Mohon tunggu...
Ganesha Siti Fariza
Ganesha Siti Fariza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Indonesia

Ganesha Siti Fariza, akrab disapa dengan Echa merupakan salah satu mahasiswa Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu SosiaI dan lmu Politik dengan jurusan Ilmu Politik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konflik Israel-Palestina dalam Dunia Kontemporer Melalui Perspektif Orientalisme

29 Maret 2024   23:02 Diperbarui: 2 April 2024   12:27 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://uinsgd.ac.id/akar-akar-konflik-israel-palestina/

Perang Gaza atau yang biasa dikenal dengan sebutan Konflik Israel-Palestina merupakan sebuah peristiwa atau konflik yang hingga kini tidak dapat terselesaikan dan bersifat sangat sensitif. Melalui sebuah konsep yang dikemukakan oleh Edward Said dalam bukunya yang berjudul Orientalism, menjadi kritik terkait dengan bagaimana cara pandang Barat dalam melihat juga memahami Timur, terutama Timur Tengah (termasuk Palestina). 

Orientalisme juga merevolusi studi Timur Tengah dan membantu menciptakan juga membentuk bidang studi baru seperti teori Pasca-Kolonial dan mempengaruhi berbagai disiplin ilmu seperti Bahasa Inggris, Sejarah, Antropologi, Ilmu Politik dan Studi Budaya (Jhally, 2012). 

Selain itu, orientalism juga menganalisis dan menggambarkan budaya, politik dan sosial dari perspektif budaya yang dikendalikan atau dikontrol. Merujuk pada konflik Israel-Palestina, orientalism membantu menjelaskan konflik dari berbagai perspektif yang berbeda, mulai dari politik, sejarah, teritorial, agama pendidikan dan lainnya. Adanya konflik antara Israel dan Palestina yang tak kunjung reda membuat masyarakat terfokus pada isu tersebut. 

Tak hanya itu, banyaknya korban jiwa yang telah terbunuh akibat dari penyerangan yang dilakukan oleh Israel ke Palestina sangat menuai berbagai aksi simpatik bagi masyarakat luas. Konflik Israel dan Palestina merupakan sebuah konflik yang terjadi karena adanya perebutan tanah yang terjadi di wilayah Palestina. Yahudi menginginkan tanah yang dijanjikan yakni Palestina dan Yahudi juga meyakini bahwa Yerusalem harus kembali menjadi ibukota bangsa Yahudi dan mengembalikan hak Bangsa Yahudi yang selama ini tertindas (Shihab, 1999). 

Sejarah Panjang Konflik Israel-Palestina

Jika dilihat dari konteks sejarah yang terjadi pada konflik Israel dan Palestina ini dimulai ketika berakhirnya Perang Dunia I yang saat itu perancis yang menjadi sekutu dari Inggris berhasil memenangkan kekaisaran Utsmaniyah di Timur Tengah dengan menguasai wilayah yang terbagi untuk dikuasai oleh Inggris dan Perancis. Sykes-Picot Agreement menjadi salah satu perjanjian rahasia yang membagi wilayah menjadi beberapa zona yakni zona A dikuasai Perancis (Suriah dan Lebanon), zona B dikuasai Inggris (Palestina dan Irak), lalu zona kepentingan. 

Wilayah Palestina yang berada dibawah kekuasaan Inggris memiliki kaum minoritas yang terdiri dari Orang Arab dan Orang Yahudi. Akibat adanya konflik yang memanas, Komunitas Internasional meminta kepada Inggris untuk memberikan "rumah" untuk orang Yahudi di Palestina dan menteri luar Inggris menyetujui akan hal itu yang dikenal dengan sebutan deklarasi Balfour. 

Kedatangan akan kaum Yahudi ke tanah Palestina sekitar tahun 1923-1948 yang didukung oleh Inggris menyebabkan rasa khawatir yang mendalam akibat perubahan demografi dan penyitaan tanah yang telah dilakukan oleh Inggris yang diberikan kepada kaum Yahudi. Sekitar tahun 1945-1947, terjadi tragedi the Holocaust yaitu pembantaian massal kaum Yahudi di Jerman yang kemudian banyak kaum Yahudi melakukan imigrasi ke Palestina. 

Dengan adanya perpindahan tersebut mengakibatkan populasi kaum Yahudi di tanah Palestina semakin melonjak sebesar 33%. Lalu, terjadi resolusi 181 yang dimana PBB mengajukan pembagian wilayah atas permintaan dari Inggris. Palestina menjadi negara Arab dan Negara Yahudi serta Kota Suci Yerusalem dan Betlehem dibawah PBB. Namun resolusi 181 itu ditolak oleh kedua belah pihak (Sholehkatin et al., 2004, p.34). 

Sekitar pada tanggal 14 Mei 1948 yang dimana kala itu belum ada kejelasan terkait pembagian wilayah, kemudian sudah muncul kembali permasalahan baru yakni Israel telah memproklamasikan kemerdekaannya sebagai bentuk negara yang baru. Hal itu diungkapkan oleh ketua Yishuv komunitas Yahudi di Palestina yaitu David Ben Gurion. 

