Mohon tunggu...
Galuh Ayu
Galuh Ayu Mohon Tunggu... lainnya -

seorang gadis biasa yang lebih suka dianggap biasa-biasa yang punya mimpi yang tidak biasa yang selalu berpikiran yang tidak biasa dan selalu mendengar orang berkata luar biasa namun selalu mengingat bahwa hanya DIA lah yg LUAR BIASA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Memanggilmu, Aku

13 November 2012   15:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:27 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tersenyum.

Diam.

“Kenapa wajahmu murung?”

Dia hanya menggeleng “Tidak apa apa.”

“Sungguh? Kau bisa menceritakannya padaku. Aku bisa menjaga rahasia.” Ia mendekatkan wajahnya. Ingin meyakinkan.

Sekali lagi hanya gelengan yang ia dapatkan. Bedanya senyuman yang dipaksakan ada disana.

”Sayang kan, cuaca cerah seperti ini kau habiskan dengan bermurung saja.” Ia menoleh ke arah jendela di samping kanan yang bersebelahan dengan meja rias.

Mereka memandang keluar jendela. Menatapnya. Seolah menikmati dan mencoba menikmati keindahannya.

Helaan nafas keduanya terdengar bersamaan. Sampai kedua mata mereka kembali beradu pandang.

Tersenyum.

Diam.

”Apa kau tidak merasa lelah?”

”Apa?”

”Tidakkah kau pernah merasa lelah?”

”Maksudmu apa?”

”Senyum. Kau selalu tersenyum sepanjang waktu. Tidakkah kau merasa lelah seperti itu?”

”Buat apa aku merasa lelah? Aku tersenyum karena aku ingin tersenyum. Aku tidak mau melewatkan waktu dengan bersedih hati. Bagiku waktu adalah sesuatu yang paling berharga. Jangan sia-siakan waktu hanya untuk bersedih, murung, atau marah.”

Mendengar penuturan itu, ia tertunduk diam.

”Kau berpura-pura kan?”

”Apa?”

”Kau hanya berpura-pura. Senyum itu, kau gunakan untuk menyingkirkan aku. Aku, yang dulu selalu kau cari. Ketika luka itu masih segar karena kecewa, sakit hati, pengkhianatan, perasaan bersalah, takut. Tidakkah kau ingat luka itu?”

Ia menunjuk pada sebuah bekas luka yang mengering di dada kirinya.

Diam.

Tersenyum.

”Kenapa sekarang kau diam?”

Mencoba menatap kembali, dengan perasaan yang seperti diterjang badai. Perlahan tetapi pasti, tarikan nafasnya yang menderu kembali normal. Ia terus mencoba bertahan, bertahan merasakan kembali ingatannya pada semua rasa sakit yang telah ia lalui.

”Aku...masih ingat semua itu.”

”Lalu?”

”Aku...”

”Kau bilang masih megingat semuanya. Tetapi kau selalu melupakan aku. Dengan senyum yang setiap hari kau pamerkan padaku. Kau tidak pernah menganggapku ada. Kau selalu larut dalam kesenangan, kebahagiaan semu. Semua itu palsu kan? Jawab aku!!”

Ada kemarahan dalam nada bicaranya.

Dengan tenang, ia menjawab.

”Bukan. Bukan seperti itu.”

”Hemm...kau masih mau menyangkal?”

”Aku tidak menyangkal. Aku tidak pernah sekalipun melupakanmu. Aku masih dengan jelas mengingat semua. Aku tidak bermaksud menyingkirkanmu. Setiap hari, aku tersenyum, bukan karena kepalsuan. Melainkan karena hatiku ingin tersenyum.”

Tanpa sadar, ia menjelaskan dengan terisak.

”Hati kamu bilang?? Hati yang tak berbentuk seperti ini? Yang penuh dengan luka, sayatan dan robek di beberapa bagian ini, kau bilang ingin tersenyum. Bulshit!”

”Ya. Hati yang tersayat-sayat ini, hati yang robek di beberapa bagiannya ini, hati yang kau bilang tak berbentuk inilah aku mampu untuk tersenyum.”

Hening.

Semua diam. Kemudian ia melanjutkan...

”Jangan kau mngira bahwa aku telah melupakanmu hanya karena aku menunjukkan senyuman setiap hari. Aku tahu kau ada. Aku pun masih mengingat semua rasa sakit itu. Tetapi aku harus terus menjalani hidup. Aku harus memilih. Memilih untuk menjadi kuat melaluimu. Denganmu, aku belajar untuk bangkit. Denganmu aku belajar untuk bertahan. Denganmu aku belajar setia pada kebaikan. Bersamamu aku belajar untuk berani menghadapi kenyataan.”

Diam.

”Aku tahu, kau kesepian. Dan aku tak bisa menemanimu setiap waktu seperti dulu. Tapi kau jangan merasa bahwa aku telah meninggalkanmu sendirian. Dalam tiap hariku, aku selalu membawamu dalam senyumku.”

”Bagaimana bisa??”

”Karena kau adalah aku. Dan aku adalah dirimu.”

Keduanya bertatapan, seolah saling mencari keyakinan akan kata-kata yang baru saja didengarnya. Hening.

Praaakkk!!

Tersentak. Kaget. Jantungnya berdetak seribu kali lebih cepat dari biasanya. Ia bangkit. Duduk kembali. Bangkit. Duduk. Bingung. Ia seoalah bertanya-tanya pada diri sendiri. Apa yang terjadi? Gelas minum yang berada didekatnya jatuh ke lantai. Sampai pada tatapan mata yang tak asing baginya, masih ada disana Ia meletakkan telapak tangannya di cermin meja rias ini. Ia memastikan sekali lagi.

Tersenyum.

Sama. Bayangan dihadapannya pun tersenyum. Ia mulai menyadari bahwa baru saja dia bermimpi ..mimpi yang aneh.. Di tatapnya dalam dalam bayangan dirinya. Pelan, lirih ia berucap. ”Aku tidak akan melupakanmu, hei AKU.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun