Sulit disangkal aktivitas pertama saat kita bangun tidur adalah mencari handphone, memeriksa notifikasi, scroll timeline media sosial, mulai dari Instagram, Facebook, Twitter, Youtube, Line, Whatsapp, askfm, dan media-media sosial lainnya.
Saat bangun tidur maupun saat senggang kadang kita berlama-lama menatap gadget kita untuk melihat update kehidupan orang lain yang dipaparkan maupun terpapar di media sosial bisa dalam bentuk IG story, vlog, maupun tweet.
Kita mantengin medsos, jadi penonton sekaligus yang ditonton orang lain di media sosial. Aksi tonton-menonton itu disebut Guy Debord sebagai society of the spectacle atau masyarakat tontonan. Orang yang mempertontonkan disebut performer dan yang menontonnya disebut spectator. Di media sosial, semua penggunanya merupakan performer sekaligus spectator.
Teknologi berkembang, pola interaksi dan hubungan antar manusia berubah, kehidupan sosial juga berubah. Debord menyebut ada pergeseran nilai dari yang awalnya being (ada), menjadi having (memiliki), selanjutnya menjadi appearing (tampak).
Dari yang “ada” bergeser menjadi keinginan untuk “memiliki” atau mengonsumsi suatu komoditas, lalu ketika masuk pada nilai tampak (appearance) maka mengharuskan munculnya fungsi prestise, nampak mewah, dan berkelas.
Sehingga pada akhirnya orang modern diharuskan untuk memperhatikan citra, gengsi, dan tampilan yang mewah dalam mengonsumsi suatu komoditas bukan semata karena kegunaannya. Hal ini yang melahirkan sifat konsumtif dari membeli barang-barang branded dengan harga tidak wajar sampai operasi plastik supaya mirip dengan selebriti idolanya.
Kalo diklasifikasikan ada 5 kategori tontonan di media sosial. Pertama tontonan keseharian. Apa yang kita lakukan sehari-hari, pergi ke mana, makan apa, nongkrong dimana, temen-temennya siapa, kerja dimana, kuliah dimana, hobi, selera musik, sampe, obrolan di media chatting juga dipertontonkan di media sosial. Kedua tontonan identitas.
Sebagai performer dia pengen menunjukkan dari komunitas atau perkumpulan orang-orang seperti apa dia berasal, perkumpulan anggota arisan sosialita, fans klub bola, pecinta sastra, atau lagi nonton konser, pake barang-barang bermerk, dan semacamnya, semuanya ditunjukkan supaya seluruh dunia tau kalo peformer itu keren. Ketiga tontonan anti mainstream.
Ini biasanya dilakukan sama orang-orang yang antimainstream. Mereka ini suka mempertontonkan kalo dirinya berbeda dari yang lain, baik itu hobi, opini, selera musik, dan lainnya. Keempat adalah tontonan kepedulian. Peformer tipe ini suka membagikan kepeduliannya dengan orang lain seperti memberikan ucapan selamat ulang tahun, selamat wedding, atau turut berbelasungkawa.
Tontonan kelima adalah tontonan kepalsuan. Peformer yang satu ini suka mengklaim sesuatu milik orang lain, seperti opini, quotes, sampai barang-barang branded milik orang lain diakui miliknya.
Kadang suka posting foto selfie pake B16 atau 360, abis itu posting caption pantai isinya full muka semua, atau posting foto sexy tapi captionnya bijak, wkw. Intinya peformance golongan ini udah memaknai hal virtual sebagai realitas. Kalo menurut Jean Baudrillard kita ini sudah masuk dalam simulakra, antara kenyataan dan virtual tidak bisa dibedakan lagi.