Mohon tunggu...
Gandhi Kuntoyudho Danova
Gandhi Kuntoyudho Danova Mohon Tunggu... Lainnya - Berbahagialah!

Halo!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Menjemput Kebahagiaan

22 Desember 2021   12:04 Diperbarui: 26 Desember 2021   08:22 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasca tanggal 10 November lalu saya berusaha keras bangkit dari keterpurukan yang sebenarnya umum dialami anak-anak muda seusia saya. Tapi periode sulit ini terasa sedikit tidak main-main karena pada saat terjadi hal yang mengagetkan itu saya merasa dunia meninggalkan saya. Saya kehilangan orang yang selama dua setengah tahun menemani saya dan harus menerima kenyataan pahit bahwa peristiwa menyedihkan itu terjadi berbarengan dengan informasi dari perusahaan tempat belum lama saya melakoni Interview dan psikotes bahwa saya tidak diterima bekerja ditempat tersebut. Dalam hati saya berujar "betapa gagalnya hidup ini dan untuk apa guna penciptaan atas diri ini".

Periode sulit itu mengingatkan kejadian tiga tahun lalu waktu mengetahui saya didiagnosa mengalami sakit lambung (dispepsia) dan psikosomatis. Perasaan cemas, gelisah, mudah panik, stres berat bercampur aduk dengan rasa sesak dibagian dada sebelah kiri (yang saya kira awalnya sakit jantung), badan melayang, kepala terasa enteng dan sebagainya. Saat penyakit itu berkuasa , saat itulah saya merasa sulit sekali bahagia. Selama tujuh bulan bergulat dengan penyakit itu akhirnya saya menemukan era baru dalam kehidupan.

Perlu diberi tahu bahwa dalam dua kejadian penting di hidup saya tersebut terdapat banyak kesamaan. Misal, saya kembali merasakan insomnia. Saat merebahkan tubuh di kasur lalu menjatuhkan kepala di bantal sangat terasa menyiksa. Belum lagi ketika bangun tidur kala emosi belum stabil, saya kembali bertemu dengan pertanyaan sama seperti dulu ketika sakit: "mengapa hal brengsek ini terjadi pada saya? Kenapa saya merasa begitu menderita?"

Di kasus kali ini saya mencoba menerapkan kembali apa yang saya lakukan dulu yakni mengalihkan fokus dengan memperbanyak kegiatan. Dulu memang terasa lebih mudah karena saat itu masih masa kuliah, masih memiliki banyak kegiatan dan bertemu banyak orang sehingga lupa sama sengsara. Kini, ditengah posisi menganggur, saya mencoba pengalihan fokus dengan membaca sebanyak mungkin buku dan berita. Dari sekian buku yang dibaca, ketidak sengajaan (belakangan saya menganggap ini pesan Tuhan) mempertemukan saya pada salah satu buku filsafat stoik (stoisisme) yang isinya ialah refleksi kehidupan.

Buku berjudul "Meditation" atau perenungan yang sebenarnya ialah jurnal pribadi seorang kaisar  Romawi, Marcus Aurelius, membawa jalan pikiran saya untuk mengembalikan segala persoalan dalam hidup kepada substansi awalnya.  Kurang lebih 10 hari menyelesaikan buku itu kini saya memiliki sebuah jawaban baru pada masalah yang dihadapi baru-baru ini. Kalau dahulu refleksi saya terhadap penyakit  menghasilkan jawaban bahwa peristiwa itu ialah cara Tuhan semesta alam menjauhkan saya dari gaya hidup ugal-ugalan (Akrab dengan minuman keras, nihil ibadah dan abai pada kesehatan), maka meditasi pada peristiwa kali ini menyadarkan diri kalau saya yang sedang memasuki babak ujian untuk menuai kesabaran, ketabahan dan kerendahan hati.

Dalam perjalanan perenungan ini saya menemukan cara  dalam melawan rasa derita hidup yakni berhenti bertanya mengapa kejadian itu harus terjadi dan terimalah sebagai fakta tanpa interpretasi berlebih. Dulu ketika masa bahagia ( lebaran 2019) saya kadang bertanya pada diri sendiri: "kesedihan apa yang akan terjadi setelah masa bahagia ini". kini, setelah menjumpai pertanyaan masa lalu yang dahulu membuat saya begitu takut, saya langsung berpikir bahwa kini rasa takut itu sudah menemui saya (kehilangan orang yang kita cintai) dan inilah akhir dari penantian itu. Saya terkadang memberikan persepsi tambahan bahwa kejadian ini mungkin cara Tuhan menyadarkan diri saya pada kehilangan yang jauh lebih besar.

Dengan berbekal pembelajaran itu, beberapa hari lalu saya memutuskan untuk pulang kampung (mudik) kerumah orang tua ibu saya di Klaten. Disana banyak hal yang dilakukan salah satunya melakukan ritual seperti biasa: ziarah ke makam sesepuh dari ibu dan bapak. Agenda mudik itu saya beri tema "menjemput kebahagiaan". Ya, tujuan menemui keluarga di kampung ialah demi menghimpun energi kebahagiaan sebanyak-banyaknya dari orang-orang tercinta lalu menjejakan kaki kembali untuk menempuh jalan baru dalam hidup yakni berfokus pada memberi bukan meminta. Seperti kata Khrisna kepada Arjuna menjelang perang besar Bharatayudha: "Wahai putra Kunthi (Arjuna), hiduplah dengan melepaskan hasrat pribadimu. Berfokuslah hanya pada tujuan penciptaanmu! Angkat busur Gandiwa-mu! Berperanglah untuk kebahagiaan dunia!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun