Seiring dengan semakin dekatnya Pemilihan Umum di Indonesia, banyak artis dan bahkan beberapa menteri yang ikut mencalonkan diri sebagai anggota parlemen.Â
Hal ini bukanlah hal yang baru di Indonesia, di mana pernikahan antara politik dan hiburan sudah menjadi hal yang umum. Namun, fenomena ini juga terjadi di beberapa negara tetangga dan negara-negara maju.
Di Indonesia, fenomena ini sering disebut sebagai "artistokrasi", di mana artis yang populer mencalonkan diri sebagai anggota parlemen untuk memperoleh popularitas dan kekuasaan politik.Â
Selain itu, ada juga beberapa menteri yang mencalonkan diri sebagai anggota parlemen di pemilihan umum, dengan tujuan untuk memperkuat posisi mereka dalam pemerintahan.
Hal yang sama juga terjadi di negara-negara tetangga seperti Filipina, di mana beberapa artis telah mencalonkan diri sebagai anggota parlemen dan bahkan presiden. Beberapa di antaranya berhasil memenangkan jabatan publik dan memiliki pengaruh yang signifikan di bidang politik.
Namun, di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, artis yang mencalonkan diri sebagai anggota parlemen atau presiden bukanlah hal yang umum. Meskipun ada beberapa artis yang mencoba terjun ke dunia politik, namun mereka jarang berhasil memenangkan posisi publik yang diinginkan.
Beberapa pengamat politik menganggap fenomena ini sebagai contoh dari "demokrasi uang" di mana orang kaya dan berpengaruh memiliki keunggulan dalam memenangkan pemilihan umum.Â
Selain itu, banyak orang juga berpendapat bahwa artis atau menteri yang mencalonkan diri sebagai anggota parlemen cenderung kurang memahami isu-isu politik dan kurang siap untuk mengambil tanggung jawab publik yang besar.
Dalam konteks Indonesia, beberapa pengamat politik juga menyoroti bahwa fenomena artistokrasi telah merusak proses politik dan demokrasi di Indonesia.Â
Banyak artis yang terpilih sebagai anggota parlemen cenderung tidak fokus pada pekerjaan mereka sebagai legislator dan lebih memilih untuk bermain-main di dunia hiburan.Â
Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa para pemilih cenderung memilih orang berdasarkan popularitas mereka daripada kualitas kepemimpinan dan pengalaman politik.
Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk meningkatkan kualitas pemilihan umum dan memastikan bahwa orang-orang yang terpilih sebagai anggota parlemen memiliki kualifikasi yang memadai untuk memimpin negara.Â
Pemerintah dan partai politik juga perlu mengambil langkah-langkah untuk mencegah terjadinya fenomena artistokrasi dan memastikan bahwa proses pemilihan umum dilakukan secara transparan dan jujur.
Semoga artis dan menteri yang ingin maju nyaleg bukan bertujuan untuk meningkatkan popularitas atau hanya untuk memperkuat posisi kekuasaan politik. Penulis juga berharap para sipil juga tidak buta dengan politik dan pemerintahan. Sehingga fenomena menteri dan artis nyaleg tidak masalah karena rakyat akan pintar dalam memilih yang terbaik untuk negerinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H