Wanita itu selalu berdiri tidak jauh dari dermaga. Pandangannya menatap lurus ke utara. Searah cahaya kejora, yang jatuh di atas setiap kapal, yang datang dan pergi dari dermaga. Sesekali tangannya menyibakkan geraian rambut, yang menutupi sebagian wajahnya. Tapi angin selalu saja nakal dan kembali mengusik setiap helainya.
Dia sedang menunggu seseorang, yang selalu membisikkan kata cinta di telinganya. Seorang pria tampan, yang selalu memberinya perhatian dan manisnya madu asmara. Masih terngiang jelas, sebuah puisi yang selalu dibacakan pria tersebut untuknya...
Engkau,
Ku umpamakan kejora
Sebuah bintang bercahaya
yang menghiasi langit utara.
Tak akan redup sinarnya
meski malam telah sirna
dan fajar pun tiba.
Wanita itu pun berlari dan membiarkan tubuhya berputar-putar dalam dekapan hangat pria yang sangat dicintainya. Begitu sangat dicintainya! Sehingga larut dalam cumbu rayu dan desahan nafas, saat kesuciannya terenggut jua.
"Aku akan kembali, untuk menikahimu" Bisik kekasihnya, saat terakhir mereka berpisah. Di dermaga yang sama, di bawah temaram senja.
Sudah lebih dua puluh purnama, wanita itu menunggu resah. Dan selalu saja disetiap purnamanya. Ada lelaki durjana, yang menyeretnya ke WC umum dermaga. Melucuti pakaiannya yang lusuh, memandikannya lalu melenguh diantara kedua kakinya.
Wanita itu masih berdiri di tempatnya. Pandangannya baru saja singgah di bintang kejora, saat kekasihnya berjalan melewatinya. Tanpa pernah menyadari. Kalau perempuan gila, yang sedang hamil tua tersebut, adalah wanita yang selalu menantinya.
Persis di tempat terakhir mereka berpelukan, untuk kemudian berpisah. Di atas dermaga yang sama, di bawah temaram senja...
(Selesai)
Salam Sendu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H