1. pengertian sosiologi hukumÂ
Sosiologi hukum pada hakekatnya lahir dari hasil-hasil pemikiran para ahli, baik di bidang filsafat hukum, ilmu maupun sosiologi. Sosiologi hukum saat ini sedang berkembang pesat. Ilmu ini diarahkan untuk menjelaskan hukum positif yang berlaku, artinya isi dan bentuknya berubah-ubah menurut waktu dan tempat, dengan bantuan faktor kemasyarakatatan. Menurut C.J.M Schuyt, salah satu tugas Sosiologi Hukum adalah mengungkapkan sebab atau latar belakang timbulnya ketimpangan antara tata tertib masyarakat yang dicita-citakan dengan keadaan masyarakat yang ada di dalam kenyataann.enurut Ronni Hanitijo Soemitro, ilmu hukum dapat dibagi ke dalam 2 (dua) cabang spesialisasi, yaitu Studi tentang Law in Books dan Studi tentang law in Actions. Law in books disebutkan bagi studi/kajian tentang hukum sebagaimana tercantum di dalam kitab Undang-Undang atau sebagaimana di dalam peraturan Perundang-undangan. Dengan kata lain, law in book merupakan studi tentang hukum sebagai norma atau kaedah. Hukum sebagai norma atau kaedah bersifat otonom, artinya bahwa hukum tersebut berdiri sendiri dan bebas dari segala pengaruh. Sedangkan Law in Actions merupakan studi/kajian tentang hukum sebagai gejala/proses sosial. Hukum sebagai gejala/proses sosial Memiliki sifat heteronom, artinya hukum tersebut memiliki pengaruh dan hubungan timbal balik dengan gejala sosial lainnya seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, agama dan lain-lain. Hukum sebagai gejala sosial yang bersifat empiris, dapat dipelajari sebagai independent variable maupun sebagai dependent variable. Hukum yang dipelajari sebagai dependent variable merupakan resultante (hasil) dari berbagai kekuatan dalam proses sosial dan studi tersebut dikenal sebagai Sosiologi Hukum. Di lain pihak, hukum dipelajari sebagai independent variable menimbulkan pengaruh dampak kepada berbagai aspek kehidupan sosial dan studi yang demikian dikenal sebagai Studi Hukum Masyarakat.Â
2. Hukum dan kenyataan masyarkatÂ
Dalam setiap elemen masyarakat, terdapat hukum yang tentunya berlaku bagi semua lapisan. Penegakan hukum menjadi hal yang di utamakan dalam memperkuat fundamen yang menunjang kesejahteraan hidup masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Menurut Soerjono Soekanto, Inti dari proses penegakan hukum yang baik adalah penerapan yang serasi dari nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang kemudian terwujud dalam perilaku. Pola perilaku tersebut tidak terbatas pada warga masyarakat saja, akan tetapi mencakup juga golongan "pattern setting group" yang dapat diartikan sebagai golongan penegak hukum dalam arti sempit. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit). Gustav Radbruch mengatakan bahwa etiga unsur tersebut ialah sebagai penopang cita hukum (idee des Rechts). Cita hukum ini akan membimbing manusia dalam kehidupannya berhukum. Ketiga nilai dasar tersebut harus ada secara seimbang. Namun seringkali ketiga nilai dasar tersebut tidak selalu berada dalam hubungan yang harmonis satu sama lain, melainkan berhadapan, bertentangan, ketegangan (spannungsverhaltnis) satu sama lain. Dalam hal terjadi pertentangan demikian, yang mestinya diutamakan adalah keadilan. Hal ini karena pada hakikatnya hukum itu adalah untuk kepentingan manusia, bukan manusia untuk hukum Beberapa problematik hukum seringkali ditemukan di Indonesia, yang mana efektivitas penerapannya terkadang cenderung tidak sesuai dengan sistem meritokrasi. Seperti halnya bahwa hukum tersebut tajam kebawah, tumpul keatas, artinya bahwa hukum bisa dibeli oleh masyarakat yang ekonominya menengah keatas, sehingga masyarakat dengan kelas ekonomi kebawah, justru terkadang mendapatkan tindakan dari hukum itu sendiri. Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan apa itu hukum sendiri, terutama Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi. Karena hukum pada dasarnya adalah dibuat untuk menciptakan ketertiban dan kedamaian di dalam masyarakat. Maka dari itu sistem dari sebuah hukum harus berjalan layaknya sebuah rangkaian organ masyarakat, yang mana keterkaitan dengan keadilan, serta kesatuan yang kuat untuk melengkapi dan mempunyai kesadaran yang tinggi dalam hukum yang berlaku (Biroli, 2020). Salah satunya ialah penerapan pluralisme, dengan konsep triangular, yaitu komponen dari elemen masyarakat, negara, dan norma etika ataupun agama. Yang mana ketiga komponen tersebut dapat dikembangkan menjadi sembilan komponen, yaitu : 1. Hukum negara yang nyata, yang muncul secara langsung sebagai hukum, dan sebelumnya tidak dikenal dalam nilai-nilai etika, moral dan agama, serta norma norma sosial. 2. Hukum produk negara yang hanya melegitimasi norma-norma sosial yang sudah ada sebelumnya. 3. Hukum produk negara yang memperoleh pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan norma etika, moral, dan agama, atau norma sosial dan budaya tertentu.Â
3. Yuridis empiris dan Yurudis normatif
Sosiologi hukum pada dasarnya adalah menyelidiki fenomena hukum dengan menggunakan metode dan teori yang ditawarkan oleh ilmu sosial. Dalam penggunaan ilmu sosial, ada dua komponen utama yang harus diperhatikan. Yang pertama adalah pengakuan bahwa setiap perspektif dan pengamatan melibatkan upaya serius untuk mencapai perspektif yang lengkap melalui pengumpulan, analisis, dan interpretasi masalah empiris. Yang kedua adalah pengakuan bahwa setiap perspektif dan pengamatan memiliki kebutuhan yang sepihak dan tidak lengkap.1 Dalam konteks ini, hukum dimaknai sebagai gejala sosial yang tumbuh kembang dalam masyarakat. Di Indonesia, sering kali terjadi kesenjangan antara hukum yang tertulis dan praktiknya di lapangan. Misalnya, meskipun undang-undang tentang hak-hak buruh atau pekerja telah diatur dengan jelas, akan tetapi dalam praktiknya sering kali ditemukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak pekerja, seperti upah yang tidak sesuai atau kondisi kerja yang tidak aman. Dari adanya kesenjangan-kesenjangan tersebut muncul suatu pengembangan ilmu pengetahuan hukum.
4. MADZAB PEMIKIRAN HUKUM POSITISVISMÂ
Positivisme hukum juga mendapat dorongan dari perkembangan metode ilmiah yang berkembang pada masa tersebut. Pendekatan ilmiah, yang menekankan pada pengamatan, verifikasi, dan objektivitas, sangat memengaruhi cara para pemikir hukum melihat hukum. Mereka berpendapat bahwa hukum harus dipandang sebagai fenomena yang dapat diamati dan diukur, dan bukan sebagai sesuatu yang abstrak atau metafisik seperti yang diyakini oleh para penganut hukum alam. Selain itu, setelah Revolusi Industri, kebutuhan akan stabilitas dan prediktabilitas dalam hukum semakin meningkat. Positivisme hukum dianggap mampu memenuhi kebutuhan tersebut dengan menawarkan kerangka hukum yang pasti dan jelas, di mana setiap orang dapat mengetahui dengan pasti apa yang diharapkan dari mereka oleh hukum. Hukum tidak lagi dipandang sebagai alat untuk mencapai keadilan moral, melainkan sebagai instrumen untuk mengatur perilaku manusia dalam masyarakat yang kompleks. Dengan demikian, positivisme hukum adalah reaksi terhadap filsafat hukum alam yang menekankan pentingnya hukum sebagai peraturan yang bersifat formal dan terlepas dari nilai-nilai moral. Aliran ini berkembang dalam konteks perubahan sosial dan politik yang signifikan pada era modern, di mana hukum dipandang sebagai instrumen untuk menciptakan ketertiban dan kepastian dalam masyarakat. Positivisme hukum tetap menjadi salah satu aliran filsafat hukum yang paling dominan hingga saat ini, terutama dalam sistem hukum civil law yang banyak diterapkan di negaranegara Eropa dan sebagian Asia, termasuk Indonesia.Â
5. MAZHAB PEMIKIRAN HUKUM (SOSIOLOGICAL JURISPRUDENCE)Â
Aliran Sociological Jurisprendence mengalami perkembangan baik di Eropa maupun di Amerika Seerikat. Di Eropa, Ehrlich menjadi pelopornya sedangkan di Amerika Serikat Bapak Sosiologi Hukum, Roscoe Pound, menjadi yang paling terkemuka. Secara umum, Pound mengajarkan bahwa hukum hendaknya dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi memenuhi suatu kebutuhan sosial. Pandangan Pound tersebut dapat kita temukan dala karya Curzon yang menuliskan bahwa Pound memandang hukum sebagai "a social institution created to satisfiy human, sosial wants by giving effect to as we may with the least sacrafice, so fae as such as wants may be satisfied or such claims given effect by an oredering of human conduct through politically organized society." Selanjutnya, bagi Pound ilmu hukum bertujuan untuk mengembangkan suatu kerangka pemenuhan kebutuhan-kebutuhab sosial tersebut secara efektif. Pokok-pokok pemikiran Pound yang terkait dengan Sociological Jurisprendence dapat kita cari dalam karyanya yang berjudul Scope and Purpose of Sociological Jurisprendence. Melalui karyanya tersebut dia mengemukakan secara panjang lebar bahwa para ahli hukum yang menganut pandangan sosiologis perlu lebih memperhitungkan fakta-fakta sosial dan pekerjaannya. Termasuk dalam pekerjaan hukumnya tersebut adalah pembuatan hukum, penafsiran hukum serta pada penerapan hukum. Para yuris oleh Pound disarankan lebih memperhitungkan secara seksama mengenai fakta-faktta sosial yag diserap dalam pembuatan dan penafsiran hukum dan selanjutnya yang akan diterapkan dalam masyarakat.Â
6. MADZAB PEMIKIRAN HUKUM (LIVING LAW DAN UTILITARINISME)Â