Mauri, Klose, Hernanes dan Revolusi Kecil Edy Reja
oleh Galuh Trianingsih lazuardi
© 2012
Musim 2010/2011 yang silam Lazio cukup sukses dengan menempati peringkat 5, hanya kalah selisih gol dari Udinese. Sesungguhnya prestasi Lazio dapat lebih baik lagi. Masalah utama yang dihadapi tim pertama Kota Roma saat itu adalah ketergantungan pada Stefano Mauri, sang playmaker genius yang selalu memanjakan para penyerang Lazio dengan umpan-umpan matangnya, memiliki visi yang luas dan kemampuan menentukan ritme permainan tim serta menjaga keseimbangan saat tim berada di bawah tekanan. Dengan Mauri, saat itu Edy Reja mampu memainkan pola 4-2-3-1 yang efektif. Bersama Hernanes dan Zarate yang ditarik agak ke belakang, trio ini benar-benar efektif dalam memberikan dukungan bagi penyerang tunggal Rocchi atau Kozak. Perhatikanlah faktanya: Mauri bermain di 21 dari 38 laga yang dilakoni Lazio. Dari 21 laga tersebut Lazio memetik 49 poin, sedangkan dari 17 laga tanpa Mauri Biancocelesti hanya mampu mengoleksi 17 poin. Ketika Mauri cedera panjang maka tim menanggung konsekuensi dari sebuah ketergantungan.
Musim ini Mauri hanya sempat bermain di partai awal lawan Milan dan sebentar saja saat Derby della Capitale. Ini berimplikasi pada perubahan sistem permainan. Reja memainkan 4-3-1-2 yang cenderung “negatif dan kurang greget”. Lazio tertolong dengan keberadaan Klose, seorang penyerang oportunistis yang mampu melesakkan gol-gol yang krusial. Maka Lazio pun, sekali lagi, berada dalam situasi ketergantungan, kali ini pada penyerang timnas Jerman ini. Tertanam suatu pakem, bahwa Lazio hanya akan menang jika Klose mencetak gol. Pola yang menuntut adanya seorang trequartista handal ini memberikan beban berat justru bukan pada Klose, melainkan pada diri Hernanes. Dari skuad yang ada hanya Hernanes lah yang mampu menjalankan tugas ini. Hernanes menjadi tak tergantikan, yang mengakibatkan dia menjadi overplayed, diturunkan di hampir semua laga di semua kompetisi yang diikuti Lazio. Sering kelihatan betapa pemain berjulukan Il Profeta ini kelelahan dan berdampak pada penampilan kurang optimal dari pemain terbaik Brasil 2008 ini. Cristian Ledesma ternyata tak mampu memainkan peran Mauri secara optimal. Masalah lini tengah bertambah dengan cedera panjang Cristian Brocchi, yang membuat Reja mengeluh tentang badai cedera timnya dan menantikan darah segar dari calcio mercato Januari 2012.
Calcio Mercato Januari Yang “Ajaib”
Jendela transfer musim dingin ini menghasilkan berbagai rumor dari Parolo, Kuzmanovic, Kone, Constant hingga Krasic. Terakhir, media mengabarkan hampir pastinya kedatangan Keisuke Honda, playmaker CSKA Moskva berkebangsaan Jepang. Kabar ini tentu membuat ultras bergairah karena Honda mengingatkan kepada figur Mauri yang selama setengah musim ini hilang. Mampu bermain sebagai pengatur serangan, midfielder murni bahkan sebagai trequartista. Entah karena Claudio Lotito, seperti biasa, mengimplementasikan kebijaksanaan uang ketat atau kebingungan melepas satu pemain non-Uni Eropa, tapi nyatanya Honda urung mengenakan kostum birulangit. Tambahan pemain lapangan tengah hanya datang dari pemain milik Udinese yang bermain di Cesena, Antonio Candreva, yang bertipe mirip Ledesma.
Yang lebih mencengangkan adalah perubahan komposisi barisan penyerang. Tak kurang dari empat pemain dilepaskan Januari ini. Djibril Cisse dijual ke Queen Park Rangers, padahal walaupun hanya mencetak satu gol di Serie-A, Cisse sangat fungsional dalam memberikan assist dan mengacaukan barisan pertahanan lawan. Lalu Simone Del Nero yang dipinjamkan ke Cesena sebagai bagian tukar-guling dengan Candreva. Yang satu ini bisa dimengerti. Yang susah dimengerti tentunya kebijakan tentang Beppe Sculli. Pemain yang dipinjam dari Genoa awal Januari 2011 ini dipermanenkan kepemilikannya oleh Lazio awal musim ini, untuk akhirnya dipinjamkan kembali ke klub yang sama, Genoa. Sculli mampu bermain bagus di posisi Hernanes dan menciptakan beberapa gol penting baik di Serie-A maupun di Liga Eropa. Kedekatan hubungan Lotito dan Presiden Genoa, Enrico Preziosi, tampaknya lebih berperan di sini. Dan akhirnya, adalah peminjaman Tommaso Ceccarelli ke Juve Stabia. Ceccarelli adalah pemain sangat berbakat hasil Akademi Lazio, kelahiran Kota Roma, cemerlang di Primavera, digadang-gadang oleh ultras sebagai pewaris tahta Prince of Olimpico yang ditinggalkan Alessandro Nesta. Entah apa alasannya, tetapi Reja memang tak pernah memberi Ceccarelli kesempatan bermain sama sekali. Saat ini ujung tombak Lazio tersisa Klose, Rocchi, Makinwa yang lebih setahun tak bermain rutin, Kozak yang cedera, pemain masa depan Uruguay, Emiliano Alfaro, yang belum teruji karena baru dibeli dan dalam keadaan cedera, serta Antonio Rozzi dari tim Primavera. Padahal selain Sculli, Del Nero dan Ceccarelli sesungguhnya Lazio memiliki juga Zarate, Foggia, Floccari, Mendicino dan Ricci yang dipinjamkan ke beberapa klub.
