Oleh : dr. Gamal Albinsaid, M.Biomed
Saya percaya dan yakin tentang "Story Behind Innovation". Banyak orang bertanya kepada saya, “bagaimana dokter Gamal bisa mengembangkan banyak inovasi kesehatan?” “bagaimana cara kita dapat konsisten berinovasi?” Saya adalah orang yang berpegangan bahwa empathy is the connection that leads to solutions. Jika melihat kejadian di depan mata saya, saya selalu mencoba berpikir, “apa inovasi yang saya bisa kembangkan untuk menyelesaikan masalah mereka dan orang-orang seperti mereka di luar sana?”. Ya, Perasaan itu menjadi stimulus awal yang membuat kami melahirkan berbagai inovasi-inovasi kesehatan baru. Ketika inovasi itu mulai terwujud, semakin banyak orang-orang yang merasakan kebermanfaatan, dan kemudian menjelma menjadi kisah yang sangat motivasi saya dan orang-orang yang saya pimpin untuk bekerja lebih keras meluaskan dampak kebermanfaatan kami. Kisah orang-orang yang merasakan kebermanfaatan itu pula yang menjadikan kami lebih giat bekerja untuk memastikan keberlanjutan inovasi yang telah kami mulai.
Kita bisa mencari fakta dan data, tapi itu hanya akan membuat kita menggunakan otak kiri kita dan melihat bisnis kita sebagai sebuah proses penyelesaian masalah atau mesin penghasil uang. Tapi dengan “story behind innovation” kita bisa membangun empati pribadi kita, membangun empati orang –orang yang kita pimpin, membangun empati orang-orang di sekitar kita untuk memahmi kepada siapa inovasi itu ditujukan dan untuk apa inovasi itu dilahirkan. Dengan begitu kita bisa melibatkan banyak orang untuk membersamai kita mengejar cita-cita kebaikan itu. Saya selalu berpesan kepada tim saya untuk membangun empati mereka, hingga terus mengingatkan untuk apa inovasi kami dilahirkan. Cerita - cerita dimana inovasi kami berdampak ini, tanpa saya sadari telah menjadi spirit yang membantu kami memahami visi dan misi dari setiap inovasi kami. Perjalanan panjang berbagai kisah-kisah dimana inovasi kami hadir menjadikan saya memahami bahwa pada akhirnya innovation is about creating value
Sayangnya, banyak inovator melewatkan empati dalam pengembangan inovasi mereka, banyak diantara mereka hanya melihat masalah lalu membuat sebuah inovasi, tidak sedikit pula yang melihat peluang lalu membuat inovasi. Masalah dan peluang memang awal dari sebuah ide itu lahir, namun empati yang kita miliki yang akan membuat kita terus bergerak dan meluaskan dampak. Empati memberikan kita meaning dan membuat kita terus mengejar mimpi untuk mewujudkan visi mulia itu. Bagi saya, empathy is the most essential quality of social entrepreneurship and socialentrepreneruship is about empathy. Ketika sumber daya finansial Anda hampir atau telah habis, ketika tim Anda mulai meninggalkan Anda satu per satu, ketika semua usaha Anda mewujudkan atau meluaskan dampak inovasi itu gagal, ketika Anda diremehkan, dianggap gagal, atau mungkin berada dalam titik nadir perjalanan Anda membangun inovasi itu, apa yang membuat Anda terus bergerak? Jawabannya adalah keyakinan mendalam bahwa kehadiran inovasi kita akan merubah kehidupan banyak orang. Saya pernah merasakan itu dan saya yakin tidak sedikit diantara Anda yang membaca buku ini pernah atau sedang berada di titik itu. Disanalah empati menjadi bahan bakar yang membuat kita terus bergerak. Itulah jawaban atas berbagai pertanyaan, "bagaimana kita bisa konsisten berinovasi?", "Why did I still do it?"
Lebih dari itu, when you start to develop your powers of empathy, the world open's up to you. Empati adalah modal bisnis yang kuat untuk meningkatkan ikatan kepercayaan antara semua stakeholder. Jika kita sebagai wirausaha mampu memahami pelanggan kita, maka kita akan memiliki kecerdasan intuisi untuk menciptakan berbagai inovasi yang memberikan nilai yang memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan masalah pelanggan kita. Empati ini akan membantu seorang wirausaha dan perusahaan untuk memahami need, want, dan demand pelanggan. Lebih jauh lagi, dengan empati maka kita akan melibatkan pelanggan dalam proses pengambilan keputusan di perusahaan, kita akan menyesuaikan dan memodifikasi bisnis model, produk, jasa, bahkan inovasi kita sesuai keinginan, kebutuhan, dan permintaan pelanggan.
Empati ini juga dapat melahirkan sebuah bahasa komunikasi yang mampu menyampaikan inovasi itu ke semua stakeholder dan pelanggan kita. Marketing dari sisi perusahaan harus mampu menyentuh sisi emosional dari pelanggan atau calon pelanggan
Apakah empati pekerjaan yang mudah? Ya, mudah dikatakan dan dinasehatkan dalam mimbar atau buku, namun sangat sulit diamalkan. Sebagai gambaran, David Foster Wallace dalam tulisannya yang berjudul This is Water menggambarkan manusia terlahir sebagai makhluk yang memikirkan diri sendiri atau dengan kata lain egois. Dua dekade lalu, Psikolog Daniel Batson melakukan sebuah studi yang menunjukkan bahwa jika seseorang memperkirakan bahwa empatinya akan berakibat siginfikan pada uang dan waktu mereka, ia akan menghindari situasi yang dia yakini mengakibatkan hal tersebut. Hal itu senada dengan apa yang disampaikan CEO British Bank dalam World Economic Forum yang menyatakan “Kita semua tahu penting untuk bersikap empati, tapi bagaimana cara menggembleng 48.000 orang dalam pekerjaan di Inggris, kebanyakan di antaranya berpikir bahwa empati adalah untuk para pengecut?”. Oleh karena itu, perusahaan harus mampu membangun keseimbangan antara empati dengan ambisi. Empati merupakan cara mengetahui dan memenuhi keinginan dan kepentingan pelanggan dalam perspektif sosial, sedangkan ambisi merupakan keinginan untuk mencapai tujuan perusahaan dalam perspektif finansial. Seorang wirausaha sosial harus mampu berdamai dengan keduanya.
Memang benar, bahwa empati bukanlah pekerjaan yang mudah, tapi empati akan membawa kebaikan bagi pribadi Anda, bahkan untuk bisnis Anda. Ini seperti yang diungkapkan oleh Belinda Parmar dalam tulisannya The Empathy Era. Parmar menasehatkan, perusahaan seyogyanya mengimplementasikan empati pada 3 sektor, yaitu internal pada seluruh pegawai, eksternal pada pelanggan, dan publik pada media sosial. Belinda Parmar meneliti skor empati dari 100 perusahaan yang paling dikenal di Inggris. Menurutnya hanya sangat sedikit perusahaan yang berempati dengan baik pada semua sektor. Perusahaan yang melihat empati hanya dalam hubungan pada pegawai akan gagal mewujudkan manfaat yang lebih luas pada sektor pelanggan dan media sosial. Why genuine empathy is good for business? Empati di internal akan mampu mendorong organisasi perusahaan untuk bekerja berorientasi pada pelanggan, sedangkan empati di eksternal akan membangun ikatan kepercayaan dengan semua stakeholder. Oleh karena itu, saya simpulkan bahwa The first soft skill marketers need to develop is empathy.
Salah satu contoh dari tindakan empati dalam perusahaan adalah Empathy Lab, yang memberi kesempatan para teknisi Facebook untuk merasakan sendiri bagaimana pelanggan akan menggunakan produk mereka, bahkan jika pelanggan tersebut mengalami gangguan penglihatan atau pendengaran. Dengan itu, kita bisa melihat bahwa Facebook menerapkan feel customers’ pain before they do. Facebook mengatakan "Kami ingin membangun empati dalam teknisi kami". Facebook berusaha agar teknisi mengerti apa yang dialami pelanggan mereka dan membangun produk yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Prinsip – prinsip ini mengantarkan raksasa media sosial Facebook di urutan pertama dalam publikasi The 20 Most Empathetic Companies tahun 2016 yang menggunakan Indeks Empati 2016, diikuti google urutan kedua, dan linkedIn urutan ketiga. Tidak sulit untuk memahami mengapa Facebook berada di urutan pertama? Karena mereka mendengarkan apa yang dikatakan pelanggan dan staf, mencoba menempatkan dirinya di posisi mereka, dan kemudian membuat perubahan berdasarkan feedback tersebut.
Empathy Index tahun 2016 memperhatikan beberapa sektor, yaitu etik, kepemimpinan, budaya perusahaan, persepsi brand, dan pesan publik melalui media sosial. Yang menarik adalah Harvard Business Review menemukan korelasi sebesar 80% antara empati departemen dengan tinggi kinerja. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana membentuk perusahaan yang lebih empati? Mulailah dengan mengidentifikasi titik masalah, aktivitas dan sikap yang menunjukkan kurangnya empati, kemudian mulailah menyelesaikannya. Sebagai contoh, Ryanair melakukannya dengan program “Always Getting Better” di tahun 2014, dengan mengurangi pembatasan barang bawaan dan lain sebagainya. CEO Michael O’Leary mengatakan “Jika saya tahu bahwa bersikap baik terhadap pelanggan akan bekerja dengan baik, saya akan mulai bertahun-tahun yang lalu”. Hasilnya adalah kenaikan 13 tempat di indeks tahun ini dan kenaikan laba bersih dari €867 juta pada tahun sebelumnya menjadi €1,24 miliar ($ 1,39 miliar) pada akhir bulan Maret 2016. Oleh karena itu, pemimpin dan perusahaan yang memasukkan empati (kemampuan untuk memahami dan membagi perasaan dengan yang lain) ke dalam model bisnisnya akan menampilkan kinerja lebih baik dibandingkan dengan mereka yang mengesampingkan empati Untuk menempatkan empati dalam perusahaan, kita harus mulai belajar menempatkan empati dalam pribadi kita dan orang-orang yang kita pimpin. Akhir kata, Walk a mile in your customer’s shoes, that’s empathy, the ultimate form of customer insight.
“Senyuman mereka yang mendapatkan menfaat dari kehadiran kita selalu menjelma menjadi motivasi untuk saya bekerja lebih keras, mengabdi lebih tangguh, dan berkorban lebih banyak.”