Kekerasan dan pelecehan oleh guru saat saya mengenyam pendidikan dasar dan menengah tingkat pertama adalah hal lumrah terjadi di sekolah. Julukan untuk guru killer tidak hanya ditujukan untuk mata pelajaran eksak melainkan untuk guru yang melakukan tindakan kekerasan atau pelecehan terhadap murid. Kekerasan dan pelecehan itu kerap di selubungi dengan alasan untuk mendisiplinkan murid atau mendidik murid menjadi orang yang tangguh dan tidak manja. Dalam aturan di sekolah memang tidak dirumuskan suatu aturan untuk melarang guru memukul murid, tetapi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap murid seakan-akan hal lumrah dan diterima sebagai salah satu metode pendidikan.
Ada beberapa contoh kekerasan yang pernah saya alami di pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Saya pernah ditampar di depan kelas, dipukuli di daerah kepala dan pipi oleh guru matematika hanya karena tertawa di kelas dan hal ini disaksikan oleh seluruh murid di kelas saat itu. Bahkan suatu ketika saya pernah bertanya sebuah pertanyaan sulit untuk guru Ilmu Pengetahuan Alam saat kelas 6 SD tentang susunan apa yang membentuk email gigi manusia. Untuk menutupi ketidaktahuannya, si guru menjawab dengan ketus, "Siapa yang nanya?". Karena pertanyaan tersebut dan reaksi guru maka saya menjadi bulan-bulanan teman satu kelas. Ada suatu ketika teman sekelas saya menegur seorang guru olahraga yang merokok saat pelajaran olehraga, "Pak, katanya merokok tidak baik untuk kesehatan tetapi kenapa bapak merokok?". Seketika guru tersebut menampar teman saya sampai bibirnya mengeluarkan darah.
Para murid yang mendapat perlakuan kekerasan saat itu tentu tidak menerima apa yang mereka alami. Akan tetapi ketika masalah ini dibawa ke kepala sekolah, bukannya kepala sekolah memediasi apa yang terjadi, malah kepala sekolah tersebut menyerahkan kembali kepada guru yang bersangkutan. Saya mengalami hal itu dan guru yang memukuli tersebut malah mengancam dan menantang untuk adu berkelahi di belakang sekolah. Secara finansial, saya bukanlah seorang murid yang mampu untuk bisa bersekolah di sekolah swasta bahkan kerap orang tua saya kerap terlambat membayar uang sekolah. Orang tua saya pun tidak dapat melakukan apa-apa ketika saya melaporkan kejadian ini kepada mereka. Dengan demikian saat itu seorang anak benar-benar tidak mendapat perlindungan dari tindakan kekerasan yang dialami olehnya ditambah ketidaktahuannya terhadap hukum yang berlaku.
Hal-hal tersebut tidak hanya terjadi di era Orde Baru tetapi juga tetap terjadi di era saat ini meskipun tidak separah jaman Orde Baru. Perpeloncoan saat masuk sekolah untuk mempermalukan murid-murid baru dengan alasan agar mereka bisa lebih akrab dengan lingkungan dan kakak kelasnya sudah berubah menjadi dinamika kelompok atau guru tidak lagi terang-terangan memukuli dan menampar murid di depan kelas. Akan tetapi ketika kita menyimak beberapa berita tentang kekerasan di dunia pendidikan, kita harus menyadari bahwa praktek kekerasan juga masih terjadi sampai saat ini. Contohnya seorang guru Muhammad Samhudi dari Sidoarjo dilaporkan oleh orang tua murid karena memberi hukuman dengan dicubit tangannya (baca: Guru yang Cubit Murid Dituntut Hukuman 6 Bulan Penjara). Atas kasus ini muncul pernyataan dari menteri pendidikan dan kebudayaan Mugajir Effendi yang merasa risih karena sampai ada yang melaporkan gurunya hanya karena dicubit. Ia mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia masih rapuh dan tidak akan menghasilkan generasi yang tahan banting jika sedikit-sedikit lapor, padahal untuk mencetak generasi yang kuat, pendidikannya harus keras (baca: Mendikbud Risih Dengar soal Guru yang Dilaporkan Muridnya karena Dicubit).
Melihat kejadian di atas rupanya pemerintah dan dunia pendidikan pada umumnya belum paham bahwa tidak ada satu kekerasan terhadap anak yang dapat dibenarkan. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai, "Hak-Hak Anak. Laporan pakar independen untuk Studi mengenai kekerasan terhadap anak PBB" tahun 2006, menyebutkan bahwa setiap masyarakat, lepas dari latar belakang budaya, ekonomi, dan sosialnya, dapat dan harus menghentikan kekerasan terhadap anak. Ini tidak berarti memberikan hukuman bagi pelakunya saja, namun memerlukan transformasi “cara berpikir” masyarakat dan kondisi ekonomi dan sosial mendasar yang dikaitkan dengan kekerasan (United Nations, Rights of the Child, paragraf 3).
Dalam laporan yang disusun oleh Paulo Sérgio Pinheiro menyebutkan bahwa sebagian besar kekerasan terhadap anak tetap tersembunyi karena beberapa sebab dan alasan. Salah satunya adalah ketakutan: banyak anak yang takut melaporkan kejadian kekerasan terhadap mereka. Dalam beberapa kasus, orang tua, yang seharusnya melindungi anak, tetap diam saja bila pelakunya adalah pasangan atau anggota keluarga lainnya, atau anggota masyarakat yang lebih kuat, misalnya majikan, anggota polisi, atau pemuka masyarakat. (United Nations, Rights of the Child, paragraf 25). Disini disebutkan juga bahwa kekerasan dilakukan oleh guru dan staf sekolah lainnya mencakup hukuman fisik bentuk-bentuk hukuman psikologis yang kejam dan merendahkan martabat, kekerasan berbasis jender dan seksual, dan penggertakan. Hukuman badan seperti pemukulan dan penggunaan rotan dalam hukuman merupakan praktek standar di sekolah pada sejumlah besar negara (United Nations, Rights of the Child, paragraf 50). Hal-hal ini masih terjadi di Indonesia dan tidak hanya didukung oleh rekan satu profesi yaitu sesama guru melainkan juga didukung oleh pemerintah.
Apakah tindakan kekerasan tersebut sebanding dengan pernyataan Mugajir Effendi bahwa pendidikan Indonesia yang dikatakan masih rapuh, tidak akan menghasilkan generasi yang tahan banting dan menciptakan generasi yang kuat jika sedikit-sedikit melaporkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh gurunya? Kajian Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan bahwa perilaku agresif seperti perkelahian, bullying, plonco secara verbal dan fisik, diskriminasi dan kekerasan berbasis jender juga tidak hanya membawa dampak bagi sekolah melainkan juga bagi masyarakat secara luas. Disebutkan bahwa kekerasan tersebut dapat meningkatkan insidensi budaya gangster dan kegiatan-kegiatan kriminal seperti terkait dengan narkoba (United Nations, Rights of the Child, paragraf 50-51). Kekerasan terhadap anak juga bisa berakibat kerentanan yang lebih besar untuk mengalami gangguan kemampuan sosial, emosi dan kognitif selama hidupnya, serta perilaku berisiko kesehatan, seperti penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan perilaku seksual yang lebih dini datangnya. Kesehatan mental dan masalah-masalah sosial yang meliputi gangguan kecemasan dan depresi, halusinasi, dan terhambatnya kinerja yang terkait dengan pekerjaan, gangguan memori, serta perilaku agresif. Paparan dini terhadap kekerasan dikaitkan dengan penyakit paru-paru, hati, jantung, penyakit menular seksual dan kematian janin selama kehamilan di kemudian hari serta kekerasan pasangan intim dan upaya-upaya bunuh diri (United Nations, Rights of the Child, paragraf 36).
Dengan demikian apakah layak seorang guru melakukan tindakan kekerasan terhadap murid dengan alasan untuk mendidik murid? Saya berpendapat bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru tidaklah memberikan pendidikan yang lebih baik bagi anak murid. Apa yang saya alami bertahun-tahun lalu masih saya ingat, bukan karena ingatan yang membekas itu adalah kenangan indah melainkan rasa dendam atas perlakuan yang saya alami. Jika dikatakan bahwa kesuksesan yang saya capai saat ini karena tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru semasa sekolah sehingga menjadi lebih disiplin dan tangguh, argumentasi tersebut tidak tepat. Seorang yang sukses tidak ditentukan oleh tindakan kekerasan yang dikaikan dengan pendidikan disiplin melainkan bagaimana seseorang bisa melalui masa-masa sulit dalam hidupnya. Masa-masa sulit yang dialami oleh seseorang karena tindakan kekerasan oleh guru, tidak sama dengan pendidikan disiplin. Bisa saja orang tersebut tidak dapat melalui masa-masa sulitnya dan menjadi depresi bahkan bunuh diri.
Seorang guru yang melakukan tindakan kekerasan dengan alasan untuk mendisiplinkan anak murid, motifnya sangat bias. Bisa saja ia mengalami hari-hari sulit dalam rumah tangga, desakan ekonomi, gengsi karena ia seorang guru, merasa dipermalukan, dan lain-lain sampai akhirnya dia melakukan tindakan kekerasan. Untuk itu baik kekerasan dengan kontak fisik seperti memukul atau verbal dengan mempermalukan perlu mendapat perhatian yang utama. Seorang anak sangat mungkin menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari karena tindakan itu pernah dilakukan oleh gurunya di sekolah atau oleh orang-orang lain. Apalagi tindakan tersebut dilakukan oleh sosok yang mendidiknya untuk melihat mana yang baik dan buruk.
Dengan demikian, guru perlu memperoleh pendidikan dan nilai-nilai anti kekerasan. Nilai-nilai anti kekerasan tersebut tercermin lewat kurikulum serta sekolah yang lebih ramah terhadap anak. Selain itu perlu adanya sanksi yang tegas bagi para guru yang melakukan kekerasan dan pelecehan terhadap murid. Kesadaran anti kekerasan juga harus dibarengi dengan kontrol lingkungan yang tidak melegalkan tindakan kekerasan. Sikap diam adalah salah satu bentuk melegalkan tindakan kekerasan. Oleh sebab itu masyarakat dan orang tua perlu memperoleh pengetahuan tentang nilai-nilai anti kekerasan. Anak-anak perlu mendapat pengasuhan dan perlindungan serta ikatan yang kuat dengan orang tuanya agar anak bisa lebih terbuka untuk menceritakan tindakan kekerasan dan pelecehan serta intimidasi yang dilakukan oleh guru terhadapnya. Tindakan hukum bagi guru pelaku kekerasan dan pelecehan sangat diperlukan agar menjadi pelajaran bagi para pendidik yang lain untuk tidak melakukan tindakan kekerasan dan memutus lingkaran kekerasan. Unrtuk itu seorang murid harus memperoleh kesadaran bahwa ketika ia memperoleh perlakuan kekerasan dan pelecehan oleh guru dan staf di sekolah lainnya, mereka tidak boleh diam. Murid harus dilatih untuk kritis dan berani melaporkan tindakan tersebut entah ke orang tua atau ke pihak yang berwajib.
Semoga tulisan keras ini bisa 'menampar' para sosok pendidik yang masih bertindak dengan kekerasan dan pelecehan dengan alasan mendidik kedisiplinan. Tindakan kekerasan apa pun terhadap murid tidak bisa dibenarkan sama sekali dan kekerasan tidak bisa menjadi pembelaan bagi para guru entah disebabkan masalah persoalan rumah tangga atau alasan mendidik murid. Bukan berarti mereka adalah 'pahlawan tanpa tanda jasa' membuat mereka bisa melakukan kekerasan dan pelecahan terhadap anak didiknya. Stop lingkaran kekerasan dan laporkan segala tindakan kekerasan dan pelecehan oleh guru ke orang tua atau pihak berwajib.
Mas Gandeng
Tulisan Terkait
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H