Sekali lagi hukum adat, tanpa mengurangi hukum adat setempat masih banyak hukum adat lainnya yang masih bisa kita ambil sisi baiknya. Dalam perjalanan menuju Baduy Dalam yang memang cukup berat medannya. Seringkali kita mengambil waktu sejenak untuk menormalkan kembali debaran jantung yang berpacu sangat kencang sebelumnya dan melepaskan dahaga. Ibu Nurul salah satu peserta kami yang masih merupakan anggota marinir aktif menawarkan botol mineral berukuran satu liter yang masih bersegel kepada poter paling cilik, akan tetapi mereka enggan menerima botol tersebut dan setelah Bang Sanip berkata barulah kita mengerti aturannya setempat yang lebih tua terdahulu baru kemudian yang termuda. Demikian pula pada saat berjalan, orang baduy tidak pernah berjalan berkelompok sehingga memenuhi jalan. Biasanya mereka berjalan berbaris satu persatu hal ini mereka lakukan untuk memberikan jalan bagi pengguna jalan lainnya dari arah yang berlawanan .
Bang Sanip menawarkan minuman untuk mengusir hawa dingin tetapi saya menolaknya mengingat jika dimalam hari ingin ke buang air kecil harus ke sungai yang letaknya hanya lima menit berjalan kaki dan harus menggunakan penerangan yang dibawa sendiri serta lebih aman berkelompok jika akan menuju sungai.
[caption id="attachment_301192" align="aligncenter" width="604" caption="Jembatan bambu pembatas antara baduy dalam dan luar (foto koleksi pribadi)"]
[caption id="attachment_301224" align="aligncenter" width="576" caption="Sungai sebagai sarana untuk mandi, cuci dan buang kotoran (foto koleksi pribadi)"]
Kamar mandi ataupun jamban memang tidak dimiliki oleh warga warga baduy sehingga untuk mandi, mencuci baju dan peralatan dapur ataupun membuang kotoran hanya dilakukan di pancuran ataupun di sungai dan kebiasaan mendatangi pancuran ataupun sungai secara alami akan mendekatkan warga baduy dalam pada Sungai, alasannya sangat sederhana kotoran harus dibuang jauh dari rumah dan jangan sampai mengotori kampung ataupun tetangga. Sesuai dengan falsah yang dipegang teguh mereka dalam keseharian orang baduy yaitu “ Gunung ulah dibeulah, lebak ulah dirusak”, (Gunung jangan di potong lembah jangan dirusak)
[caption id="attachment_301168" align="aligncenter" width="604" caption="Seperti inilah tipical rumah orang baduy (foto koleksi pribadi)"]
[caption id="attachment_301219" align="aligncenter" width="576" caption="Sudut lain dari perkampungan baduy (foto koleksi pribadi)"]
Bangunan rumah perkampungan baduy dalam yang dibuat tinggi dan panggung disesuaikan dengan kontur tanah sehingga apabila kontur tanah tidak sama tinggi maka tumpukan batu dipakai untuk sebagai tiang penyangga bangunan sekaligus menahan tanah agar tidak longsor. Sehingga tidak heran jalan jalan setapak dengan finishing batu batu kali sering kita temui diperkampungan baduy dalam.
[caption id="attachment_301226" align="aligncenter" width="575" caption="beginilah kondisi dapur suku baduy (foto koleksi pribadi)"]
[caption id="attachment_301178" align="aligncenter" width="576" caption="Bang Ahmad Team leaderku, Ayah Mursid (humas Baduy dalam ) dan Jaro Dainah(jaro baduy luar) (foto koleksi bang Ahmad)"]
Rumah Bang Juli yang aku tempati hanya memiliki berbentuk segi empat sama sisi yang hanya memiliki satu kamar tidur utama saja yang diperuntukkan kepala keluarga yang berdapur dengan tungku dari tumpukan batu yang berguna juga untuk menghangatkan badan dimalam hari. Dan selebihnya adalah ruang makan sekaligus berfungsi sebagai ruang tamu dimana saya dan beberapa teman wanita lainnya bermalam disana. Seluruh bangunan rumah diperkampungan baduy dibuat mengahadap Utara -Selatan kecuali rumah Puun. Sayangnya untuk menemui Puun (kepala Suku) tidaklah semudah bertemu dengan warga baduy dalam lainnya , ada persyaratan yang harus dipenuhi yaitu membawa kain putih beberapa meter untuk tiap tamu yang nantinya kain tersebut akan dibagi bagikan jaro ke warganya. Tetapi dikunjugan pertama, saya beruntung bisa bertemu dengan Ayah Mursid yang merupakan dosen antropologi UI dan bagian humas kampung Cibeo yang bersahaja dan tetap menggunakan ikat kepala putih dan baju putih berserta sarung diatas lutut yang merupakan pakaian ciri khas baduy dalam dan bercakap cakap dengan beliau. Dikunjungan kedua ini saya mendengar Ayah Mursid tidak pulang beberapa hari ke kampung Cibeo karena akan menghadiri undangan salah satu partai politik.