Pagi itu saya adalah peserta paling terakhir yang datang ke Statsiun Tanah Abang, setelah dua jam sebelumnya leader kami (Bang Ahmad) mengirimkan pesan singkatnya sebagai pengingat akan return to Baduy dan saya hanya membalas pesan singkatnya, akan segera datang dan sedang menunggu tukang ojek langganan jam 07.00 wib. Ternyata pesan singkat tersebut dibaca salah oleh Bang Ahmad dan mengira saya akan tiba jam 07.00 wib di Statsiun Tanah Abang (waduh..kacau balau).
Dua puluh menit kemudian saya sampai di Statsiun Tanah Abang dan langsung segera naik ke lantai satu, terlihat Bang Ahmad sudah dikelilingi oleh rombongan yang berjunlah 7 (tujuh) orang, Tanpa buang waktu segera ikut bergabung dan memperkenalkan diri dengan peserta yang lain, tanpa disangka ternyata ada tiga peserta yang datang dari Jogjakarta dengan menggunakan kereta malam dan tiba pagi dini hari di Statsiun Senen dan salah seorang peserta dari Mamuju -Sulawesi Selatan. Sungguh kearifan budaya lokal baduy ini mengundang peserta dari luar Jakarta untuk mengetahuinya lebih dalam lain. Ruaarrr biasa.
[caption id="attachment_297770" align="aligncenter" width="300" caption="Tiket kereta keberangkatan (koleksi pribadi)"][/caption]
Segera setelah tiket kereta api didapat, akhirnya kami memasuki ruang keberangkatan dan Pak Ahmad mempersilakan bagi para peserta lainnya yang ingin membasuh diri atau sekedar membuang sesuatu untuk mendatangi toilet sebelum naik ke kereta api Ekonomi AC di gerbong 2 yang akan segera berangkat pukul 08.00 wib dengan waktu tempuh kurang lebih 2 jam perjalanan.
[caption id="attachment_297769" align="aligncenter" width="300" caption="Suasana di dalam kereta AC Ekonomi pada saat keberangkatan (Mba Rea, Ibu Nurul, Aku (berbaju merah dan Mba Ayu putri dari Ibu Nurul) foto dipinjam dari koleksi Mba Rea"]
Perjalanan dua jam begitu terasa singkat ditambah obrolan yang tadinya hanya basa basi dengan peserta lain tetapi pada akhirnya menjadi akrab sehingga menjadi sebuah keluarga baru. Bu Nurul yang ikut bersama putrinya (Mba Ayu) ternyata juga mempunyai hobi yang sama yaitu travelling dan sudah beberapa kali ikut dalam rombongannya Bang Ahmad dan di travelling kali ini saya bisa mengenal beliau lebih dekat lagi,
[caption id="attachment_297771" align="aligncenter" width="300" caption="peserta dari Jogja (Mas Eko, Mba Melly dan Mba Wening) gambar dipinjam dari kamera mas Eko"]
Awalnya memang aku enggan untuk mengikuti perjalanan ke Baduy kembali, mengingat ada sedikit ke khawatiran pada perjalanan pertama mengalami sakit yang berurutan selama tiga minggu setelah kembali ke Jakarta, hal ini dimungkinkan karena kondisi badan yang tidak fit dan menempuh medan yang cukup berat (berjalan kaki selama kurang lebih 4 jam lebih) dan kurang istirahat setelah perjalanan sebelumnya ke Borobudur. Dan ketika bang Ahmad menawarkan perjalanan ke dua. secara halus saya menolak dan mengatakan boleh ikut tetapi dengan rute yang lain. Dan alamak ternyata permintaan saya dipenuhinya. Waduh bagaimana ini ???
