Tradisi budaya dan seni yang turun temurun dan selalu lestari setiap tahunnya adalah Tradisi Nyadran. Arti kata Nyadran diambil dari bahasa Sanskerta yaitu "sraddha" yang berarti keyakinan, maka masyarakat meyakini jika ritual Nyadran dapat memberi dampak yang positif bagi yang melakukannya. Tradisi Nyadran inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya gelaran Grebeg Mangkuyudo yang diadakan di Desa Ketitang, Kecamatan Jumo, Kabupaten Temanggung. Gelaran Grebeg Mangkuyudo ini menguak asal -- usul Desa Ketitang.
Ketitang berasal dari kata "kethit-an" yang mana orang jawa menyebutnya ketitang. Kethit-an berasal dari bahasa jawa yang artinya kesepakatan/perjanjian. Lebih tepatnya, dahulu Desa Ketitang menjadi tempat orang -- orang Kedu menyepakati untuk mencari tempat bersembunyi. Maka asal mula nama Desa Ketitang yaitu dari kejadian tersebut. Sejarah Desa Ketitang tentu tidak lepas dari keberadaan sosok Kyai Tumenggung Mangkuyudo yang dimakamkan di Astana Kuncen Dusun Ketitang. Astana Kuncen Ketitang adalah salah satu pemakaman bersejarah yang ada di Desa Ketitang.
Grebeg Mangkuyudo menjadi ritual tahunan yang digelar untuk menghormati mendiang Kyai Tumenggung Mangkuyudo, salah satu tokoh penting di wilayah Kedu di era Kerajaan Mataram Islam pada zaman pemerintahan Amangkurat 2. Selain itu, Grebeg Mangkyudo dilaksanakan sebagai rasa syukur warga desa atas hasil panen dan hasil bumi melimpah. Misi dari Grebeg Mangkuyudo adalah mengeksplor potensi yang dimiliki oleh Desa Ketitang seperti UMKM, kesenian dan budaya.
Grebeg Mangkuyudo diadakan setahun sekali lebih tepatnya pada hari Jum'at Kliwon bulan Sapar berdasarkan penanggalan Jawa. Setiap tahunnya Grebeg Mangkuyudo ini selalu ramai, dikarenakan tidak hanya diikuti oleh masyarakat lokal saja tetapi juga dari luar daerah mulai dari Yogyakarta, Magelang, Purworejo, hingga Semarang. Tak ketinggalan warga Desa Ketitang itu sendiri selalu kompak dan semangat dalam menyambut Grebeg Mangkuyudo. Â Â Â
Rangkaian gelaran Grebeg Mangkuyudo dimulai dari bersih desa, pengajian, pentas seni, ngopi bersama di bumi Mangkuyudo, ekspo kuliner, dan yang menjadi puncaknya yaitu Kirab Budaya atau biasa disebut dengan Kirab Agung Mangkuyudo. Kirab Agung Mangkuyudo ini diikuti oleh seluruh elemen masyarakat Desa Ketitang dengan membawa gunungan hasil bumi. Barisan terdepan dari Kirab Agung Mangkuyudo adalah Bergodo Mangkuyudo yang menggambarkan pasukan Tumenggung Mangkuyudo yang siap berlaga di medan perang.Â
Dibelakangnya diikuti abdi dalem dari Surakarta dan warga Desa Ketitang dengan berbagai atribut atau pakaian yang dikenakan. Pakaian tersebut menggambarkan suasana pada jaman dahulu. Setiap prajurit membawa senjata sepeti pedang, tombak, keris yang lazim digunakan sebagai alat pertahanan diri pada masa itu. Dengan langkah tegap prajurit Bergodo Mangkuyudo berjalan gagah berani seolah menyongsong musuh yang akan menyerang. Dentuman tambur megiringi langkah prajurit yang membuat suasana Kirab Mangkuyudo semakin semarak.
Kirab Mangkuyudo diawali dengan warga berjalan beriringan dari depan masjid Mangkuyudo dengan membawa sebuah gunungan hasil bumi yang berbentuk mengerucut ke atas sebagai simbol rasa syukur kepada yang di atas. Gunungan hasill bumi tersebut yang kemudian diarak berkeliling desa sebelum sampai ke komplek punden. Di komplek punden gunungan hasil bumi tersebut diperebutkan warga Ketitang. Konon, jika mendapatkan salah satu hasil bumi di gunungan tersebut maka akan mendapatkan keberuntungan.
Sebagai generasi muda kita harus ikut berperan aktif melestarikan kearifan lokal yang sampai sekarang masih di laksanakan oleh masyarakat. Sehingga warisan dari pendahulu kita tidak akan musnah atau hilang ditelan gelombang kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H