Mohon tunggu...
Galih Wicaksono
Galih Wicaksono Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Pemula

Literasi Generasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bung Besar: Dari Marhaenisme, Soekarnoisme, hingga De-Soekarnoisasi

6 Juni 2022   07:59 Diperbarui: 6 Juni 2022   08:04 1830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Animasi merupakan karya penulis, dengan menggunakan aplikasi editing gambar

Tanggal 6 Juni merupakan salah satu hari yang penting untuk diingat, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah peradaban Bangsa Indonesia. 

Sejarah mencatat, 6 Juni merupakan tanggal kelahiran Sang Putera Fajar yang kelak akan menjadi pemimpin pertama Bangsa Indonesia. Ir. Soekarno merupakan salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam sejarah peradaban Bangsa Indonesia. Pengaruh yang dimiliki oleh Bung Besar, bahkan masih terasa hingga saat ini. 

Terlepas dari banyaknya politisi keturunan sang Proklamator yang aktif hingga saat ini, pengaruh Bung Karno di Indonesia menjadikan Indonesia dan Soekarno sebagai dua hal yang identik dalam beberapa aspek.

Dalam kesempatan ini, penulis akan membahas 3 hal yang berkaitan dengan Sang Orator Ulung. Ketiga hal tersebut adalah Marhaenisme, Soekarnoisme, dan de-soekarnoisasi. Ketiga hal tersebut merupakan tiga aspek, yang berkaitan erat dengan perjalanan pengaruh Bung Karno dalam sejarah peradaban Bangsa. Berikut adalah penjelasannya :

  • Marhaenisme

Marhaenisme merupakan konsep ideologi yang digagas oleh Bung Karno pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Esensi kata Marhaenisme sendiri, hingga saat ini memiliki 2 versi yang berbeda. 

Dalam versi pertama, kata marhaenisme diambil dari nama seorang petani (yang bernama Aen dan kemudian dipanggil oleh Bung Karno dengan "Mang Aen) yang menggarap lahannya dengan peralatan sederhana yang dimilikinya. 

Sedangkan dalam literatur lain, marhaenisme merupakan sebuah akronim dari Marx , Hegel, dan Engels. Sehingga marhaenisme menurut versi kedua, merupakan sebuah ideologi yang berpijak pada pandangan Hegel yang didukung oleh Karl Marx dan P. Engels.

Dalam kesempatan yang lain, dijelaskan juga bahwa marhaenisme merupakan sintesis ajaran Marxisme yang digagas oleh Karl Marx. Pandangan ini merupakan suatu argumentasi, yang didasarkan pada fakta bahwa Bung Karno sedikit banyak terpengaruh gaya pemikiran Karl Marx melalui karya-karya Marxisme-nya. 

Terlepas dari adanya dua versi asal-usul tersebut, marhaenisme adalah ideologi perjuangan yang berlandaskan Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam perspektif Bung Karno. Kata marhaen dalam marhaenisme sendiri, secara harfiah memiliki makna yang hampir sama dengan kata proletar. 

Cahyono dan Alhakim dalam bukunya yang berjudul "Ensiklopedi Politika", menjelaskan bahwa marhaen adalah sebutan untuk rakyat Indonesia yang miskin, jembel, dan menderita karena penjajah, tetapi masih memiliki harga diri dan menentang segala bentuk penjajahan.

Sedangkan kata proletar oleh Cahyono dan Alhakim, didefinisikan sebagai proletarrius (rakyat jelata atau warga negara yang berada pada kelas terendah). Cahyono dan Alhakim kemudian mengutip penjelasan P. Engels dan Karl Marx tentang proletar. P. Engels menyatakan bahwa proletar merupakan kaum penerima upah yang diperas, yang keseluruhan hidupnya bergantung pada pekerjaan yang dilakukan. 

Sedangkan Marx menegaskan bahwa kaum proletar merupakan kelompok masyarakat terbesar, yang harus merebut kekuasaan kapitalis untuk membentuk masyarakat yang tidak diklasifikasikan berdasarkan kelas-kelas. Soekarno sendiri menyatakan bahwa marhaenisme merupakan metode perjuangan dan asas yang menghendaki penghapusan kapitalisme dan imperialisme.

  • Soekarnoisme

Besarnya peran Bung Karno pada masa pra-kemerdekaan hingga masa-masa awal kemerdekaan, menjadikan Beliau sebagai salah satu sosok yang berpengaruh besar dalam peradaban Bangsa. 

Selain dikenal sebagai proklamator dan Presiden pertama, Beliau juga dikenal sebagai salah satu negarawan, yang menata dasar-dasar kebangsaan Indonesia. Konsep dan gagasan Bung Karno tentang kebangsaan Indonesia, bahkan bertahan hingga saat ini dalam bentuk Pancasila. 

Konsep-konsep dan gagasan Bung Karno tentang Kebangsaan Indonesia yang demikianlah, yang kemudian ter kodifikasi dalam bentuk "Soekarnoisme". Juti dalam bukunya yang berjudul "Beladjar Memahami Sukarno-isme", menyatakan bahwa Soekarnoisme adalah sebutan bagi ilmu, paham, ajaran, teori, sistem, praktik, bahkan kebiasaan hidup yang ditemukan dan atau dilakukan oleh Bung Karno.

  • De-Soekarnoisasi

Besarnya peran Bung Karno sebagai salah satu negarawan yang berpengaruh, ternyata disikapi lain oleh Jenderal Soeharto selaku suksesinya. 

Sejarah mencatat, kekuasaan Bung Karno selaku Presiden mulai melemah sejak meletusnya peristiwa G30S/PKI. Melemahnya kekuasaan Bung Karno semakin terlihat, ketika Beliau pada akhirnya mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). 

Terlepas dari isinya yang hingga saat ini dianggap kontroversial oleh sebagian masyarakat dan pengamat, Supersemar pada akhirnya menjadi awal mula runtuhnya orde lama Bung Karno dan lahirnya orde baru pimpinan Jenderal Soeharto. 

Sebagai suksesi Bung Karno, ternyata Soeharto tidak terlalu suka dengan besar dan luasnya pengaruh Bung Karno terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia.

Permasalahan inilah yang kemudian mendorong Pak Harto untuk melakukan berbagai macam kebijakan, yang dinilai oleh para pengamat sebagai suatu upaya de-soekarnoisasi atau pelemahan atau penghapusan pengaruh Bung Karno dalam kehidupan masyarakat. Adapun berbagai upaya yang dilakukan oleh orde baru, antara lain adalah :

  • Mengisolasi Bung Karno dari pengikut, simpatisan, dan seluruh masyarakat. Dalam hal ini, orde baru menetapkan Bung Karno sebagai tahanan rumah pada tahun 1967. Dampak isolasi tersebut bahkan mengakibatkan Bung Karno harus mewakilkan kehadiran dirinya kepada Bung Hatta, sebagai wakil pernikahan Guntur Soekarnoputra.

  • Mengganti nama-nama tempat yang mengandung unsur Soekarno. Tidak hanya mengisolasi Bung Karno dari masyarakat, orde baru juga menetapkan kebijakan untuk mengganti nama tempat yang mengandung unsur Soekarno. 

  • Beberapa tempat yang namanya diganti oleh orde baru, antara lain adalah Stadion Gelora Bung Karno diubah menjadi Stadion Utama Senayan, Kota Soekarnoputra diganti menjadi Jayapura, dan Puncak Soekarno diganti menjadi Puncak Jaya.

  • Menghilangkan peran Bung Karno dalam perumusan Pancasila. Sebagaimana yang kita pahami bersama, bahwa rumusan Pancasila yang digunakan saat ini merupakan rumusan yang digagas oleh Bung Karno. Namun fakta sejarah ini pernah berusaha untuk dihapus oleh orde baru, melalui ide yang disampaikan oleh Nugroho Notosusanto yang saat itu merupakan sejarahwan resmi orde baru dan dekat dengan militer. 

  • Notosusanto saat ini mengusulkan nama Mohammad Yamin, sebagai pengganti Soekarno. Selain berusaha menghapuskan nama Soekarno sebagai perumus Pancasila, tanggal kelahiran Pancasila juga diganti oleh orde baru menjadi 1 Oktober yang saat ini kita peringati sebagai hari kesaktian Pancasila.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun