Hidup serba kecukupan. Kuliah tanpa perlu memikirkan tempat tinggal, bagaimana dan dari mana peroleh kebutuhan. Semua fasilitas telah tersedia. Tinggal di lingkungan yang serba nihil dari kekurangan, mendorong seseorang mudah lupa masa 'suramnya'. Lupa "ndek jaman ber-juang". Lupa saat-saat berharganya secentong nasi yang tak gampang ia kecap sendiri kala masih nyantri. Inilah sebagian keadaan yang melanda 'beberapa' mahasiswa beasiswa di luar negeri.
Dulu, secentong nasi. Bisa melahap secentong nasi kosongan bagi seorang santri pondok pesantren, sudah sangat berarti. Cukuplah dua kali sehari dapat membuatnya bertahan bertahun-tahun di 'penjara suci'. Ia sadar betul untuk mendapatkan ‘sebanyak’ itu tidaklah cuma-cuma. Minimal ia harus jual jasa untuk mengganti biaya di sekolah tradisionalnya. Tak jauh beda, sebagian lembaga modern tak segan memaksa si orangtua merogoh dalam-dalam koceknya. Itulah sebabnya andai saja tiap hari ada seorang kawannya merelakan jatah makan siang untuknya, alangkah beruntungnya dia.
Sewaktu masih nyantri barangkali ia tak akan mengelak jika disebut jawara peduli nasi. Gelar ‘santri nggragas’ pun sudah akrab baginya bahkan di kalangan mereka itu hal biasa, dan bukan terlalu naïf untuk dikata, karena yang mendapat gelar ini merata. Sikapnya yang tegas mengajak semua kawannya untuk benar-benar mensyukuri makanan yang ada. Pantang baginya menyisakan satu butir nasi. Kalau perlu setelah selesei ia suka rela siap bantu menghabisan bagian kawannya.
Namun perlahan, prinsipnya selama ini roboh. Keadaan yang ia dapati sekarang amat jauh dari yang ia alami saat itu. Ia lihat kanan kiri. Orang-orang dengan tampang tak berdosa gemar membiarkan makanan tersisa. Pemandangan asing ini ternyata lambat laun berpengaruh pada si mantan santri. Awalnya perilaku ini bukan dari tabiatnya, aib baginya menyisakan makanan di piring. Akan tetapi seiring berjalan waktu ia melihat ternyata tidak sendiri. Ia perhatikan banyak di antara kawannya melakukan hal yang sama. Entah karena gengsi, entah karena takut disebut ‘pelit’, entah pula karena sudah membudidaya di kalangan mereka sehingga perbuatan tercela ini terkesan hanya hal biasa.
Ketika ditanya apa gerangan yang membuatnya membiarkan makanan terbuang sia-sia enteng saja ia kata, “Aduh, gue udah kenyang nih, tadi kebanyakan sih ngambilnya.” Alasan yang sukar diterima. Dua puluh tahun lebih bukan waktu yang singkat untuk belajar mengambil makanan yang sesuai porsi dan selera. Kecuali kalau memang anda (baca: dia) orang yang suka bermudah-mudahan, "alaah, itu mah biasa aja".
Lalu benarkah tidak menyisakan makanan dikatakan pelit? Sebagian orang menjuluki orang yang suka menyisakan jatah makannya sebagai dermawan, karena mau 'membagi' makanannya walaupun tak jelas kemana perginya. Sebaliknya mereka yang selalu berusaha menghabiskan jatah makannya mereka sebut orang pelit, karena disangka tak mau berbagi. Ini persepsi yang salah. Bukan masalah pelit atau dermawan, tapi masalah tanggungjawab dan kelalaian. Mereka nampaknya belum bisa membedakan antara perbuatan membagi dan menyisakan.
Membagi makanan lebih tepat jika kita katakan pada seseorang yang sedang membagi makanannya sebelum ia makan menjadi beberapa bagian. Sebagian ia makan dan sebagian lain sengaja dipisahkan untuk diberikan kepada orang lain. Sedangkan kata menyisakan, memiliki objek yaitu sisa. Harus dibedakan antara membagi makanan dengan menyisakan. Sebagaimana sudah saya singgung bahwa sisa merupakan objek dari perbuatan menyisakan yang artinya hasil dari perbuatan makan yang tidak sampai selesei. Dari sini jelas bahwa menyisakan adalah menjadikan makanan bersisa alias bekas. Berbeda dengan "membagi", yang memang sedari awal objeknya sudah terpisah dari makanan yang mau dimakan. Sehingga lebih tepatnya ‘dermawan’ tadi kita sebut orang tak bertanggungjawab sedangkan ‘si pelit’ ialah orang yang menunaikan tanggungjawabnya.
Kenyataan di lapangan telah membuktikan orang-orang yang sok 'dermawan' tadi sebenarnya hanya menjadikan kata tersebut sebagai tameng, agar tak dikatakan orang yang berlaku israf maupun tabdzir. Buktinya ia rela sisa makannya dititipkan ke bak sampah. Sedikit berbeda kalau ia bungkus sisanya lalu ia kasihkan kucing (kalo ada) pasti jelas faedahnya.
Boleh jadi memang dalam beberapa kondisi bisa dimaklumi tatkala seseorang tak mampu menghabiskan makanannya. Tidak dipungkiri bahwa pada saat-saat tertentu perut kita mendadak berontak. Dari awalnya sangat berhasrat menyikat semua menu di depan mata tapi tiba-tiba keinginan tersebut berubah seketika. Namun tidak kemudian kita hiraukan saja kondisi tersebut hingga berulang-ulang menjadi sebuah kebiasaan.
Kita tak boleh lupa bahwa sewaktu-waktu Dzat Yang Maha Kuasa berhak mencabut nikmat tersebut dari arah yang tak disangka-sangka. Hingga kini masih ada 868 juta jiwa atau 12,5% dari populasi penduduk dunia terlunta-lunta nyaris putus urat nadinya demi bertahan di tengah kerasnya mencari pangan, adapun kita?
Wahai saudara, sejauh mana rasa tanggungjawab seorang hamba atas nikmat Allah ini bisa dilihat dari caranya memperlakukan makanan di depannya. Ya, makanan yang anda ambil berarti sudah menjadi tanggungjawab anda. Sesuatu yang kelak di akhirat karenanya anda ditanya.
Solusinya sederhana, siapapun bisa sekalipun tak lulus TK. Ambillah makanan sesuai porsi anda dan yakinlah yang anda ambil tak melebihi muatan lambung anda. Kalau masih tak bisa, ingatlah beasiswa ini tak akan selamanya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H