Di samping nama-nama di atas, beberapa pemain juga dipinjamkan. Portiere eksentrik Juan Pablo Carrizo ke Atalanta, bek Guglielmo Stendardo ke Atalanta dan bek kanan alumni Primavera Cavanda ke Bari. Ada apa di balik mutasi pemain yang “membingungkan” ini?
Revolusi Kecil Reja
Kalau kita mencoba memahami Reja, sebetulnya ini bukanlah mutasi pemain yang bersifat impulsif. Reja, didukung Lotito tentunya, sedang melakukan revolusi kecil-kecilan atas tiga aspek. Pertama, Reja ingin merampingkan tim dengan mengurangi jumlah pemain. Kedua, Reja menyadari kelemahan Lazio selama paruh pertama musim ini yaitu renggangnya lini tengah dan ketergantungan yang besar pada figur Hernanes. Reja mengembalikan pola permainan Lazio ke pola musim lalu, 4-2-3-1 dan memperlebar serta mendistribusikan fungsi trequartista ke tiga pemain. Hernanes, Gonzalez, Lulic dan Mauri (setelah pulih) akan bergantian menjadi trio tersebut. Di jantung lini tengah, Ledesma, Matuzalem, Candreva dan Brocchi akan bergantian berduet, dengan Lorik Cana sebagai pelapis.
Maka dapat dipahami mengapa Reja mengurangi bertumpuknya striker, karena pola ini hanya membutuhkan satu penyerang murni di depan. Yang diandalkan tentu Klose dengan Rocchi dan Kozak sebagai pelapis, sekaligus amunisi tambahan jika membutuhkan perubahan situasional pola permainan menjadi 4-3-1-2 atau 4-4-2. Di jantung pertahanan, Dias, Biava, Diakite dan Stankevicius akan bergantian berduet, di bek kanan-kiri Reja memiliki Konko, Zauri, Radu dan Scaloni.
Lazio Masa Depan
Revolusi kecil ketiga yang dilakukan Reja bersifat strategis dan bernuansa jangka panjang. Pelatih gaek tersebut sangat menyadari kelemahan utama Lazio, yaitu kedalaman tim yang kurang, akibat tidak berjalannya regenerasi selama lebih dari satu dekade. Memadukan regenerasi dengan target tiga besar musim ini bukanlah hal mudah. Regenerasi selalu meminta pengorbanan, bahkan pada klub sebesar Barcelona ketika Pep Guardiola mulai memberi kesempatan kepada pemain-pemain muda produk akademinya. Maka meminjamkan pemain berbakat seperti Ceccarelli dan Cavanda adalah jalan pintas untuk memberi mereka “jam terbang” yang cukup. Pilihan terbaik justru pada klub dari Serie-B atau C1, sehingga mereka akan lebih mudah bersaing mendapatkan tempat di tim inti. Di tim utama Lazio, di samping Alfaro, saat terselip empat pemain muda alumni Primavera yakni Rozzi, Zampa, Crescenzi dan portiere ketiga, Berardi.
Dengan strategi semacam ini bisa dimengerti optimisme Reja untuk musim ini dan masa datang. Sisa musim ini persaingan sudah menjadi lebih jelas. Bukan tak mungkin bagi Lazio untuk menelikung Juventus dan Milan, tetapi secara realistis Reja mengatakan bahwa hal yang akan dilakukannya adalah berusaha menyalip “jago kandang” Udinese dan memastikan tidak disalip oleh Inter. Baik Udinese maupun Inter memiliki problem kedalaman, yang dapat dimanfaatkan dengan konsistensi dan dengan skuad yang ramping namun berpengalaman. Demikian juga dalam menjalani babak 32-besar Liga Eropa untuk memperoleh hasil semaksimal mungkin. Untuk masa depan, para pemain muda produk Akademi Lazio yang sedang “bersekolah” di banyak klub, diharapkan akan siap dalam dua musim ke depan untuk mengambil tongkat estafet dari tangan Rocchi dkk.
Lulus Ujian Pertama
Revolusi kecil Reja berjalan baik di penampilan pertamanya saat menjamu Milan di Olimpico Kamis dini hari. Mengandaskan favorit pemegang scudetto Milan dengan dua gol tanpa, pola 4-2-3-1 Reja terbukti efektif walaupun tanpa Klose. Permainan Lazio lebih mengalir dan mampu memeragakan pola menyerang yang sama baiknya dengan pola bertahan. Dan yang penting, sebuah tirai psikologis telah lenyap: Lazio telah melepas ketergantungan kepada Klose atau pemain manapun. Kolektivitas permainan sebagai sebuah unit kerjasama telah terbentuk. Reja juga berani menurunkan Rozzi untuk menggantikan Rocchi saat situasi relatif “aman”. Ini hal yang tidak pernah dilakukan Reja sebelumnya kecuali saat menghadapi tim lapis kedua Sporting Lisbon di Liga Eropa dan saat krisis bek kanan sewaktu menjamu Juventus.
Tentu masih terlalu dini untuk menilai keberhasilan revolusi kecil Reja. Kemenangan atas Milan tadi barulah lulus ujian pertama. Musim ini masih panjang. Berhasil atau tidaknya upaya Reja masih harus dibuktikan di 17 giornata lagi. Di tingkat Eropa, ujian pertama adalah saat menjamu Atletico Madrid pekan depan. Tetapi minimal semuanya telah dimulai dengan hasil baik. Semoga awal yang baik akan membawa akhir yang baik pula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H