Sewaktu masih tinggal di kampung. Susan selalu ingin kelihatan cantik. Ketika teman-temannya memakai celana cutbray, do'i lebih suka memakai rok mini. Ketika teman-temannya asyik main bola, dia malah menggandrungi boneka. Yang lain pada pake kopiah. Susan malah pakai Mukenah.
Pernah Susan diomelin habis-habisan oleh mbak Jum, Budehnya. Gegaranya saat disuruh bikin KTP, Susan malah nggak mau menyantumkan nama aslinya.
Padahal mbak Jum sudah bolak-balik nemuin Pak Erte. Sedangkan Pak Erte sudah bolak balik nemuin Lurah. Dan Pak Lurah juga, sudah bolak-balik nemuin Camat.
Karena ulahnya bikin geregetan. Pak Erte menyuruh pemuda itu untuk menentukan pilihan. Mau tetep memakai nama asli SUSANTO di KTP-nya, atau mau disuruh nungging dan ditendang pantatnya, sampai nyungsep di kolong kandang ayam?
Akhirnya Susanto dengan sangat terpaksa mengambil pilihan yang pertama. Tapi dengan satu permintaan.
"Panggil eke Susan, yah...!" Kata Susanto sambil cengengesan.
Ternyata, bukan cuma Pak Erte doang yang dibikin geregetan. Para penghuni kontrakkan lainnya pernah juga dibuat uring-uringan. Soalnya kalo udah make kamar mandi, susan selalu lama dan bikin orang-orang ngantri seharian.
Bang Toyib yang kebagian antrian paling depan pernah nungguin sampe laleran. Begitu kelar mandi Susan langsung menuduh yang bukan-bukan.
"Idiiih, bang Toyib antrinya paling depan. Udah nggak sabaran yah, mau minta tanda tangan Susan..."
Hihihi.....
Kebalikan dari Pak Erte dan semua orang. Empok Saidah malah gemes dan demen ama Susan. Karena setiap hari beliau bisa ngejadiin Susan sebagai model praktek. Susan yang emang udah dari sononya doyan dandan, senengnya bukan kepalang karena nggak perlu repot-repot keluar duit untuk beli Make up.
Atau kalo lagi bosen main Make up-Make up an. Susan juga mau diajak main masak-masakan, main hujan-hujanan, atau...
"Sekalian aja Elu ama si Susan main becek-becekan!" Omel Pak Erte suatu hari, saat ngeliat mpok Saidah ingusan gara-gara kelamaan mandi hujan.
Pada suatu hari, Susan tak hanya membuat tetangganya geregetan, serta uring-uringan. Tapi juga bikin semua penghuni kontrakkan kelimpungan. Gara-garanya Susan pergi dan nggak pulang-pulang.
Padahal mbak Jum sudah keliling mencari keponakannya tersebut. Mulai dari kamar mandi kontrakkan, perkuburan, sampai ke dalem-dalem comberan. Tapi Susan tak jua ditemukan.
Mbak Jum pun merasa cemas dan dibayangi oleh kejadian-kejadian yang menakutkan. Karena keponakannya tersebut nggak pernah ngelayap jauh dari jangkauan.
Kalo nggak main di rumahnya Pak Erte. Ya, Ngider-ngider aja di seputar kontrakkan. Pokoknya Yanto (panggilan sayang mbak Jum buat sang keponakan) nggak pernah main di luar pantauan radar.
Akhirnya, atas inisiatif dan saran dari para tetanga. Mbak Jum melaporkan hal tersebut kepada pejabat yang berwenang. Pak Erte yang lagi nonton tipi sambil tiduran jadi kaget, saat melihat mbak Jum dan warga kontrakkannya tumpah ruah di halaman depan.
"Pak Erte. Keponakan Saya dari semalem nggak pulang-pulang"Â Lapor mbak Jum sambil menangis sesenggukkan.
"Betul Pak Erte!"Â Timpal mpok Mumun.
"Iya Pak Erte. Gue aje ampe puyeng nyariin!"Â Buluk ikut-ikutan nyahut, sambil menghisap kaleng lem yang ada di tangannya.
"Lha. Emangnya Susan kagak bilang ama elu jum, perginya kemana?" Tanya Pak Erte pada mbak Jum.
"Enggak Pak Erte. Biasanya Maghrib udah ada di rumah. Tapi dari semalem sampe pagi ini, si Yanto belum juga pulang"Â Jawab mbak Jum makin sesenggukkan.
Tiba-tiba empok Saidah keluar dari kamar dan langsung memberikan kabar "Bang! Barusan aye dapet SMS, si Susan ditangkep ama Polisi. Sekarang dia lagi ditahan di POLSEK....!"
Mendengar kabar tersebut, mbak Jum langsung pingsan. Empok Mumun dan bang Toyib segera memindahkan mbak Jum ke dalem rumah. Sementara mpok Saidah mondar-mandir kebingungan. Cuma Buluk yang masih kelihatan tenang dan happy fly.
Pak Erte membaca SMS yang disodorkan istrinya tersebut, lalu bergegas pergi ke kelurahan untuk meminjam kendaraan.
*****
Setelah mpok Saidah selesai berdandan, serta berpenampilan kayak orang yang mau kondangan. Pak Erte, mbak Jum, serta penghuni kontrakkan lainnya rame-rame berangkat ke kantor Polisi.
Nggak tanggung-tanggung, Pak Erte dan warganya berangkat naik mobil ambulance. Alasan Pak Erte sederhana. Kalau naik ambulance, bisa cepet nyampe di tujuan.
Sesampainya di kantor Polisi. Pak Erte, istrinya dan mbak Jum langsung melapor ke petugas piket. Tapi mereka harus menunggu karena saat ini orang-orang yang terjaring razia preman, sedang di kumpulkan di lapangan.
Dari meja piket Pak Erte melihat seorang petugas sedang berdiri di depan preman-preman yang duduk di lapangan Polsek tersebut. Saking banyaknya yang ketangkep. Pak Erte jadi nggak tahu keberadaan Susan.
Sementara petugas sudah mulai nyebutin nama preman yang ke tangkep satu persatu. Karena yang ketangkep tanpa membawa identitas boleh langsung dibawa pulang. Kecuali mereka yang kedapetan bawa narkoba atau benda-benda terlarang.
"Bowo!"Â Terdengar Polisi tersebut mulai menyebutkan nama.
"Saya pak!" Jawab seorang pemuda sambil ke luar dari barisan.
Polisi tersebut langsung menyuruh pemuda tersebut melapor ke petugas piket, karena udah dijemput pihak keluarganya.
"Tommy..."
"Saya, Pak!"
"Jailani..."
""Ada, Pak!"
"Susanto..."
Tak ada sahutan. Sekali lagi Pak Polisi tersebut memanggil nama yang dipanggil barusan.
"Su-san-to..." Suara petugas tersebut kembali terdengar.
Tetap tak ada sahutan dan tak ada seorang pun yang berjalan keluar dari barisan. Pak Polisi itu pun memanggil rekannya dan memintanya untuk melihat nama yang tertera di kertas yang ada di tanggannya.
"SU-SAN-TO...!"Â Nada suara Polisi tersebut agak meninggi, tapi tetep aja semua diam. Akhirnya dengan sedikit kesal Polisi tersebut ngeluarin ancaman.
"Sekali lagi saya panggil namanya nggak ada yang ngaku. Saya suruh semuanya lari keliling lapangan sampai pingsan, ya!"
Preman-preman yang duduk ngejeprok di lapangan, langsung di suruh berdiri dan membuka bajunya oleh petugas-petugas yang turut menjaga dan mengawasi.
Sementara Pak Erte dan empok Saidah mulai harap-harap cemas. Jangan-jangan Susanto yang dipanggil barusan, tidak ada di dalem barisan dan bukan keponakan dari mbak Jum.
"Jhoni alias Jontor..."Â Pak Polisi tersebut kembali menyebut nama sekalian aliasnya untuk menghindari kesalahan. Jadi walaupun ada nama yang sama, bisa diperjelas dengan nama panggilan yang berbeda.
"Susanto alias..." Petugas itu pun menghentikan perkataannya sebentar, memerhatikan sekali lagi nama yang barusan disebutkannya. Setelah merasa yakin, lalu melanjutkan kembaliÂ
"Susanto alias SU-SAN...!"
Tiba-tiba terdengar jenis suara Mezzo-Sopran, dari dalam kerumunan. Tidak lama terlihat susan keluar dari barisan. Â Pak Polisi yang tadinya pengen marah, mendadak tersenyum saat melihat Susan berlari-lari centil, sambil menutup kedua dada dengan baju yang di pegangnya.
Susan lalu melambai-lambaikan tangannya ke kerumunan. Sesekali melakukan Kiss Bye dan meniupkannya buat orang-orang yang masih berbaris di lapangan. Persis kayak artis yang melakukan jumpa fans, diiringi dengan tepuk tangan dan sorak sorai.
****
Tidak lama Susan dan rombongan sudah terlihat duduk berdesakan di dalam ambulance. Karena jatah tempat duduk untuk dua orang, diborong mpok Saidah sendirian.
Sepanjang perjalanan, mbak Jum memeluk dan mengelus pipi keponakannya tersebut dengan penuh kasih sayang.
"To, to.. budeh takut bener kalau kamu sampe almarhum"Â Kata mbak Jum.
Mendengar hal tersebut, Buluk langsung nyeletuk, "Almarhumah, kali mbak..."
"Sembarangan aja kamu ngomong, yah!" Omel mbak Jum pada Buluk.
Bang Toyib yang sedari tadi diem ikut-ikutan nyahut.
"Pak Erte. Kalo lelaki disebut almarhum, perempuan almarhumah. Terus kalo Susan pegimana nyebutnya, yak?"Â Tanya bang Toyib.
"Aluminium..." Jawab Pak Erte singkat.
"Pak Erte. Catet yah, eike ini BANCI bukannya
PANCI...!" Protes Susan sambil memasang muka cemberut.
Sedangkan yang lain mulai tertawa cekikikan. Hihihi...
(Sekian)
Salam Sendu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H