Mohon tunggu...
Budiman Gandewa
Budiman Gandewa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Silent Reader

Bermukim di Pulau Dewata dan jauh dari anak Mertua. Hiks.....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Tukang Pos, Tak Lagi Melintas

27 Juni 2016   23:22 Diperbarui: 28 Juni 2016   16:57 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ini adalah sebuah kisah inspiratif yang masih tersimpan sedikit di dalam ingatan. 'Cerita sinetron' kalau istilah sekarang. 'Drama' pada saat kisah ini tayang di satu-satunya stasiun televisi di era 80an. Saya lupa judulnya, tapi ter-sketsa sedikit alur ceritanya sampai dengan sekarang. Maklum, cerita drama ini tidak pernah lagi tayang di semua stasiun televisi, dan tidak ditemukan kata pencariannya di You Tube.

Begini kisahnya...

Di sebuah kampung yang penduduknya hidup dalam kesederhanaan, hiduplah seorang Bapak setengah baya yang berprofesi sebagai Pengantar Surat. Setiap pagi tukang pos ini akan melintas disepanjang jalan kampung yang sepi. Tidak ada satu pun penduduk yang memiliki motor ataupun mobil. Sebagian besar penghuni kampung ini bermata pencaharian sebagai petani dan berkebun. Alat transportasinya hanya berupa gerobak yang ditarik oleh seekor kebo.

Setiap pagi, sebagian penduduk kampung akan berdiri di pinggir jalan yang akan dilewati oleh Tukang Pos tersebut. Uniknya, tidak satu rumah pun yang memiliki jam, sehingga satu-satunya petunjuk waktu adalah saat dimana Tukang Pos ini melintas dengan sepeda ontel sebagai 'kendaraan Dinas'nya. Dan dengan Arloji pemberian Seorang Belanda, Bapak Tukang Pos ini memberitahukan kepada setiap orang yang menunggunya lewat, bahwa waktu telah menunjukkan jam tujuh pagi.

Lalu orang-orang pun memulai aktifitasnya. Anak-anak segera berangkat ke  sekolah, ada juga yang menitipkan surat untuk dikirimkan kepada sanak saudaranya yang berada di kota lain. Tidak sedikit juga yang terlihat bergembira saat menerima kiriman dari pacar maupun saudaranya yang kebetulan tinggal berjauhan. Setiap hari, saat setiap Tukang Pos ini lewat, maka mereka sudah pada tahu, bahwa waktu sudah menunjukkan jam tujuh pagi dan aktifitas pun mulai berjalan.

Pada suatu saat, Tukang Pos ini tidak terlihat melintas di jalan kampung, dan orang-orang yang setiap hari setia menunggunya mulai gelisah,  melihat ke arah dimana Tukang Pos ini muncul, tapi yang ditunggu-tunggu tidak juga tampak. Akhirnya, semua orang terlambat melaksanakan rutinitasnya. Anak-anak terlambat tiba di sekolah. Para petani kesiangan pergi ke sawah, dan yang mau menitipkan surat, tertunduk sedih karena tidak dapat mengirim dan menerima kabar dari orang-orang tercinta.

Tiga hari berturut-turut kejadian ini berlangsung, dan selama itu juga para penduduk desa terlambat melaksanakan rutinitasnya. Sebagian orang pun kesal dan marah.  Akhirnya, para penduduk desa pun melaksanakan musyawarah dan disepakati akan mencari tahu, apa yang terjadi dengan Tukang Pos tersebut dan menuntut tanggung jawab akan kelalaiannya yang telah menyebabkan sebagian penduduk kampung kehilangan waktu yang berharga.

Lalu secara beramai-ramai orang datang ke rumah Tukang Pos tersebut dan mendapati Bapak Tukang Pos tersebut tergolek tak berdaya di dalam rumahnya yang berlantai tanah dan tidur beralas selembar tikar yang dianyam. Para orangtua yang hendak menumpahkan kekesalannya, karena anak-anaknya terlambat kesekolah, menyurutkan langkah dan berdiri menunggu di pekarangan. Ibu-ibu yang turut serta, mulai meneteskan air mata. 

Ternyata, Tukang Pos ini hidup sebatang kara. Terbaring lemah tak berdaya tanpa ada seorang pun yang mengurusi dan menemaninya. Sedangkan para Penduduk yang menggantungkan waktu kepada Tukang Pos ini dengan egoisnya mau melampiaskan kemarahan dan menuntut keadilan.

Tidak sedikit yang pulang ke rumahnya masing-masing karena malu. Tapi masih ada juga orang yang tersisa berinisiatif membawa Tukang pos ini ke Balai Pengobatan, agar bisa bekerja Sebagai orang yang ditangannya kasih sayang dititipkan dan para penduduk bisa kembali berpedoman waktu kepadanya.

Selesai.

***

Dari kisah di atas, aku menarik sebuah kesimpulan pribadi; Waktu akan terus berlalu dan tidak akan berhenti menunggu, tinggal bagaimana cara kita memanfaatkan waktu tersebut. Mungkin salah satunya,dengan cara peduli dan menyayangi orang-orang yang masih ada di dekat kita.

Allah berpesan dalam Firmannya;

"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasehati dengan kesabaran." (QS. Al 'Ashr [Masa] 103: 1-3)

Tukang Pos sudah tidak lagi melintas, penunjuk waktu sudah ada dimana-mana. Berkirim dan menerima kabar sudah bisa dilakukan dengan cara yang sangat mudah. Tinggal bagaimana kita memanfaatkannya, agar ungkapan "Menjauhkan yang dekat, dan mendekatkan yang jauh.' tidak terjadi terhadap kita.

Semoga...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun