"Ah, sudahlah. Nggak perlu!" Tasya merampas kertas dari tangan sahabatnya, lalu berjalan menuju kelas.
****
Tasya menghempaskan tubuhnya ke sofa. Cewek itu sama sekali tidak berani menatap pandangan Mama, yang sudah menyambutnya sejak masuk ke dalam rumah.
Tasya tahu dan sangat mengerti, arti pandangan mata orang tua itu. Karena tatapan Mama selalu seperti ini. Setiap menyambutnya pulang sekolah.
"Bisa nggak, kamu bersikap biasa saja. Seperti layaknya seorang teman di sekolah. Bukannya selalu memancing keributan dengan Arya?"Â Kalimat tersebut meluncur dari bibir Mamanya, seperti yang sudah-sudah.
"Kalian itu hanya perlu menyelesaikan sekolah. Lalu melanjutkan kuliah kalau mau. Sedangkan Arya bisa sambil bekerja di perusahaan Papamu"  Lanjut Mama lagi.
Tasya sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Mama seperti seorang sutradara, yang dengan mudah menentukan jalan hidupnya. Sedangkan dirinya seperti pemain sandiwara, yang setiap hari menjalankan perannya sebagai anak sekolah, yang melewati indahnya masa remaja.
Tasya berangsur berdiri, saat mama meninggalkannya pergi. Cewek itu bergegas menuju ke kamarnya. Ditutupnya kembali pintu dengan pelan, setelah dirinya berada di dalam kamar.
Dipandanginya wajah Arya, yang tengah tertidur pulas di atas tempat tidurnya. Cintanya pada cowok itu, seperti ungkapan puisi yang selalu diberikan Arya padanya setiap di sekolah. Cuma 5 Watt...!
Tasya merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Lalu mendekap tubuh mungil, yang berada diantara dirinya dan Arya. Dipandanginya wajah bayi tak berdosa itu dengan penuh kasih sayang.
Buah cinta Seribu Watt-nya dengan Arman yang pergi menghilang entah kemana. Sedangkan dia sama sekali mengacuhkan Cinta 5 Watt Arya, yang mau menutupi aibnya.