Gambaran tentang episode Banten masa kini yang menjadi bumi yang “dilaknat” tampaknya juga menjadi bagian dari sejarah kontemporer kampus kami yang belum mampu menjadi bagian penting dan signifikan dalam mengubah wajah keterbelakangan dan ketertinggalan Provinsi Banten. Kampus yang menggunakan kemuliaan nama Sultan Ageng Tirtayasa dan menjadikan sosok dan dedikasinya sebagai basis pendidikan karakter di kampus Kami, faktanya belum mampu mewujudkan karakter tersebut dalam tata kelola perguruan tinggi serta segenap peri kehidupan dan pergaulan kampus secara nyata.
Sosok Sultan Ageng Tirtayasa dikenal sebagai perwira-pejuang yang tegas dan tanpa kompromi terhadap kebathilan, sayangnya sebagian besar intelektual di kampus Kami adalah pengecut yang selalu berlindung dalam zona nyamannya kekuasaan sehingga disibukkan dengan berbagai proyek mencari pembenaran atas apa yang dilakukan penguasa. Sultan adalah seorang intelektual yang teknokratis, yang terus menerus mengembangkan dan mendedikasikan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan masyarakat sehingga Banten menjadi negeri dengan swasembada dan ketahanan pangan yang mampu menyelamatkan masyarakatnya di tengah embargo akibat konfrontasi dengan VOC saat itu. Sayangnya sebagian besar dari kami adalah dosen yang hanya berorientasi menggugurkan kewajiban untuk mengajar, meneliti, dan mengabdi pada masyarakat sehingga tidak bermakna dan tidak meninggalkan warisan peradaban apapun bagi kemajuan kampus Kami. Sultan juga adalah seorang yang relijius, namun kehidupan di kampus kami sangat kering dari nilai-nilai relijiusitas dalam tata kelola dan pergaulan masyarakat kampusnya. Jual beli nilai misalnya, meski sulit dibuktikan dan meski tidak berskala massif namun menjadi isu yang hampir setiap hari Kami dengar karena nyaris tidak mendapatkan perhatian dan tindakan serius. Demikian pula dengan isu jual beli skripsi, perselingkuhan, jual beli kursi mahasiswa baru, jual beli kursi pegawai/dosen baru, korupsi dalam pengadaan barang dan jasa serta pengelolaan keuangan negara, dan lain-lain bentuk KKN yang dilakukan dengan sangat rapi dan melibatkan sejumlah petinggi kampus.
Di sisi lain, meski secara jujur Saya tidak menafikkan sejumlah kemajuan yang dicapai UNTIRTA sejak menjadi PTN, namun secara obyektif Saya pun harus mengakui fakta ketertinggalan kampus kami dalam hal budaya dan atmosfir akademik yang sesungguhnya menjadi ruh sebuah masyarakat akademik. Dan inilah yang sama sekali kurang disentuh selama ini, meski secara fisik ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas penunjang lainnya telah banyak mengalami peningkatan. Inilah pekerjaan rumah kampus kami yang hingga kini masih tertinggal sebagai impian, yaitu belum mampu sepenuhnya bertransformasi dari kultur yayasan di era sebagai perguruan tinggi swasta kecil pada tahun 1980-2002, menjadi kultur sebuah PTN yang dihormati dan disegani minimal di wilayah Provinsi Banten. Tata kelola perguruan tinggi yang masih sangat dipengaruhi faktor-faktor primordial dan politis yang bersifat nepotis dan kolutif merupakan benih perilaku korup yang masih terpelihara hingga kini, sebagaimana tercermin dalam rekrutmen pegawai, promosi jabatan, penerimaan mahasiswa baru, hingga pemilihan rekanan dalam pengadaan barang dan jasa. Demikian pula dengan persoalan etika akademik yang nyaris tidak pernah menjadi kampanye besar yang dilakukan secara massif, terstruktur, dan sistematis oleh pimpinan perguruan tinggi dan fakultas, sehingga menjadi public awareness di kalangan sivitas akademika. Alih-alih menjadi moralitas publik, persoalan penegakan etika akademik hampir selalu diselesaikan “secara adat” dalam ruang-ruang tertutup yang kompromistis sehingga praktis tidak menimbulkan efek jera sama sekali dan bahkan tidak menjadi kepedulian publik untuk memeranginya. Inilah persoalan besar yang Kami hadapi, yang secara faktual Kami yakini sebagai efek psikologis dari masalah etis sejenis yang menyandera sejumlah pimpinan kampus Kami sehingga menyebabkan keengganan mereka untuk menjadikannya sebagai musuh bersama yang harus diperangi karena khawatir justru akan menguak aib diri mereka sendiri.
Pak Menteri yang Saya banggakan,
Salah satu faktor yang memompa keberanian Saya untuk menuliskan surat ini adalah manuver simpatik yang Bapak lakukan pekan ini yang keras dan tegas terhadap praktik jual beli ijazah yang dilakukan sebuah PTS, yang dampaknya psikologisnya menjadi bola salju di berbagai daerah. Demikian pula dengan pernyataan Pak Sekjend di salah satu media daring, yang memperingatkan dengan tegas agar senat universitas Kami tidak memilih calon rektor yang melakukan plagiasi. Karena inilah keberanian Saya tumbuh mengatasi ketakutan dan kekhawatiran yang secara manusiawi tumbuh dan terpupuk jauh lebih subur selama ini. Tentu dengan harapan bahwa ketegasan sikap yang sama mampu Bapak wujudkan dalam mensikapi dilema yang dihadapi kampus kami.
Di samping itu, keberanian Saya juga tumbuh karena pahitnya kekecewaan yang pernah Kami alami 4 (empat) tahun yang lalu ketika Menteri saat itu menjatuhkan pilihan pada figur calon rektor yang tidak sesuai harapan bahkan bermasalah, justru di saat pernyataan Menteri yang berulang kali menyatakan perang terhadap plagiarisme, namun di sisi lain justru menjatuhkan pilihan pada figur yang cacat moral karena persoalan etika akademik yang sangat serius, dan telah dibuktikan secara sah dan meyakinkan oleh Komisi Etika di kampus kami saat itu pada tahun 2010. Harapan tidak terulangnya kepahitan yang sama, harapan akan satunya kata dan perbuatan, dan harapan hadirnya nawacita revolusi karakter bangsa yang nyata dalam memilih calon rektor di kampus Kami, akhirnya mengatasi segala kekhawatiran dan ketakutan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H