Pendidikan mengubah kemiskinan, bukanlah sebuah kebohongan. Ratusan mahasiswa membuktikan jika mahasiswa yang tak mampu secara ekonomi, bisa mengubah nasib keluarganya. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbud Ristek Tjitjik Sri Tjahjandarie menyatakan hal demikian.
Kritik terhadap pendidikan tinggi sebagai pendidikan tinggi telah menimbulkan kontroversi di Indonesia. Beberapa pihak menilai pernyataan tersebut tidak simpatik dan bisa memperkuat persepsi bahwa pendidikan tinggi hanya diperuntukkan bagi kalangan elit. Misalnya, Ketua Komisi menekankan bahwa pendidikan tinggi harus dipandang sebagai hak dasar yang dapat diakses oleh setiap individu yang memenuhi syarat, bukan sebagai pilihan elit.
Pernyataan Tjitjik, Sekretaris Ditjen Pendidikan Tinggi, bahwa perguruan tinggi adalah perguruan tinggi juga dikritik karena dapat menimbulkan polemik. Dikatakannya, pendidikan tinggi tidak bersifat wajib dan tidak semua lulusan SMA/SMK harus masuk perguruan tinggi. Kritik lain datang dari pihak yang menganggap pendidikan tinggi merupakan hak asasi manusia yang harus dijamin oleh pemerintah, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31 UUD 1945 dan Pasal 34 UU Sistem Pendidikan Nasional.
Isu Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang melonjak di beberapa Universitas Negeri membuat mahasiswa melakukan aksi demontrasi. Hal ini membuat tanda tanya besar mengapa Universitas Negeri yang masih mendapatkan biaya dari negara memiliki jumlah UKT yang sangat tinggi dan mencekik mahasiswa.
Indonesia emas 2045 sudah berada di depan mata, namun jika pendidikan tidak didongkrak dengan tidak memberikan pendidikan tinggi bagi anak-anak tidak mampu. Bahkan pendidikan pun tidak merata di tanah air, hanya anak-anak yang berada di pulau Jawa yang mudah untuk mendapatkan akses pendidikan, sedangkan di luar pulau Jawa masih sangat tertinggal.
Pendidikan seringkali merupakan kebutuhan tersier, suatu kebutuhan yang dianggap kurang mendesak dibandingkan  kebutuhan primer atau sekunder seperti pangan, sandang, dan papan. Namun pandangan ini sangat problematis, terutama jika dikaitkan dengan data UNESCO dari laporan Global Education Monitoring (GEM) tahun 2016 yang menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara berkembang untuk kualitas pendidikannya dan peringkat 14 untuk kualitas gurunya. Negara ini menduduki peringkat terakhir di antara negara-negara berkembang yaitu mengklasifikasikan pendidikan sebagai kebutuhan tersier berarti menurunkan prioritasnya dalam kebijakan nasional dan alokasi sumber daya.
 Hal ini berdampak negatif terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan dan pelatihan guru. Padahal, pendidikan merupakan landasan terpenting bagi pembangunan sosial dan ekonomi. Tanpa pendidikan yang berkualitas, sulit bagi suatu negara untuk berkembang dan bersaing di tingkat global.
 Menurut data UNESCO, Indonesia masih tertinggal dalam hal  pendidikan dan kualitas guru. Jika pendidikan masih dianggap sebagai kebutuhan tersier, maka sumber daya anggaran di bidang ini akan tetap terbatas. Akibatnya, lembaga pendidikan, kurikulum, dan program pelatihan guru tidak mendapat perhatian yang diperlukan. Hal ini memperburuk permasalahan yang ada seperti, ketidakmampuan guru menghalangi siswa di seluruh negeri untuk menerima pendidikan berkualitas tinggi. Oleh karena itu, kritik utama terhadap pandangan bahwa pendidikan adalah kebutuhan tersier adalah bahwa pandangan ini perlu diubah secara mendasar.
 Pendidikan harus dipandang sebagai kebutuhan  mendasar untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan daya saing negara. Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama. Hal ini mencakup peningkatan investasi pada infrastruktur pendidikan, reformasi kurikulum, dan program pelatihan guru yang komprehensif.
Pendidikan tinggi di Indonesia harus dipandang sebagai hak dasar yang dapat diakses oleh semua individu, tidak hanya kelompok elit saja. Melalui upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat, pendidikan harus dijadikan prioritas utama. Hal ini mencakup peningkatan investasi pada infrastruktur pendidikan, reformasi kurikulum, dan program pelatihan guru yang komprehensif. Dengan mengubah pandangan bahwa pendidikan merupakan kebutuhan tersier, Indonesia dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, menghasilkan tenaga pengajar yang kompeten, dan mengarahkan negara menuju masa depan yang lebih baik. Hanya dengan memberikan akses pendidikan yang setara dan berkualitas, kita dapat melahirkan generasi penerus yang siap bersaing di tingkat global dan mewujudkan cita-cita emas Indonesia pada tahun 2045. Â Dengan menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama, Indonesia akan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, menghasilkan tenaga pengajar dan staf yang kompeten, dan pada akhirnya membawa negara menuju masa depan yang lebih baik serta melahirkan generasi penerus yang berdaya saing tinggi di kancah dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H