Dipagi yang belum sempurna, nyaring terdengar suara  kas pojok bilik rumah. Satu dua peralatan beradu ibarat suara perkusi indah mengusik ketelinga. Gemanya menggugah dan menyingkap rasa malas yang membaluri sekujur tubuh dengan selimut. Karena kuatnya dekapan dingin merasuk ketulang sumsun. Aroma harum khas ramuan dapur masakan menyeruk masuk bertarung dengan desiran angin dari puncak lereng Gunung  Sumbing.
Rupanya itu adalah si Mbok yang sudah siaga sebelum ayam berkokok bersahutan. Ditemani suara gemericik pancuran air dapur yang terus mengalir, menambah eksotisnya  suasana. Pagi buta itu disulap menjadi ritual harian simbok yang indah mengasikkan.
Sesekali suara lantang sedikit serak menggedor rasa malas yang terus menyelimuti anak-anaknya. "Do ra butuh tangi po yo, arep do subuhan pora... kae srengengene wis arep menthor-menthor ". ( Ayo...pada gak butuh bangun ya, Mau sholat subuh pa nggak, tu lihat matahari dah mulai muncul).
Tidak selang lama periuk nasi dan lauk ala kadarnya sudah berjejer rapi menghiasi meja makan. Suasana dingin pagi itu mendadak sirna dengan kepulan uap nasi putih dan aroma gurih khas tempe goreng Magelang siap disantap. Tidak ketinggalan ceret seduan teh andalan selalu ada, dan memang harus ada sebagai lagu wajib menemai  saben harinya.
Yach.... itulah rutinitas si Mbok yang tekun dan teguh dilakukan tanpa mengenal hari libur dan tanggal merah. Sebuah ketulusan surga pagi hari  beliau suguhkan disetiap hari tanpa mengenal rasa lelah apalagi gundah.
Satu persatu dari kelima anaknya mulai bermunculan dari bilik kamar. Bahkan ada sebagian lain yang terhenyak kaget bergegas bangun dari ruang tamu. Karena semalaman habis nonton film akhir pekan andalan TVRI kala itu, Â bersama teman dari anak tetangga sebelah.
Maklum rumah kami sudah menjadi langganan dari teman-teman untuk ikut bermalam sekedar ngobrol kemudian terlelap tidur dikursi-kursi tamu. Sebagian lain berselonjor tidur dengan menggelar tikar mendong dilantai. Sebuah pemandangan mirip ketika dibarak-barak pengungsian.
Rumah simbok sejak dari dulu seingat saya sudah menjadi langganan bagi para saudara dan kerabat dekat untuk singgah dan bermalam tiap harinya. Â Saya kira ini bukan persoalan karena ada vasilitas TV disitu.Â
Maklum diera awal-awal 80 an TV menjadi barang langka dan  berharga. Padahal dirumah sebelah Miliknya  Pak Kajipun juga ada TV. Bahkan dengan ukura inc yang lebih besar. Makhlum karena di sana dikenal sebaga orang terpandang, tokoh sentral dan panutan di kampung kami. Pertanyaanya mengapa orang-orang tidak berbondong bondong kesana. Tapi sebaliknya malah lebih memilih ngedumel dan bercengkerama hingga larut malam di rumah si Mbok..
Bukan cuman itu saja bahkan teman-teman dari tetangga desapun juga menyempatkan dolan dan terkadang ikut bermalam juga.
Ketika masih kecil pertanyaan  tersebut belum sempat mengusik dibenak saya. Belakangan ini saja disaat kami sudah berkeluarga saya mulai menemukan jawabannya. Ternyata itu semua kuncinya tetap kembali pada figur si Mbok. Dari yang saya amati ternyata beliau menerapkan sikap keterbukaan dengan siapapun dengan ketulusan dan keceriaan. Sebuah rasa solidaritas yang begitu dalam dan membekas tanpa batas.