Mohon tunggu...
kusnun daroini
kusnun daroini Mohon Tunggu... Petani - Pemerhati sosial politik dan kebudayaan dan sosial wolker

Pemerhati / penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengintip Suksesnya Nadiem Makarim Menjadi "Raja Ojek"

8 Maret 2018   03:47 Diperbarui: 8 Maret 2018   17:12 3388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Sehingga mensikapi arus besar tersebut kita harus punya double cover untuk menyiasatinya. Pertama kita harus mempunyai sistem "filter-analisis" yang kuat tajam dan berdayaguna. Dengan membekali piranti paradigma keilmuan yang mempuni dalam banyak hal, sudah otomatis sistem filter itu akan menjaga nalar dan rasa kita dalam posisi yang "aman dan nyaman". Karena kita betul-betul bisa "berselancar" diatas gelombang informasi sedahsyat apapun.

Kedua, bagaimanapun dunia maya adalah sebuah keniscayaan ruang dan waktu. Jangan anggap bahwa media apapun termasuk medsos adalah sesuatu yang hadir natural. Ketika kita mengakses dengan media resmi online ataupun offline, kita dihadapkan dengan dua kepentingan besar di balik media yaitu kepentingan ekonomi dan politik kekuasaan yang membentuk isi (konten) dari berita yang menaneksasi secara sepihak. Tidak ada dialog antara si pembuat berita dengan pemirsa, yang ada adalah monolog.

Belum lagi kita berhadapan dengan media "rimba-raya" lainnya seperti Facebook, Twitter, Instagram, WA dan yang lainnya. Namun di balik itu semua medsos ataupun media konvensional harus kita sikapi sebagai kekuatan di mana hulu ledaknya melebihi meriam, bom bahkan bom atom sekalipun. Relitas media sosial hari ini menjadi kekuatan  raksasa yang sangat menetukan baik buruknya  masa depan bangsa kedpan. Karena sudah hampir seratus lima puluh juta penduduk Indonesia sudah memegang gawai.

Inilah realitas yang harus direnungkan dan refleksikan serius secara bersama-sama.   

Bagaimana mengolah berita dan memanfaatkannya sebagai senjata

Fenomena Go-Jek adalah potret yang bisa kita jadikan sebagai gambaran bagaimana segelintir orang mampu menggerakkan ribuan bahkan jutaan orang tergiring dalam satu komando. Nadiem Makarim adalah sosok yang  begitu sempurna dilahirkan dan dibesarkan oleh buaian berkah zaman siber. Ia begitu cerdas, cerdik dan sangat bernas menjadikan dunia serba digital sebagai alat untuk mengoperasikan seluruh gagasannya.

Awalnya, banyak orang yang tidak begitu hirau dengan kemunculan Go-Jek sebagai alat transportasi digital ini. Namun dalam perjalanan siapa sangka bahwa model transporatasi berbasis online ini kebanjiran peminat. Bahkan menjadi bisnis jasa yang begitu fenomenal di zamannya.

Jika menengok sekelumit sejarah sang Pendiri Go-jek ini yang menurut penulis menjadi sesuatu yang perlu kita cermati ada hal mendasar yang menjadi kunci "boomingnya" Go-Jek untuk jasa transportasi di kelasnya.

Pertama, seorang Nadiem Makariem adalah sosok yang boleh dibilang berani melakukakan terobosan dan kiat yang keluar dari tabiaat kebanyakan orang-orang bisnis selevelnya. Logika orang bisnis adalah menggunakan teori bermula dari titik A terus terus berlanjut ke titik Z. Dalam pengertian yang mudah dipahami oleh kebanyakan orang bisnis adalah menyepakati dulu dengan "judul"-nya apa, dibutuhkan modal berapa setelah itu baru dihitung untung dan ruginya.

Teori baku ini ternayata tidak berlaku bagi Nadiem. Bisnis  bagi dia adalah sesuatu yang menyenangkan, inspiratif dan bersifat inovatif dan harus berdampak massif. Berekonomi tidak harus terpisah dan eksklusif dari problem yang ada di sekitarnya. Ambil contoh adalah problem kemacetan di Indonesia. Justru harus ada kiat khusus bagaimana mengupayakan masalah diolah menjadi berkah bersama.

Pada konteks inilah dibutuhkan lompatan berfikir di atas rata-rata. Karena pada saat yang sama ketika khalayak ramai-ramai menghujat dan mengutuknya, dia akan masuk dengan pendekatan yang berbeda. Nadiem boleh dibilang malah menabrak arus dari sikap dan kecendrungan bisnis kelas menegah yang identik dengan kesan kerren, necis, mobil mewah, berkantor elit dan serba lega. Dia malah langsung menjeburkan diri dan "menyelami" di tengah gelombang problem kemacetan dengan segala konsekuensi yang harus ditanggungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun