“Relawan akan selalu ada”, seorang teman pernah berkata pada saya. Waktu itu kami sedang membicarakan bagaimana agar majalah online gratis tentang backpacking yang sedang kami bangun ini bisa lebih berkembang dan dikenal oleh masyarakat. Majalah gratisan yang dibuat oleh orang-orang yang gratisan pula alias tidak dibayar. Sekelompok orang yang terdiri dari seorang karyawan perusahaan riset pemasaran, seorang freelancer riset media, dua orang wartawan majalah agrobisnis, seorang web developer, dan seorang mahasiswa yang tidak lulus-lulus. Di dalam perjalanan majalah tersebut, para kontributor gratisan pun datang dan pergi. Mereka rela menyumbangkan foto dan tulisan yang mereka buat sepenuh hati dibayar hanya oleh sebuah ucapan terima kasih.
Begitu pula apabila kita melewati kolong jembatan Grogol di kota Jakarta pada hari minggu jam tiga sore. Kita akan melihat sekelompok orang yang sedang sibuk beraktivitas diatas sebuah terpal besar. Mereka adalah para guru gratisan yang mau meluangkan hari Minggu mereka untuk mengajar anak-anak jalanan. Padahal hari Minggu seperti yang kita semua tahu adalah hari yang tepat untuk bermalas-malasan ataupun jalan-jalan ke mall.
Dua kegiatan diatas sepertinya cukup kontradiktif dengan apa yang banyak orang katakan tentang kehidupan perkotaan di zaman modern. Dimana manusia perkotaan digambarkan sebagai sosok yang egois dan individualis karena harus bertahan dengan kehidupan yang keras di masa kini. Kota-kota besar Indonesia terutama Jakarta digambarkan sebagai kota yang kejam terutama bagi mereka yang secara ekonomi miskin atau pas-pasan. Bertindak baik dianggap sebagai kelemahan dan keluguan, sedangkan berbuat licik dan culas seakan-akan dapat dibenarkan apabila dengan alasan untuk bertahan hidup.
Anggapan tersebut diatas tidak sepenuhnya salah namun tidak dapat digeneralisir. Karena ternyata ditengah-tengah berkembangnya praktek individualisme dalam masyarakat perkotaan modern, masih banyak orang yang mau berbuat sesuatu bagi sesama. Mereka pun mau meluangkan waktu mereka yang sebenarnya sudah tersita dengan pekerjaan ataupun sekolah tanpa dibayar oleh uang seperak pun. Orang-orang itu disebut para relawan yang bergerak bukan karena perut tetapi karena hati.
Kehidupan terutama kehidupan berbangsa dan bermasyarakat adalah sesuatu yang tidak akan pernah menjadi ideal. Sebaik apapun sebuah negara mengatur dirinya, pasti akan selalu ada celah yang menuntut untuk diperbaiki. Dari situlah muncul pergerakan-pergerakan yang menuntut perbaikan atas kondisi yang ada. Apalagi Indonesia yang masih carut marut dengan berbagai isu kemiskinan, pendidikan, kesehatan, lingkungan, HAM, dan sebagainya. Yang membuat banyak pergerakan baik yang berbayar maupun sukarela tumbuh dengan subur.
Para relawan muncul dari individu-individu yang gerah dengan kondisi yang ada namun tidak hanya ingin menjadi penonton yang merasa cukup dengan berteriak dari pinggir lapangan. Kita mungkin sering mendengar teman maupun keluarga kita mengobrol tentang ketidakpuasan mereka, baik itu tentang kotornya pemerintahan ini, lingkungan yang semakin tidak sehat, atau pun kemiskinan yang semakin terlihat. Relawan itu adalah sebagian dari mereka yang tidak puas untuk hanya terlibat di dalam obrolan warung kopi tersebut dan bersedia turun ke jalan untuk membuat perubahan.
Mungkin cukup mengherankan kenapa ada orang yang bersedia untuk mengorbankan waktu mereka untuk sesuatu dimana mereka tidak memperoleh imbal balik yang sifatnya materiil, padahal mungkin pekerjaan mereka sudah cukup membuat stres dan menyita waktu mereka. Tetapi memang manusia tidaklah terbuat lembaran-lembaran uang ribuan dan mereka tidak dapat lepas dari peran mereka sebagai makhluk sosial. Rata-rata mereka yang menjadi relawan memiliki kepedulian lebih terhadap suatu hal dan memiliki kesempatan untuk berbuat sesuatu bagi orang lain adalah bayaran yang sudah lebih dari cukup untuk mereka. Ini sepertinya tidak terlepas dari sifat dasar manusia yang ingin merasa berarti dalam hidup dan dengan berbagai kegiatan sosial ini dapat membuat mereka merasa memiliki nilai lebih sebagai manusia.
Relawan sepertinya adalah anomali dari masyarakat zaman modern yang digeneralisir sebagai sebuah masyarakat yang egosentris dan individualistis. Sebagai penutup saya akan menggambarkan kembali sebuah kegiatan kerelawanan yang terjadi beberapa tahun yang lalu.
“Pada hari itu siang sangat terik di kota Jakarta terutama di tengah Bundaran Hotel Indonesia. Hari itu bertepatan dengan hari lingkungan internasional dan lima puluh orang pelukis baik amatir maupun profesional sedang melukis gambaran mereka tentang kondisi lingkungan pada saat ini. Sore hari lukisan-lukisan pun telah rampung dan semua orang pun pulang. Tidak ada lukisan yang dibayar dan tidak ada satupun panitia acara yang mendapatkan ongkos transport. Tapi tidak ada keluhan dan semua orang pun pergi dengan tenang”
Tulisan juga dapat dilihat di www.GalurSoleil.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H