[caption id="attachment_297772" align="aligncenter" width="300" caption="Berfoto sejenak di Statsiun Rangkas Bitung (foto dipinjam dari kamera Bang Ahmad)"]
Jam sepuluh akhirnya kereta yang kami tumpangi tiba di statsiun Rangkas Bitung, setelah berfoto sejenak sembari menunggu peserta yang lain yang sedang ke toilet, perjalanan diteruskan dengan menyusuri pintu belakang statsiun dan menunggu mobil elf yang sudah disewa untuk menuju ke Bojong Manik, Bojong Manik kata hatiku, bukankah perjalanan ini akan melewati Cijahe. Dan menurut informasi sang supir dan kebetulan saya duduk samping pak supir, bang Ahmad meminta sang supir untuk mengantarnya sampai ke Cinangerang dan melewati jalan Bojong Manik, bukan Cijahe. Oohhhhh gituuuuw.
[caption id="attachment_297773" align="aligncenter" width="300" caption="Inilah Elf mobil yang disewa sampai Cinangerang (koleksi pribadi)"]
Untuk mencapai menuju ke Cinangerang masih tetap sama dengan jalur menuju Ciboleger, hanya saja ketika sampai di persimpangan jalan ada sebuah tugu yang menunjukan arah Ciboleger belok kiri dan arah Bojong manik tetap lurus sampai akhirnya kurang lebih satu jam perjalanan setelah melewati persimpangan terlihat papan petunjuk menuju wisata baduy dengan kondisi jalan tidak beraspal(berbatu) tetapi masih dapat dicapai dengan mengunakan kendaraan sampai akhirnya berhenti disebuah warung sederhana dan beberapa orang Cibeo (baduy dalam) sudah menunggu disana.
Beberapa anak kecil kampung Cibeo nampak ikut di dalam rombongan penjemput dan apabila dihitung rombongan penjemput kami berjumlah dua belas orang. Beberapa dari mereka masih saya kenali wajahnya terutama bang Sanip yang merupakan poter setiaku di trip terdahulu dan dialah yang pertamakali menyapa aku meskipun pada saat itu saya mengenakan kacamata hitam.
[caption id="attachment_297780" align="aligncenter" width="300" caption="Warung Sederhana milik teteh (koleksi pribadi)"]
Warung sederhana milik pasangan suami istri yang biasa dipanggil teteh ini merupakan warung yang berdiri diperbatasan antara perkampungan penduduk lokal dengan Baduy luar . Si teteh prmilik warung ini segera menyediakan beberapa gelas air teh manis dan membuatkan makan siang sebelum melanjutkan ke desa Cibeo. karena pada hari tersebut si teteh belum ke pasar, maka diputuskanlah membuat mie instant dan nasi hangat sebagai lauk makan siang kami berdelapan berikut dua belas orang Cibeo yang dipimpin oleh bang Sanip.
[caption id="attachment_297782" align="aligncenter" width="300" caption="Tungku untuk memasak Mie Instant (koleksi pribadi)"]
Disebelah kiri warung teteh yang sekaligus sebagai tempat tinggal terdapat sebuah ruangan kecil yang apabila menengok lebih dekat lagi ternyata dipenuhi oleh tumpukan jahe. Ketika saya bertanya ternyata jahe ini merupakan hasil dari pertanian orang Baduy itu sendiri dan pada saatnya setelah jahe yang dibeli seharga Rp. 5.000,- perkilo dari petani baduy oleh si Teteh akan disalurkan ke pemasok dari Cinangerang untuk didistribusikan ke pengecer.
[caption id="attachment_297786" align="aligncenter" width="300" caption="Tumpukan jahe hasil bumi orang baduy (koleksi pribadi)"]
Sembari menunggu teteh memasak, ibu Nurul yang merupakan peserta paling sepuh ( 57 tahun)Â dari kami semua, meminta kepada suami dari teteh untuk membuatkan sebuah tongkat agar memudahkan dalam perjalanan menuju kampung Cibeo sedangkan peserta lainnya bersenda gurau dengan orang baduy karena rasa penasaran akan pertama kalinya berjumpa langsung dengan orang baduy. Dan saya sendiri merebahkan badan untuk melepaskan penat sebelum melanjutkan perjalanan kaki yang konon lebih pendek (2 jam) .
[caption id="attachment_297792" align="aligncenter" width="300" caption="Mba Wening sedang bercengrama dengan orang Cibeo (koleksi foto diambil dari kamera mas Eko)"]
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H