diskriminasi yang dialami oleh mayoritas perempuan, menjadi sebuah hal yang harus ditindak lanjuti. Kaum perempuan seringkali tergolong sebagai individu yang tertinggal dan termarjinalkan baik itu dalam ekonomi, pendidikan, kesehatan pekerjaan, maupun bidang politik.

Banyaknya pelanggaran yang dialami oleh perempuan, seperti kekerasan berbasis gender, kekerasan seksual, diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, serta diskriminasi di tempat kerja, sering kali berakar pada budaya patriarki. Patriarki, yang menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan dan dominasi sosial, berkontribusi terhadap pembatasan peran perempuan di berbagai aspek kehidupan, menciptakan ketidaksetaraan yang terus mengukuhkan praktik-praktik diskriminatif tersebut. Pandangan ini mengakar kuat di masyarakat, sehingga kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan sering dianggap wajar atau diabaikan.

Berdasarkan Catatan Tahunan Khusus (CATAHU) tahun 2023, jumlah kekerasan terhadap perempuan terjadi sebanyak 289.111 kasus. Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan angka kekerasan terhadap perempuan sebesar 55.920 atau 12% dari tahun 2022. Selain itu, melalui rilis data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Indonesia pada tahun 2023 sebesar 0,447, turun sebanyak 0,012 dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 0,459. Selama 5 tahun terakhir, IKG Indonesia secara konsisten mengalami penurunan yang menandakan bahwa kesetaraan gender terus mengalami peningkatan di Indonesia.

Melalui The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) yang dibentuk pada 18 Desember 1979, mengatur terkait kesepakatan hampir seratus negara untuk memantau situasi perempuan dan memajukan hak-hak perempuan agar mendapatkan kesetaraan dengan laki-laki. Peran dari konvensi ini sangat penting ketika menempatkan kaum perempuan sebagai fokus perhatian dalam masalah HAM.

Secara eksplisit, pada bagian pembukaan konvensi menyatakan bahwa "diskriminasi terhadap perempuan masih terjadi secara luas" dan menegaskan bahwa "diskriminasi ini melanggar prinsip-prinsip kesetaraan hak serta penghormatan terhadap martabat manusia". Selain itu, status hukum perempuan mendapatkan perhatian paling besar yang mencakup pada partisipasi politik tahun 1952. Sehingga, pada pasal 7 dinyatakan bahwa perempuan memiliki jaminan atas hak untuk memilih, memegang jabatan publik dan menjalankan fungsi publik.

Melalui konvensi ini, HAM harus diperluas untuk mengakui peran budaya dan tradisi yang sering membatasi hak-hak perempuan. Stereotip, adat istiadat, dan norma-norma sosial menimbulkan hambatan bagi kemajuan perempuan di berbagai bidang. Oleh karena itu, untuk mencapai kesetaraan penuh, diperlukan perubahan peran tradisional laki-laki dan perempuan dalam masyarakat serta keluarga. Negara-negara pihak, sesuai dengan Pasal 5, diwajibkan berupaya mengubah pola sosial dan budaya yang mendukung prasangka gender dan peran stereotip.

Jika dilihat melalui perspektif agama, hak asasi perempuan merupakan hak yang dimiliki oleh perempuan karena termasuk dalam kelompok masyarakat sehingga mendapatkan jaminan atas hak yang dimiliki. Melalui pasal 2 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa hak perlu dimiliki oleh semua orang tanpa diskriminasi. Apabila terjadi pelanggaran terhadap hak asasi perempuan, hal itu termasuk pelanggaran HAM.

Menurut pandangan Islam, hak dan kewajiban yang dimiliki perempuan sama seperti laki-laki. Walaupun, melalui Q.S An-Nisa ayat 4 berbunyi :

 

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun