Sepak bola Indonesia itu benar-benar menjengkelkan. Pertama, miskin prestasi. Di kejuaran tingkat regional Asia Tenggara saja timnas senior kita tidak pernah sekalipun menggondol piala AFF ke bumi pertiwi. Kedua, aroma politik yang kental berkelindan disekitarnya.Â
Sama-sama kita ketahui kepengurusan sepak bola nasional selalu diisi politikus rakus. PSSI disulap bagai panggung kampanye untuk mendongkrak elektoral para pegurusnya.
Ketiga, sangat tidak profesional. Belum lama pengelolaan yang buruk itu terjawab tuntas. Bayangkan saja 135 nyawa melayang karena menonton olahraga terpopuler sekolong langit itu. Niat hadir ke stadion untuk menikmati tarian para seniman lapangan hijau berujung tangis mengerikan. Muasababnya sudah kita ketahui: Penggunaan gas air mata oleh aparat keamanan yang jelas-jelas dilarang dalam statuta FIFA.
Setelah tragedi memilukan yang menyentak amarah fooball family dan mengundang kritik dunia internasional pemerintah bergerak cepat menemui FIFA. Lobi-lobi pemerintah membuahkan hasil ditandai dengan kedatangan presiden FIFA Gianni Infantino ke Indonesia dan menemui presiden Joko Widodo di Istana.Â
Alhasil FIFA tak menjatuhkan sanksi. Perhelatan piala dunia U-20 yang dijadwalkan akan digelar pada bulan Mei mendatang tetap di gelar di Indonesia. Bahkan FIFA pun berjanji mendukung transformasi persepakbolaan Indonesia jadi lebih baik.
Namun seperti keledai yang tidak pernah belajar dari kesalahan sebelumnya negara ini terus mencari gara-gara dengan FIFA. Belum lama ini beberapa pihak membuat pernyataan yang bikin geleng-geleng kepala. Mereka menolak Israel yang berhasil melaju ke putaran final Piala Dunia U-20 datang ke Indonesia. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur Bali I Wayan Koster selaku tuan rumah perhelatan akbar ini kompak menyatakan penolakan. Konyolnya penolakan tersebut disinyalir sebagai agenda politik partai mereka demi menarik simpati suara kaum Islam kanan di pemilu 2024.
Sikap politik menggelikan itu pastinya membuat FIFA marah bukan main. Acara pengundian fase grup yang sedianya digelar tanggal 31 Maret mendatang di Denpasar, Bali, dibatalkan oleh FIFA. Di sosial media mulai muncul desas-desus bahwa FIFA sudah mengirim surat pembatalan turnamen sepak bola yang rutin digelar sejak tahun 1977 itu kepada pemerintah Indonesia. Sebagai gantinya FIFA menunjuk Peru sebagai tuan rumah.
Andai isu itu benar, langkah FIFA tersebut sepenuhnya tepat. Ini bukan soal tidak berpihak pada kemanusiaan dan ‘mengiakan’ praktik imperialisme salah satu negara peserta turnamen.Â
Penolakan bermuatan politik oleh dua kepala daerah telah menunjukan pengingkaran Indonesia pada komitmennya sendiri karena sebelumnya pemerintah dengan enam kota dan provinsi yang menjadi tuan rumah telah membuat deklarasi mendukung turnamen level junior FIFA ini saat pengajuan diri menjadi tuan rumah ke federasi sepak bola internasional itu.
Konstisuti kita telah menyatakan tak ada tempat bagi kolonialisme dan imperialisme di bumi ini. Negara ini pun sudah berkali-kali menyuarakan pendapatnya ke dunia internasional. Tapi urusan dengan FIFA bukan itu. Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah pemerintah Indonesia dari awal tidak berhitung  bahwa salah satu kontestan yang akhirnya ramai-ramai ditolak itu memiliki kans berlaga dalam turnamen ini?Â
Setelahnya, federasi sepak bola dunia itu akan menarik kesimpulan jika aspek seremeh ini saja tidak terpikirkan dari awal bagaimana bisa mereka bertanggung jawab pada hal yang jauh lebih besar seperti keselamatan para kontestan selama turnamen ini berlangsung.