Bingung sama situasi negara sekarang ini. Mengkritik  dihujat, bikin mural ditangkap, demonstrasi digebuki. Setelahnya pemerintah selalu menjawab dengan klise "ini negeri ada aturannya. Kebebasan tetap harus ada batasan. Kritik harus disampaikan dengan sopan". Setiap mendengar retorika aneh pemerintah itu saya ingin menghela nafas sambil setengah meledek "ini kok pada lupa siapa babu siapa tuan?".
Demokrasi dalam bayangan saya itu (meski bukan teori sebenarnya) selalu memberikan tempat setinggi-tingginya untuk rakyat. Rakyatlah pemilik kekuasaan tertinggi. Rakyat juga pemberi mandat tertinggi. Rakyat yang membayar pajak (meski pejabat juga bayar) untuk menggaji para pejabat dan abdi negara.Â
Maka dari itu, demokrasi dikenal dengan vox populi, vox dei. Bahasa metafora itu untuk mendeskripsikan suara rakyat ibarat suara Tuhan. Demokrasi seperti pakem atau sistem politik dimana rakyat memegang kendali negara lewat kebebasan yang mereka miliki. Kebebasan menjadi asas mereka untuk bereskpresi, berdialog dan berpartisipasi di negaranya.
Indonesia sudah melalui masa-masa suram kala Orde Lama menciptakan "demokrasi" terpimpin. Bung Karno menyebut dirinya ialah satu-satunya penyambung lidah rakyat. Lalu ia ingin membubarkan DPR dan menjadikan dirinya sebagai presiden seumur hidup. Lanjut ke masa Orde Baru saat represi besar-besaran dilakukan oleh militer kepada siapa saja yang ingin mencolek kekuasaan tertinggi "si maha raja" presiden Soeharto.Â
Tidak jarang ditemui mayat mengenaskan atau mereka yang dihilangkan secara paksa tanpa pernah kembali. Pada rezim itu kebebasan jadi barang mahal. Para aktivis pro-demokrasi pernah mengatakan bahwa di zaman Orde Baru untuk sekedar membaca buku-buku pergerakan dan berdiskusi saja sudah akan dicap pemberontak. Dan kritik pada kedua rezim itu selalu sama: soal kebebasan.
Jatuhnya Orde Lama dan robohnya Orde Baru memercikkan harapan tentang mimpi sebuah negara yang menjunjung tinggi kebebasan dan memberikan seluruh hak-hak warganya. Pers kembali pada haluan utamanya tanpa rasa takut akan dibredel, supremasi sipil kembali berdiri setelah 32 tahun dibungkam oleh militer, pemilu secara langsung dihelat, Komisi anti korupsi berdiri, dan masih banyak lagi.
Setelah sekian tahun berlalu, hegemoni kebebasan itu sepertinya tengah menghadapi tantangan. Saat rakyat bertanya, berkisah atau sekedar berkeluh kesah, pemerintah justru ingin kembali ke zaman pra reformasi. Di bawah rezim saat ini bahkan semakin terlihat masa-masa kelam itu akan kembali ke republik ini.Â
Wacana mengembalikan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) kembali mengemuka. Kebebasan berekspresi di sosial media dibendung buzzer bayaran.Â
Acara diskusi diganggu, doxing merajalela, dan beberapa akun media nasional diretas. Mereka yang memilih aksi secara terbuka ditempeleng oleh aparat. Rakyat seperti tidak dibolehkan menyampaikan keresahannya karena dianggap mengganggu eksistensi pemimpin negara.
Ditengah prahara runtuhnya KPK, oligarki yang kian menggurita di Indonesia, undang-undang tak berpihak pada buruh dan tenaga kerja, hutan juga dibabat habis dengan dalih pembangunan negara, memang sungguh layak rakyat mulai kembali bertanya-tanya:
Bagaimana mereka (pemerintah) bisa menyuruh rakyatnya untuk tertib dan bertutur kata baik sedangkan mereka sibuk dengan kebodohannya?. Kebebasan jelas tidak boleh dibungkam, dipersoalkan dan dibatasi atas nama ketidaknyamanan penguasa pada kritik karena merupakan hak istimewa rakyat dalam rangka mengontrol pimpinan negara.Â
Hanya dengan kebebasan itu juga kita selaku warga negara bisa meneriaki untuk sekedar melampiaskan kekesalan akibat betapa buruknya kinerja mereka para pembantu kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H