[caption id="attachment_298053" align="aligncenter" width="470" caption="Urang Baduy dan Huma (gambar dipinjam dari kamera mba Wening)"][/caption]
Warung sederhana milik teteh ternyata sudah biasa di kunjungi oleh orang Cibeo yang merupakan salah satu perkampungan di suku baduy dalam. Orang baduy panggilan itulah yang mereka sebut sebagai panggilan lebih sopan ketimbang disebut dengan orang Kanekes tampaknya lebih suka duduk di bale bale warung teteh dan akan masuk ketika si empunya warung mempersilakan masuk untuk menikmati santapan siang bersama berupa mie instant dan nasi putih.
Bang Ahmad menawariku semur tahu yang masih utuh yang dibawa sebagai bekal sarapan dikereta, tetapi aku menolaknya dan mengatakan lebih baik diberikan kepada orang baduy semur tahu sering kali kita konsumsi dan bagaimana dengan orang baduy yang hanya mengkonsumsi ikan asin, buncis dan kacang panjang sebagai bahan lauk pauk mereka, mengingat peraturan adat yang hanya membatasi tanaman yang bisa ditanam di lahan baduy dalam.
[caption id="attachment_298024" align="aligncenter" width="300" caption="para poter berkemas membawa perbekalan (foto dipinjam dari kamera mas Eko)"]
Makan siang bersama sudah selesai, waktunya untuk segera melanjutkan perjalanan, perbekalan dan ransel yang diletakan di bale bale segera diserahkan kepada masing masing orang baduy, demikian pula para bocah yang ikutan menemani kami tidak sungkan untuk membantu kami, tetapi karena fisiknya tidak sekuat orang dewasa, akhirnya hanya diizinkan untuk membawa tas plastik besar yang berisi souvenir yang akan dibagi bagikan sebagai cinderamata ketika tiba di kampung Cibeo. Souvenir yang berasal dari Bu Nurul sebagai donatur memang sengaja di beli karena ingin berbagi kebahagian dengan mereka.
[caption id="attachment_298028" align="aligncenter" width="300" caption="Beriringan berjalan menuju kampung Cibeo (foto diambil dari kamera mas Eko)"]
[caption id="attachment_298018" align="aligncenter" width="300" caption="Yuk kita mulai perjalanan ini dengan hati senang (gambar dipinjam dari kameranya Bu Nurul)"]
Perjalananpun segera dimulai dan jalur yang ditempuh melalui Cijahe dan sepertinya rombongan kami terpecah dua karena rombongan belakang yang dimotori oleh Bang Ahmad dan kelompok yang berasal dari Jogja asyik mengabadikan gambar disetiap perjalanan yang dilalui sehingga tertinggal agak jauh. Sedangkan saya Ibu Nurul dan Mba Ayu melesat jauh didepan.
[caption id="attachment_298029" align="aligncenter" width="300" caption="Inilah rombongan jogja yang selalu tertinggal jauh (gambar diambil dari kamera mas Eko)"]
Deretan tanaman nanas merah itulah yang aku temui di awal perjalanan, buah nanas merah yang ranum segar sekali untuk dinikmati, Selain itu tumpukan kayu mahoni berukuran kaso menandakan di daerah perkampungan tersebut ada industri pemotongan kayu kelas menengah yang menandakan perekonomian masyarakat disana sudah mulai berkembang.
[caption id="attachment_298033" align="aligncenter" width="300" caption="Jalan bebatuan yang teratur (gambar dipinjam dari kamera mas Eko)"]
Jalan bebatuan yang masih bisa dilewati oleh motor disepanjang jalan menandakan bahwa masih berada di perkampungan penduduk lokal sampai akhirnya melewati jembatan yang berangka besi dengan kondisi finishing penutup lantai dari kayu yang sudah tidak layak dan aman lagi untuk dilalui, Hal ini terbukti mas Eko salah satu peserta dari trip ke baduy ini nyaris jatuh ke dalam sungai ketika kayu penutup lantai tidak seimbang karena menghindari motor dari arah berlawanan.
[caption id="attachment_298035" align="aligncenter" width="300" caption="Tugu memasuki baduy Luar (koleksi pribadi)"]
Terlihat tugu yang bertuliskan Selamat datang di kawasan Hakulayat Masyarakat baduy Desa Kanekes, terlihat beberapa rombongan lain yang juga akan melalukan perjalanan ke baduy, hanya saja berbeda dalam mengambil jalur
[caption id="attachment_298038" align="aligncenter" width="300" caption="Indahnya alam baduy ini (gambar dipinjam dari kamera mas Eko)"]
Perjalanan belumlah berakhir, dari kejauhan nampak pemandangan yang eksotik di baduy luar ini. Ladang jagung, huma padi dan tanaman kluwek serta rumbia menghiasi perjalanan, Ibu Nurul yang saya rekomendasikan untuk menggunakan tongkat sangat membantu sekali menuruni ataupun menaiki jalan yang tidak selalu datar tetapi semua itu tidak menurunkan semangat kami untuk terus melanjutkan perjalanan. Dari kejauhan nampak seorang bapak paruh baya bmengangkut hasil bumi berupa pisang. Pisang apa itu tanyaku kepada Bang sanip poter setiaku. Itu pisang susu namanya, karena biasanya dimakan untuk anak anak yang di bubuy (di kubur dalam abu sisa pembakaran kayu bakar yang masih panas).
[caption id="attachment_298042" align="aligncenter" width="300" caption="Jembatan bambu pintu gerbang memasuki baduy dalam (gambar dipinjam dari kamera Mba Rea)"]
Dan oops didepan sana ada sebuah jembatan sederhana yang terbuat dari bambu yang katanya sudah akan memasuki baduy dalam, Jadi sebelum mematikan barang barang yang berbau elektronik, ada baiknya berfoto sejenak, karena ketika saya tanyakan apabila ada yang tidak mematuhi larangan tersebut mereka akan merampas kamera kita untuk dibuang memory cardnya.
Bersambung....
Note
1. Tulisan ini dibuat dalam beberapa seri sebagai catatan perjalanan kedua saya ke baduy dalam sekaligus memahami kehidupan mereka sehingga bagi paca pembaca yang ingin berkunjung ke baduy dapat mematuhi peraturan adat istiadat setempat dan melestarikannya bukan untuk merusaknya.
2. Pemuatan gambar pendukung tulisan ini sudah seizin dari peserta lainnya,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H