Setelah pendeklarasian Israel menjadi negara, kaum zionis sudah mulai melancarkan aksinya dan memulai operasi militer dengan menghancurkan bangunan yang ada di Palestina (Sholehkatin et al., 2004, p.34). Operasi militer ini bertujuan untuk memperluas batasan negara Israel yang pada saat itu hanya berpopulasi 806.000 jiwa (PRB, 2014). 

Nakba 1948 menjadi suatu bencana bagi kaum Arab di Palestina yang diusir secara paksa dan kehilangan tempat tinggal dengan jumlah 750 ribu warga. Selain itu, dengan adanya peristiwa Nakba, Israel semakin menguasai wilayah-wilayah Palestina karena kemenangannya atas Perang antara Arab dan Israel. 

Setelah kejadian Nakba 1948, warga Palestina tetap mendiami wilayahnya walaupun 78% sudah dikuasai oleh zionis dan kewarganegaraan telah diberikan kepada Israel. Jalur Gaza menjadi wilayah yang tersisa yang masih menjadi hak warga Palestina, namun hal itu ingin direbut pula oleh Israel. Perang 6 Hari menjadi sebuah momentum ketika Israel melawan koalisi tentara Arab. 

Lalu, muncullah gerakan Hamas yang menjadi sebuah gerakan sebagai masyarakat yang kontra akan kedatangan dan menjadi populasi di tanah Palestina. Hamas yang kala itu hanya sebagai gerakan pemberontakan kecil namun kini menjadi partai politik. Hingga sekarang, Israel dan Palestina seringkali melancarkan aksi gencatan senjata yang dapat terbilang sebagai kejahatan genosida (Sholehkatin et al., 2004, p.35). 

Orientalism Edward W. Said

Menurut Said, cara pandang Barat, Eropa dan AS (yang menjadi sekutu dari Israel) memandang bahwa negara-negara dan masyarakat di Timur Tengah dapat dilakukan melalui lensa yang memutarbalikkan realitas aktual yang sebenarnya terjadi. Melalui teori orientalisme, Barat seringkali menganggap bahwa Timur menjadi sosok yang terlalu eksotik dan seringkali dipengaruhi oleh stereotip dan prasangka didalamnya. 

Dengan adanya kemerdekaan atas Israel, orientalism melihat dalam pandangan Barat bahwa bangsa Yahudi memiliki tantangan untuk memajukan dirinya serta memperluas batasan wilayahnya. Begitu pula dengan adanya kejadian Resolusi 181 yang dilakukan oleh PBB atas pembagian wilayah Palestina kepada Israel dan bangsa Arab dirasa cukup tidak andil, hal itu karena Israel mendapatkan wilayah sebesar 56% (Wirajaya, 2020). 

Berdasarkan orientalism, Barat hanya mengutamakan dirinya sendiri dengan membagi wilayahnya tanpa mempertimbangkan penduduk lokal. Sejalan dengan peristiwa nakba 1948 yang menjadi sebuah bencana bagi bangsa Arab, sangat mencerminkan orientalism yang dimana Israel melakukan perluasan wilayah dan merampas hampir semua yang dimiliki oleh bangsa Arab, mulai dari hak tanah dan identitas masyarakat Arab tersebut. 

Banyaknya serangan yang terjadi secara mendesak oleh pasukan tentara militer Israel kepada Palestina, mencerminkan bahwa Barat memandang adanya kerendahan pada orang Arab dalam menguasai peperangan. Hal itu selalu menjadi bahan olokan bagi orang Israel karena orang Arab dianggap tidak modern dan masyarakat Palestina maupun tentara Hamas seringkali dikatakan sebagai teroris dalam perspektif orientalism. 

Selain itu dari orientalism juga mengangkat bahwa media yang memberitakan persoalan Israel dan Palestina disiarkan melalui berbagai cara mulai dari berita atau narasi yang disajikan, gambar dan pandangan. Adanya media sosial tentu memainkan peran yang cukup penting karena di dalam media sosial tersebut semua orang memiliki perspektif yang berbeda terkait dengan pendukungan salah satu pihak, baik itu Israel maupun Palestina. 

Dalam pandangan orientalism, media Barat dianggap seolah-olah menarasikan hal yang 'benar' dan cenderung merasa paling superior. Kebalikannya dari Timur, mereka seringkali diberikan stereotip dan prasangka yang merendahkan. Selain itu, media sosial di Barat juga sering kali ditampilkan terkait proses pencapaian konsensus antara Palestina, namun berbeda dengan Timur yang seringkali memperlihatkan kerendahan mereka di dalam media sosial berupa, ketidakadilan dan penderitaan yang dialaminya. 

Maka dari itu, cara pandang Barat dianggap sebagai pemutarbalikkan faktual yang seringkali diabaikan oleh masyarakat sehingga dengan adanya orientalism membantu untuk memengaruhi persepsi Barat tentang konflik Israel Palestina dengan mengkritisi serta mengatasi bias dalam pengetahuan dan representasi, juga memberikan pemahaman yang luas dan adil antara kedua belah pihak terkait konflik ini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun