Kalaupun ada tenggat waktu peringatan hanyalah sebagai alasan formal pelengkap prosedur belaka. Selebihnya seiring berjalannya waktu posisi nasabah betul-betul diujung tanduk untuk menanti proses eksekusi ketika telah masuk definisi kredit macet.
Pada konteks inilah ribuan bahkan jutaan kasus kredit macet yang dialami oleh para debitur tidak pernah menjadi refleksi serius dari pihak Pemerintah untuk proaktif melakukan telaah kritis terhadap regulasi perbangkan yang tidak feer tersebut. Sikap apatis Pemeritah bisa kita pahami karena menggunakan kaca mata mikro ekonomi pragmatis. Sehingga beragam kasus yang menimpa debitur sekedar dipahami kasuistik sebagai bentuk gagalnya pelaku usaha personal. Sikap demikian kemudian akan menuduh banyaknya kasus kredit macet disebabkan oleh gagalnya menejemen usaha yang tidak bagus serta mental si nasabah yang belum siap melakukan bisnis.
Padahal Jika dicermati lebih jauh, posisi nasabah pada saat mengajukan plafon dana pinjaman tidaklah gratis. Mereka datang dan hadir melakukan transaksi sudah dilengkapi prosedur sekaligus mengantongi bukti kepemilikan asset berharga sebagai jaminan. Bahkan nilai agunan ketika ditaksir jelas dua kali lipat jika dibandingkan dengan nilai dana peinjaman yang ia peroleh. Tidak jarang agunaan yang dipertaruhkan tersebut adalah asset satu-satunya yang paling berharga.
Pada kontek ini lagi-lagi peran dan posisi nasabah tidak pernah dimaknai sebagai manusia yang mempunyai potensi dan daya guna berlebih jika dibandingkan agunan yang tidak lebih sebagai barang dan materi. Disinilah kemudian peran dan posisi nasabah kemudian sirna dan lenyap tenggelam oleh transaksi yang memprioritaskan angka yang berujung rupiah yang remeh-temeh.
Pertanyaan kemudian adalah dimana letak akad perjanjian yang mengatasnamakan "kemitraan" setara tersebut bisa dimaknai.
Bagaimana seharusnya konsumen bersikap.
Â
Menyimak gambaran kasus diatas dan mencermati paparan tulisan saudara Irwan Rinaldi Sikumbang maka sudah saatnya diperlukan perombakan paradigma visi perbankan di Indonesia.  Selain itu peran dan keterlibatan Pemerintah juga harus proaktif untuk mencermati sekaligus merefleksikan penderitaan ekonomi mayoritas  kelas menegah kebawah.Karena sejatinya diatas penderitaan merekalah kondisi riil perekonomian Indonesia bergerak. Bicara dan pembahasan nasib dan masa depan ekonomi bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari keterlibatan mereka sebagai mayoritas tertindas hingga hari ini.
Menanggapi kasus boikot debitur yang ada di Palu pasca bencana terhadap bank, penulis rasa sudah logis dan wajar adanya. Pertama jika dilihat dari cara berfikir normal dan nalar sehat, keberadaan  mereka  yang sudah ditimpa musibah parah maka sangat mustahil untuk dituntut tanggung jawab. Alih-alih disuruh membayar cicilan, untuk sekedar hidup saja sudah kesulitan karena menggantungan hidupnya pada uluran bantuan dari pihak luar. Akal waras manapaun akan berfikir bahwa kerugian yang mereka tanggung tidak hanya materi. Namun kerugian yang tak  terhitung adalah hilangnya anggota keluarganya yang meninggal dunia.
Cobalah pihak perbankan sedikit jernih dan logis bagaimana jika Musibah tersebut menimpa orang-orang yang merasa sok-sokan yang masih merasa bahwa musibah tersebut bukan bagian dari dirinya. Â Jelas sekali sikap asal tuntut dari perbankan tersebut sungguh menistakan penderitaan saudara sendiri sesama warga bangsa. Yang ada dalam kepala mereka adalah uang uang dan uang dengan dalih disiplin profesi. Namun bisakan mereka berfikir jika musibah tersebut merenggut anak-anaknya istri dan sadaranya tercinta. Apa yang terlintas dalam pikiran orang-oarang sombong tersebut.
Kedua kalaupun mereka akan diberi suntikan dana segar yang berstatus pinjaman maka sama saja dengan memperpanjang derita dan beban berat yang akan ditanggung dalam jangka panjang.