Oleh : dr. Gamal Albinsaid, M.Biomed
Pada tahun 2015, ketika ada World Economic Forum, kami aktivis wirausaha sosial internasional bersama Oxfam launch World Equality Forum. Kenapa? Karena pada saat itu kekayaan 85 orang terkaya di dunia sama dengan kekayaan separuh populasi dunia. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 2017, kondisinya semakin mengejutkan, dimana kekayaan 8 orang terkaya di dunia sama dengan kekayaan 3,5 milyar penduduk dunia.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Agaknya tidak jauh berbeda. Pada tahun 2008, kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia sama dengan kakayaan 30 juta penduduk Indonesia. Setahun kemudian, di tahun 2009, kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia sama dengan kekayaan 42 juta penduduk Indonesia. Tahun 2010 meningkat lagi, kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia sama dengan kekayaan 60 juta penduduk Indonesia.Â
Hingga tahun 2011 kian menyakitkan, kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia sama dengan kekayaan 77 juta penduduk Indonesia. Tidak cukup sampai disitu, Bulan Februari 2017, hati kita semakin tersayat, bayangkan kekayaan 4 orang, bukan lagi 40 orang, saya ulangi kekayaan 4 orang terkaya di Indonesia sama dengan kekayaan 100 juta penduduk Indonesia. Ya kawan, kita terus berjalan ke arah kesenjangan yang akan memicu ledakan sosial. Menyakitkan mengetahui bahwa di negeri yang kita cintai ini, so few have so much, so many have so little.
Bank Dunia juga angkat bicara, pertumbuhan ekonomi selama 1 dasawarsa terakhir hingga 2017 hanya menguntungkan 20% orang terkaya, sementara 80% sisanya tertinggal di belakang. Apa akibatnya? 61% masyarakat kita memilih menerima pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah asalkan ketimpangan juga berkurang. Lalu saya bertanya, dimana keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu?
Secara pribadi saya berpendapat, kita harus mereformasi cara kita menentukan garis kemiskinan. Bagi saya, garis kemiskinan di tahun 2017 itu tidak manusiawi, bayangkan mereka yang setiap hari berpenghasilan Rp 12.000 sudah tidak dikatakan miskin.
Oleh karena itu, saya yakin wirausaha saja tidak cukup untuk menyelesaikan berbagi masalah di negeri kita. Kita butuh wirausaha sosial, orang -- orang yang bukan hanya berpikir tentang uang di tangan, tapi juga berpikir tentang kebaikan, kebermanfaatan, dan kepedulian. Kita butuh orang-orang yang bukan hanya berpikir "How to make money", tapi mereka juga berpikir "How to solve social problems". Sejak tahun 2014 saya berkeliling Indonesia untuk memperkenalkan tentang konsep wirausaha sosial dan mengajak sebanyak mungkin pemuda -- pemudi Indonesia menjadi wirausaha sosial.Â
Saya yakin, tanpa wirausaha sosial pertumbuhan ekonomi kita tidak akan berkorelasi dengan perbaikan kesejahteraan bangsa kita. Kawan, keluarlah dari kantor dan rumah kita, singgahlah sejenak di kampung-kampung yang sempit sesak dan penuh dengan kemiskinan. Rasakan cobaan dan penderitaan mereka, cobalah sedikit berempati. The great gift of human beings is that we have the power of empathy.
Tapi marilah kita tatap masa depan bangsa ini dengan penuh optimisme. Sudahlah, mari kita selesaikan dan tutup rapat-rapat soal perbedaan dan perselisihan. Mari kita bangun persatuan Indonesia untuk mencapai keadilan sosial. Saya yakin, hari ini Indonesia sedang memasuki era baru dimana nilai-nilai penghormatan bukan lagi diberikan kepada mereka yang punya kesejahteraan finansial, tapi kepada mereka yang punya ide, gagasan, dan kepedulian. Jadilah wirausaha negarawan yang bekerja untuk menyelesaikan berbagai masalah bangsa dengan dompetnya sendiri.
Saya melihat dan meyakini bahwa wirausaha sosial sebagai sebuah integrasi dari entrepreneurship value dan social value tentunya memberikan peluang optimalisasi perkembangan ekonomi yang berimplikasi pada perkembangan kesejahteraan. Oleh karena itu, saya berharap kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia harus mampu mengubah konsep dari melahirkan wirausaha menjadi melahirkan wirausaha sosial.
Jangan ada lagi seseorang ayah yang pulang ke rumahnya dengan penuh rasa bersalah karena tak mampu membawa makan untuk anak-anaknya...
Jangan ada lagi seorang Ibu yang harus memohon belas kasih di rumah sakit agar sang anak bisa mendapatkan pengobatan...
Jangan ada lagi seorang anak yang tak mampu mengangkat kepala dan dadanya di kelas karena tak mampu membayar biaya sekolah...
                                     Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H