Mohon tunggu...
Galuh Trianingsih Lazuardi
Galuh Trianingsih Lazuardi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Forza Lazio!\r\n\r\nhttp://galuhtrianingsihlazuardi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Fenomena Generasi Kedua Irriducibili Lazio: Tak Ada Yang Abadi

20 Januari 2012   19:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:38 1533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena Generasi Kedua Irriducibili Lazio:

Tak Ada Yang Abadi

oleh Galuh Trianingsih Lazuardi

© 2012

Jiwa yang lama segera pergi

Bersiaplah para pengganti

Tak ada yang abadi, tak ada yang abadi.....

Penggalan syair lagu “Tak Ada Yang Abadi”, salah satu masterpiece Nazriel Irham alias Ariel dari grup Peterpan, menegaskan suatu keniscayaan, bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah perubahan itu sendiri. Kita hanya berhak untuk setuju, sama berhaknya untuk tidak setuju, tetapi perubahan tak akan dapat dihindari, karena perubahan adalah hakekat hidup dan kehidupan.

Bagi Irriducibili Lazio, grup tifosi paling fenomenal di Italia, perubahan ini juga terjadi dan tak terelakkan. Irriducibili terbentuk bersamaan dengan laga Serie B antara Lazio vs Padova di Stadio Olimpico, 18 Oktober 1987. Sejak itu, generasi pertama Irriducibili yang dimotori Antonio Grinta telah selama dua dekade memegang kendali Laziali di curva nord Olimpico. Dengan setumpuk suka-duka, kegemilangan dan kegagalan, mereka telah mempersatukan Laziali dalam memberikan dukungan pada tim birulangit ibukota, denganfilosofinya Our Existence Colours Curva Nord, But Solidarity Makes It Great. Seiring bertambahnya usia, tongkat estafet koordinasi Irriducibili secara alamiah berpindah ke generasi kedua, yaitu mereka yang dilahirkan pada dekade delapanpuluhan. Generasi kedua inilah yang kini terbanyak mengiringi jatuh-bangunnya biancocelesti terutama sejak musim 2010/2011 lalu, dan bertambah nyata kiprahnya di musim ini.

Dalam diskusi di forum-forum ultras Laziali, dominasi ini amat terasa. Generasi pertama tetap eksis, tetapi lebih banyak berperan sebagai sumber referensi. Bergantinya generasi menyebabkan terjadinya pergantian cara pandang dan metodologi yang diterapkan komunitas ini, tanpa menghilangkan ideologi dasar Irriducibili: independensi, solidaritas dan loyalitas yang tetap akan terjaga selama SS Lazio ada. Dalam semangat independensi inilah maka perubahan terjadi seiring dengan pengalaman yang menyertai mayoritas anggota komunitas Irriducibili.

Mempertajam Independensi dan Pragmatisme Menjauhi Kota Milano

Irriducibili Lazio memang menempatkan independensi di tempat tertinggi. Independensi terhadap manajemen Lazio atau kekuatan sosial-politik manapun dan semata-mata meletakkan sebuah loyalitas total hanya kepada tim (skuad) Lazio. Generasi kedua Irriducibili ini tetap memegang teguh dan bahkan mempertajam prinsip utama ini. Tak heran, pertentangan dengan presiden Lazio, Claudio Lotito, tetap terjadi, dan memuncak saat Internazionale merenggut kesayangan Laziali, Mauro Zarate dari hadapan publik Olimpico. Maka tak butuh waktu terlalu lama, ikatan persaudaraan (gamellaggio) Irriducibili-Boys SAN pun mengalami evaluasi habis-habisan di forum-forum ultras Lazio enam bulan terakhir.

Generasi kedua Irriducibili ini masih kanak-kanak saat Lazio menelan kekalahan 0-3 dari Internazionale di final UEFA Cup 1998 di Paris yang menandai terbentuknya ikatan ini. Saat mereka remaja, mereka menjadi saksi betapa senior mereka memberikan dukungan kepada Internazionale pada laga giornata 34 (terakhir, Serie-A saat itu berisi 18 tim) dan meminta tim pujaan mereka, Lazio, mengalah agar Internazionale meraih scudetto. Mereka pula yang ikut bersama generasi pertama Irriducibili melengserkan allenatore Alberto Zaccheroni, karena akhirnya Lazio menang dan Internazionale gagal meraih scudetto. Generasi kedua ini, menjadi saksi sebuah solidaritas dalam ikatan gamellaggio bersama Boys SAN.

Sesaat setelah itu, mereka menjadi saksi masa-masa pahit Lazio yang di ambang kebangkrutan dan nyaris dilikuidasi. Menjadi saksi peranan pemilik AC Milan, Silvio Berlusconi, yang saat itu menjadi PM Italia, menyelamatkan Lazio dengan dekritnya kepada otoritas perbankan Italia untuk menjadwalulangkan hutang-hutang warisan Sergio Cragnotti, hingga tahun 2027. Dan pada saat bersamaan mereka menjadi saksi penolakan Internazionale untuk membeli Alessandro Nesta yang meninggalkan Olimpico demi menyelamatkan Lazio, Nerazzurri lebih memilih Fabio Cannavaro, sehingga Nesta pun memperkuat rival Lazio, AC Milan. Lebih menyakitkan, selanjutnya generasi ini menyaksikan Internazionale justru memporakporandakan skuad Lazio dengan menggaet Dejan Stankovich dan memprovokasi Goran Pandev untuk mbalelo dan akhirnya berlabuh di Stadio Giuseppe Meazza.

Tak berhenti di situ, generasi kedua ini harus menyaksikan adegan ulangan tahun 2002, kali ini di laga giornata 37 musim 2009/2010. Mereka menyaksikan generasi pertama mencemooh pemain Lazio sendiri agar kalah atas Internazionale, agar klub dari kota mode itu meraih scudetto. Kali ini tim asuhan Jose Mourinho berhasil, tetapi generasi kedua ini telah cukup matang dan berani menunjukkan ketidaksetujuan mereka dan membentuk faksi tersendiri di tubuh Irriducibili. Bagi mereka, ikatan ini hanya menguntungkan Internazionale dan merugikan Lazio. Bagi mereka yang tumbuh di era globalisasi yang bebas ini, Irriducibili harus lebih pragmatis. Saat generasi kedua ini telah menempati posisi strategis di tubuh Irriducibili, mereka sekali lagi dihadapkan pada fakta pahit: idola mereka, Mauro Zarate, pergi dari Olimpico, lagi-lagi ke Internazionale, untuk kemudian “diterlantarkan”. Menjelang laga giornata 19 Serie-A dua hari lagi, para pendukung muda ini akan menuju San Siro untuk memberikan dukungan bagi Lazio untuk sebuah kemenangan atas Internazionale dan menuntut dikembalikannya Zarate ke Formello. Di tangan generasi kedua Irriducibili Lazio, gamellaggio Irriducibili-Boys SAN berada pada titik terendah.

Kota Madrid, Here We Come

Ikatan fans antara Irriducibili Lazio dan pendukung Real Madrid sesungguhnya telah terbentuk di masa generasi pertama dahulu, di era kepemimpinan Cragnotti. Ikatan ini tidak berkembang menjadi kenyataan, karena memang kepentingan bersama kedua kelompok suporter jarang terjadi. Lolosnya Lazio ke babak knockout Liga Eropa dan harus berhadapan dengan Atletico Madrid, serta lolosnya Real Madrid ke babak yang sama di Liga Champions mempererat ikatan lama ini. Komunikasi antara pimpinan kedua kelompok telah dilakukan akhir 2011 lalu, dan persetujuan pertukaran dukungan telah tercapai minggu ini. Fans Real Madrid akan mendukung Lazio saat berlaga di kandang Atletico Madrid, dan mengakomodasi Laziali yang datang ke ibukota Spanyol itu. Sebaliknya, Irriducibili Lazio akan memberikan dukungan pada Real Madrid jika di babak-babak selanjutnya mereka harus berlaga di Italia dan menghadapi AC Milan atau Napoli atau bahkan Internazionale sekalipun.

Generasi Kedua Irriducibili Lazio Yang A-politis dan Egaliter

Dari forum-forum ultras Lazio, terbetik juga keinginan kuat dari generasi kedua ini untuk menjalin ikatan dengan fans Genoa dan Fiorentina. Generasi Irriducibili Lazio ini memang lebih pragmatis. Rekaman memori masa kanak-kanak dan remaja membuat mereka lebih memilih langkah pragmatis dalam menjalin hubungan dengan fans klub lain. Generasi kedua ini adalah generasi yang skeptis terhadap politik sehingga tidak penting lagi bagi mereka soal pengelompokan kiri dan kanan, mereka juga lebih egaliter sehingga batas strata sosial kelas pekerja dan kelas borjuis menjadi kian kabur. Bagi mereka, Roma akan jadi eival utama. Milan dan Juventus juga tetap jadi rival berikutnya. Di luar itu, pandangan mereka lebih terbuka. Bagi mereka romantisme masa lalu pendahulunya adalah kenangan yang harus dievaluasi kembali, karena Lazio juga harus memetik keuntungan dari sebuah ikatan. Tidak hanya pengorbanan dan melulu pengorbanan.

Tak Ada Yang Abadi

Begitulah dunia. Perubahan adalah satu-satunya hal yang paling pasti. Berganti generasi, berganti sikap. Itu sebuah keniscayaan yang tak dapat dihalangi siapapun. Kita hanya dapat setuju atau tidak setuju, tetapi akhirnya harus menerima kebenaran kata-kata Ariel Peterpan bahwa tak ada yang abadi.

Karena keindahan yang memudar

Atau cinta yang t’lah hilang

Tak ada yang abadi, tak ada yang abadi.....

Tak ada yang abadi memang, kecuali rasa cinta saya pada SS Lazio. Yang satu ini akan tetap abadi!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun