[caption id="attachment_301148" align="aligncenter" width="640" caption="Kami teh urang Baduy bukan Orang Kanekes (Gambar koleksi pribadi)"][/caption]
Meskipun bukan merupakan kunjungan pertama, malam itu saya bermalam terpisah dengan rombongan pria lainya. Kulihat peserta lain yang memang baru pertama kali berkunjung tertidur pulas sedangkan aku belum dapat memejamkan mata meskipun kantong tidur yang aku bawa sudah menyelimuti tubuhku.
Udara kampung Cibeo yang terletak di Desa Kanekes pada malam hari memang cukup dingin dan sangat menusuk tulang. Udara dingin dan hembusan angin tidak saja dirasakan dari atap yang ditutupi daun rumbia tetapi juga dari lantai bawah yang merupakan rumah panggung. Pintu rumah yang terbuat dari anyaman bambu yang vertikal dan kunci pintu rumah yang sangat sederhana sekali hanya memalangkan dua kayu yang didorong atau ditarik dari luar bangunan beberapa menit sekali kerap terbuka seiring datangnya tamu dikeheningan malam .
Kreot kreot begitulah bunyi pijakan kaki yang terdengar ditelingaku ketika menyentuh lantai. Aku yang memang sedang bermukim di rumah salah satu anak lelaki Jaro (wakil Puun) kampung Cibeo yaitu Bang Juli dan tidak dapat memejamkan mata sama sekali langsung bergabung dengan para tamu yang sedang berkunjung di rumah Bang Juli dan dikesempatan inilah waktu ku untuk bertanya banyak perihal kearifan budaya lokal dari warga kampung Cibeo yang merupakan satu dari tiga perkampungan di Baduy Dalam.
[caption id="attachment_301209" align="aligncenter" width="576" caption="suasana seperti inilah apabila berkumpul dan bersenda gurau dengan mereka (foto koleksi pribadi)"]
Dari penuturan Bang Sanip yang merupakan poter setiaku disetiap kunjungan ke kampung Cibeo ternyata masih memiliki hubungan kerabat dengan Bang Juli (istri mereka adalah kakak beradik) diperoleh banyak informasi dari obrolan santai antara aku dengan mereka yang dirangkai menjadi satu kesatuan cerita dialinea selanjutnya.
Pada dasarnya orang baduy dalam sendiri lebih suka disebut dengan panggilan orang baduy daripada orang Kanekes, mengingat Kanekes merupakan nama desa yang terdiri dari beberapa perkampungan Baduy Dalam dan Baduy Luar dan faktor utama adalah mereka merasa terhormat dan lebih sopan didengar.
[caption id="attachment_301159" align="aligncenter" width="300" caption="Bang Juli salah satu anak dari jaro kampung Cibeo dimana saya dan teman wanita lainnya diizinkan bermalam di rumahnya (foto koleksi Mba Rea)"]
Dalam tatanan hidup perjodohan masih memerlukan peranan orangtua untuk mempersatukan dua anak manusia yang sudah cukup dewasa, tetapi tidak menutup kemungkinan apabila pria memiliki pilihan lain, tetap dipersilakan dengan pilihannya seperti bang Juli sendiri dalam memilih istrinya bukanlah pilihan dari orangtuanya dan mereka sampai kini hidup bahagia dengan bocah perempuan mungil yang cantik mirip dengan ibunya. Dan bagi wanita yang “tidak ada jodohnya “ mengutip kalimat mereka dikarenakan karena tidak ada satupun pria yang memilihnya sehingga sampai berusia lanjutpun mereka masih sendiri.
[caption id="attachment_301163" align="aligncenter" width="604" caption="Perawan Baduy yang pemalu (foto koleksi pribadi)"]
[caption id="attachment_301187" align="aligncenter" width="620" caption="Menentun kain salah satu kegiatan wanita baduy dikala senggang (foto koleksi pribadi)"]
Pesta pernikahan biasanya digelar dengan cukup meriah bukan hanya satu pasang pengantin saja tetapi dua ataupun tiga pasang dengan ijab kabul sesuai dengan tata cara pernikahan suku Baduy Dalam, sehingga generasi yang muncul dari hasil pernikahan mereka hampir bersamaan waktunya. Pasangan keluarga baru ini harus segera membuka ladang baru untuk kelangsungan hidup mereka. Mereka bahu membahu bekerja sama membangun ladang baru yang harus mereka capai cukup jauh dari pemukiman mereka dan biasanya mereka membangun saung untuk tempat beristirahat ataupun bermukim jika tidak kembali kerumah tentunya dengan membawa perbekalan yang cukup seperti pisang ataupun ubi kayu .
[caption id="attachment_301200" align="aligncenter" width="576" caption="Warung sederhana teteh di Cianangerang yang merupakan start point menuju Cibeo (foto koleksi pribadi)"]
Ada beberapa tanaman yang pantang di tanam di perkampungan baduy dalam seperti bawang-bawangan (daun bawang, bawang merah dan bawang putih) . Oleh sebab itu ketika aku dan rombongan akan memasuki Baduy dalam dengan mengambil rute jarak yang pendek hanya 2 jam perjalanan kaki saja yaitu dari Cinangerang yang memang belum semua orang mengetahuinya maka akan di dapati beberapa huma, tanaman rimpang, kluwek, Cengkeh, pisang, jagung dan ubi kayu. Start point aku di warung wilayah Cinangerang ternyata menampung hasil palawija suku baduy dalam yaitu jahe yang menggunung disalah satu gudang warung tersebut yang konon menunggu pemborong yang akan datang. Satu kilo jahe segar dihargai Rp. 5.000,- saja. (Ilmu dagang dan hitung menghitung dipelajari suku baduy dalam dari perekonomian dan harga pasar setempat)
Hari semakin malam dan waktu menunjukan pukul 21.00 wib, dua orang temanku yaitu Mba Wening dari Jogja dan Mba Rea dari Mamuju rupaya terbangun, untuk menghidupkan suasana saya mengajak mereka bergabung bertanya apa saja yang ingin mereka ketahui tentang suku baduy dalam selama mereka menginap disana. Memang ada ketentuan yang tidak tertulis dalam menginap di perkampungan suku Baduy. Siempunya rumah hanya mengijinkan menginap semalam dan jika masih ingin berlanjut untuk tinggal di perkampungan baduy maka harus berpindah pindah tempat setiap harinya dan itulah ketentuan adat disana yang harus kita patuhi sebagai pendatang.
[caption id="attachment_301147" align="aligncenter" width="640" caption="Gelas gelas Baduy yang dibuat oleh Bang Juli ketika menginap di rumah tante Dona (gambar diambil dari kamera tante Dona)"]
Mba Rea mengeluh sakit kepala ditengah perbincangan seketika itu juga Bang Sanip menawarkan diri untuk membelikan obat puyer yang ada diwarung sebelah. Baru kutahu ternyata Mba Rea tidak dapat menelan obat sama sekali, akhirnya setelah diberi berbagai saran akhirnya kita semua berhasil membujuknya untuk menelan obat puyer yang dicampur dengan sedikit air yang dituangkan kedalam gelas ciri khas baduy yang terbuat dari potongan bambu.
Dan kejadian yang menimpa Mba Rea ini memberiku pertanyaan bagaimana jika ada salah satu keluarga yang sakit, apakah mereka ke dokter mengingat di dalam perjalan ke Baduy dalam akan kita dapati sebuah puskesmas yang sudah tidak dihuni lagi dan dibiarkan kosong mengingat penduduk baduy setempat lebih menyukai berobat ke dukun daripada ke dokter meskipun hanya untuk melahirkan sekalipun. Dukun memang lebih dipercaya oleh mereka. Mungkin sedikit informasi tentunya kita tidak akan pernah lupa ketika ada berita yang menceritakan seorang warga baduy yang terluka akibat terjatuh dari ketingian tujuh sampai delapan meter saat akan mengambil daun sirih yang merambat dipohon dan berita tentang jatuhnya salah satu warga baduy inbi yang bernama Sangsang ini disampaikan oleh salah satu rekan Lody Koruo kepada kepala Badan SAR Nasional yang juga pernah menjadi komandan marinir tetapi mengalami jalan buntu akibat terbentur Hukum Adat.
[caption id="attachment_301156" align="aligncenter" width="575" caption="Jaku, Samili dan Kucing tiga bocah kampung Cibeo (foto koleksi pribadi)"]
[caption id="attachment_301158" align="aligncenter" width="300" caption="jaku sedang mengamati camilan kecil yang dipajang di warung teteh di Cinangerang (foto koleksi Mba Wening)"]
Para orangtua Baduy seringkali mengeluh karena banyaknya pedagang yang merupakan pendatang luar kerapkali menjajakan souvenir seperti kalung, gelang, gantungan kunci, kaos, selendang ataupun baju tidak lupa pula menjajakan makanan kecil sehingga anak anak baduy yang masih polos ingin mencicipinya dan hal inilah yang memberatkan mereka karena kerap meminta uang jajan. Adakalanya jika kita tidak waspada, para pedagang ini sering masuk ke rumah warga baduy dalam yang sedang dikunjungi oleh pelancong dan mengambil makanan ataupun sekedar membuat kopi untuk dirinya sendiri.
[caption id="attachment_301151" align="aligncenter" width="570" caption="Berjalan berbaris satu persatu (gambar diambil dari kamera Mba Rea)"]
Sekali lagi hukum adat, tanpa mengurangi hukum adat setempat masih banyak hukum adat lainnya yang masih bisa kita ambil sisi baiknya. Dalam perjalanan menuju Baduy Dalam yang memang cukup berat medannya. Seringkali kita mengambil waktu sejenak untuk menormalkan kembali debaran jantung yang berpacu sangat kencang sebelumnya dan melepaskan dahaga. Ibu Nurul salah satu peserta kami yang masih merupakan anggota marinir aktif menawarkan botol mineral berukuran satu liter yang masih bersegel kepada poter paling cilik, akan tetapi mereka enggan menerima botol tersebut dan setelah Bang Sanip berkata barulah kita mengerti aturannya setempat yang lebih tua terdahulu baru kemudian yang termuda. Demikian pula pada saat berjalan, orang baduy tidak pernah berjalan berkelompok sehingga memenuhi jalan. Biasanya mereka berjalan berbaris satu persatu hal ini mereka lakukan untuk memberikan jalan bagi pengguna jalan lainnya dari arah yang berlawanan .
Bang Sanip menawarkan minuman untuk mengusir hawa dingin tetapi saya menolaknya mengingat jika dimalam hari ingin ke buang air kecil harus ke sungai yang letaknya hanya lima menit berjalan kaki dan harus menggunakan penerangan yang dibawa sendiri serta lebih aman berkelompok jika akan menuju sungai.
[caption id="attachment_301192" align="aligncenter" width="604" caption="Jembatan bambu pembatas antara baduy dalam dan luar (foto koleksi pribadi)"]
[caption id="attachment_301224" align="aligncenter" width="576" caption="Sungai sebagai sarana untuk mandi, cuci dan buang kotoran (foto koleksi pribadi)"]
Kamar mandi ataupun jamban memang tidak dimiliki oleh warga warga baduy sehingga untuk mandi, mencuci baju dan peralatan dapur ataupun membuang kotoran hanya dilakukan di pancuran ataupun di sungai dan kebiasaan mendatangi pancuran ataupun sungai secara alami akan mendekatkan warga baduy dalam pada Sungai, alasannya sangat sederhana kotoran harus dibuang jauh dari rumah dan jangan sampai mengotori kampung ataupun tetangga. Sesuai dengan falsah yang dipegang teguh mereka dalam keseharian orang baduy yaitu “ Gunung ulah dibeulah, lebak ulah dirusak”, (Gunung jangan di potong lembah jangan dirusak)
[caption id="attachment_301168" align="aligncenter" width="604" caption="Seperti inilah tipical rumah orang baduy (foto koleksi pribadi)"]
[caption id="attachment_301219" align="aligncenter" width="576" caption="Sudut lain dari perkampungan baduy (foto koleksi pribadi)"]
Bangunan rumah perkampungan baduy dalam yang dibuat tinggi dan panggung disesuaikan dengan kontur tanah sehingga apabila kontur tanah tidak sama tinggi maka tumpukan batu dipakai untuk sebagai tiang penyangga bangunan sekaligus menahan tanah agar tidak longsor. Sehingga tidak heran jalan jalan setapak dengan finishing batu batu kali sering kita temui diperkampungan baduy dalam.
[caption id="attachment_301226" align="aligncenter" width="575" caption="beginilah kondisi dapur suku baduy (foto koleksi pribadi)"]
[caption id="attachment_301178" align="aligncenter" width="576" caption="Bang Ahmad Team leaderku, Ayah Mursid (humas Baduy dalam ) dan Jaro Dainah(jaro baduy luar) (foto koleksi bang Ahmad)"]
Rumah Bang Juli yang aku tempati hanya memiliki berbentuk segi empat sama sisi yang hanya memiliki satu kamar tidur utama saja yang diperuntukkan kepala keluarga yang berdapur dengan tungku dari tumpukan batu yang berguna juga untuk menghangatkan badan dimalam hari. Dan selebihnya adalah ruang makan sekaligus berfungsi sebagai ruang tamu dimana saya dan beberapa teman wanita lainnya bermalam disana. Seluruh bangunan rumah diperkampungan baduy dibuat mengahadap Utara -Selatan kecuali rumah Puun. Sayangnya untuk menemui Puun (kepala Suku) tidaklah semudah bertemu dengan warga baduy dalam lainnya , ada persyaratan yang harus dipenuhi yaitu membawa kain putih beberapa meter untuk tiap tamu yang nantinya kain tersebut akan dibagi bagikan jaro ke warganya. Tetapi dikunjugan pertama, saya beruntung bisa bertemu dengan Ayah Mursid yang merupakan dosen antropologi UI dan bagian humas kampung Cibeo yang bersahaja dan tetap menggunakan ikat kepala putih dan baju putih berserta sarung diatas lutut yang merupakan pakaian ciri khas baduy dalam dan bercakap cakap dengan beliau. Dikunjungan kedua ini saya mendengar Ayah Mursid tidak pulang beberapa hari ke kampung Cibeo karena akan menghadiri undangan salah satu partai politik.
Orang Baduy dalam bukanlah penduduk terbelakang, meskipun teknologi dan sekolah tidak sampai ke perkampungan baduy dalam, tetapi anak anak baduy pandai membaca, menulis dan berhitung. Mereka belajar secara alami dari lingkungan. Dengan mengenali huruf dan tulisan yang ada di kalender, karung beras ataupun lainnya. Ketika itu aku melihat gantungan kunci yang teryata berupa potongan kertas yang dijadikan satu pemberian dari WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) . Sembari iseng aku mengetes mereka untuk membaca salah satu kalimat dan ketika ada tulisan daur ulang mereka bertanya daur ulang itu apa dan tanda seru itu dibaca seperti apa, seperti itulah mereka belajar dan mengingat apa yang telah kita ajarkan.
Meskipun sekolah ataupun pendidik dilarang memasuki baduy dalam. Tetapi bagi warga baduy yang ingin bersekolah adat tidak mengekangnya. Mereka diizinkan bersekolah diluar baduy yang secara kharafiyah mereka keluar dari baduy dalam dan tidak kembali lagi sekalipun ikatan kekerabatan tetap terjaga karena sekolah akan membuat mereka berbenturan dengan adat.
Rejeki, Jodoh sudah dibahas dialinea atas , bagaimana untuk maut sendiri yang merupakai tiga serangkai tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Dalam perjalanan pulang dan mengambil jalan menuju Cijahe, Bang Sanip memberitahu tidak jauh dari tempat pemotongan ayam, ada sebuah pekuburan yang diperuntukan untuk baduy dalam. Dalam ajaran mereka ketika seseorang meninggal maka tubuh si mayit akan dibungkus dengan kain kafan dan segera dikebumikan dengan masa berkabung 7 hari dan selanjutnya tidak ada ziarah kubur ataupun selamatan untuk almarhum atau almarhumah.
Tanpa terasa obrolan sederhana tadi menghabiskan waktu malam kami dan Bang Juli meminta kami semua untuk melanjutkan istrirahat dengan memberikan bantal kepada kami dan mematikan lampu minyak agar kami semua bisa tertidur lelap.
[caption id="attachment_301153" align="aligncenter" width="300" caption="Bang Sanip poter setia disetiap kunjunganku ke kampung Cibeo (foto koleksi pribadi)"]
Patut diketahui untuk mengunjungi suku baduy dalam ini banyak sekali peraturan yang harus kita patuhi diantaranya adalah larangan membawa tape ataupun radio, tidak membawa gitar, senapan angin, menangkap ataupun membunuh binatang serta tidak membuang sampah sembarangan, menebang pohon, meninggalkan api, mengkonsumsi minuman yang memabukan dan tentu saja harus menjaga norma kesusilaan.
[caption id="attachment_301231" align="aligncenter" width="300" caption="Gerbang pintu masuk menuju kawasan baduy melalui Ciboleger (foto koleksi pribadi)"]
Selain daripada itu sabun ataupun shampo masih diperkenankan apabila menginap di perkampungan baduy luar tetapi untuk di baduy dalam sendiri tidak diperkenankan karena dapat mencemari lingkungan. Dan bagi wisatawan asing cukup sampai baduy luar saja mereka dapat berkunjung. Perjalanan dapat ditempuh dengan tiga jalur alternatif Ciboleger, Cijahe dan Cinangerang dengan jarak waktu tempuh yang berbeda beda di setiap pilihan jalur.
Kawalu adalah masa panen selama tiga bulan dimana pada bulan bulan kawalu yang biasanya dirayakan antara bulan Februari sampai dengan April. Akses untuk menuju ke baduy dalam ditutup untuk wisatawan, tetapi bukan tidak mungkin kita masih bisa berjumpa dengan baduy dalam apabila mereka keluar dari perkampungan mereka. Dan biasanya dibulan bulan luang warga baduy dalam selalu mengadakan kunjungan balasan terhadap wisatawan yang datang dan meninggalkan alamat ataupun nomor ponsel pribadi mereka. Dengan teknologi ponsel inilah mempercepat mereka membaca dan menulis pesan singkat sebelum mengadakan kunjungan.
[caption id="attachment_301225" align="aligncenter" width="604" caption="Sampai jumpa (foto koleksi pribadi)"]
Akh...mengunjungi suku baduy apalagi baduy dalam memang tidak ada habisnya untuk dipelajari dari kearifan budaya lokalnya hingga dialek khas baduy yang mirip dengan logat madura tetapi berbahasa sunda dengan cepat. Dan tanpa kita sadari potensi wisata di Nusantara ini sangat beragam dan belum tersentuh sehingga masih sedikit wisatawan yang belum mengetahuinya. Oleh sebab itu dengan dimasukannya kedalam agenda Indonesia Travel kita berharap potensi wisata di nusantara ini akan terangkat dan diketahui oleh banyak wisatawan tentu saja dengan mematuhi paraturan wilayah setempat yang berbeda satu sama lainnya.
Jakarta, 25 Desember 2013
Tika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H