Malam makin larut, sang penghayat malah baca puisi. Penuh mimik dan gerak ritmis. Suasana berubah jadi mistis. Jika tak salah ingat bunyinya begini:Â
***
Maha Suci, inilah Aku
Saat bulan mendaki langit, Gunung pun terpana.Â
Saat Matari menembus horison, Samudera menahan nafas.
Lalu bagaimana nasibku?Â
Ilahi, aku tak mengerti apa-apa
Â
Saat pagi menjelang, kabut pergi dengan lembut
Saat senja tiba, malam datang dengan akrab
Lalu bagaimana jiwaku?
Ilahi, akulah binatang tak tahu diri
Â
Saat benar membuncah, akulah raja segala raja
Saat khilaf menerpa, aku tak merasa alpa
Lalu bagaimana diriku?Â
Ilahi, aku benar-benar merugi
Â
Saat aku menghampiriMu, semesta hening.
Saat aku bersimpuh taubat, segala bening.
Lalu bagaimana diriku?
Ilahi, Kau menatapKu penuh Malu.Â
***
Ah, aku tak sanggup mendengarnya. Ia mengulang tiga kali dengan khidmat puisi ini. Sejujurnya, meski tatapku menghadapnya, hati dan fikiran berpaling. Agaknya, aku belum ikhlas terima kebenaran yang tersaji dihadapku. Apakah dititik ini semua manusia berlaku sama?.Â