Sang Maestro, Lahir dari Intuisi (rahim Kompasiana), Bukan Akademisi

Bersenyawa dengan "air jernih" yang mengalir.

Benar kata orang bijak bahwa hidup itu adalah misteri yang cukup rumit untuk diungkap. Manusia hanya bisa mengintip dengan celah yang sangat sempit dan dengan teropongan mata buram. Dengan sebuah kesimpulan bahwa setiap orang tidak akan mampu mengerti apa yang terjadi pada besuk hari.

Pikiran diatas biasanya akan muncul secara tiba-tiba, disaat kondisi lagi tidak stabil dan galau. Atau bahkan sebaliknya, Ia akan menyembul keluar disaat kita lagi termenung duduk diatas gunung untuk meneropong jauh kedepan. Ada pertanyaan-pertanyaan klise yang terkadang juga sulit untuk menjawabnya. Misal, mau kemana sich sebenarnya hidup ini mau kita jalankan, mengapa hidup tidak seideal yang kucita-citakan, untuk apa hidup ini dijalani,  Mengapa kita harus berfikir tiada henti. Dan mengapa juga setiap masalah yang kita pikirkan tidak serta merta menemukan solusi yang begitu indah seperti layaknya sebuah tayangan sinetron yang bersambung.

Namun dari deretan pertanyaan tersebut, ada satu pertanyaan yang bagi saya nampak sedikit terang dan terkuak misterinya. Yaitu, mengapa saya tertarik dan terpikat dengan kompasiana. Jawaban dari pertanyaan ini bisa saya ibaratkan mengapa  saya harus suka dengan "air jernih yang mengalir". Ya, saya kira tepat sekali. Metafora  air jernih yang mengalir. Satu  pilihan dari sekian banyak air mengalir yang mayoritas ditengarai terkontaminasi oleh beragam unsur yang sarat dengan racun dan limbah. Sehingga dapat dipastikan tidak layak konsumsi karena tidak ramah lingkungan dan kesehatan. 

Menurut hemat saya, Kompasiana sudah "ada, berada dan mengada" pada saat dan momentum yang tepat sekaligus akurat. Istilah  momentum juga relevan ketika saya kaitkan dengan perasaan  gerah dan gusar  belakangan ini  menyikapi menjamurnya Media Massa, baik itu media cetak ,on line ataupun media elektronik yang lain. 

Karena jika dicermati dengan sikap mendalam dan jauh kedepan, mayoritas konten berita dan efek wacana yang tertular ke publik sudah tidak mengindahkah isi berita yang "berimbang". Apalagi berorientasi "cerdas-mendidik" bertumpu untuk semua kalangan tanpa muatan tendensius. Sekali lagi, untuk era pasca reformasi ini sangat sulit kita cari. Kalaupun ada hanyalah dalam hitungan jari. Secara otomatis Kompasiana sudah masuk dalam kategori yang saya sebut terakhir. Sebagai ruang komunikasi yang "alternatif" sekaligus berupaya "mencerahkan" suasana yang lagi pengap dan gelap gulita oleh kepungan arus media utama yang sarat muatan pragmatis dan politis..

Menurut pengalaman saya sendiri, Kompasiana tetap menjadi "oase" yang menggembirakan dan melegakan.  Ketika saya menjatuhkan pilihan berselancar di kompasiana, memori saya selalu tertuju pada berita harian cetak Kompas. Saya sendiri juga tidak mengerti mengapa arus pemikiran terus mengajak Flashback ke era "tempoe doeloe" disaat masa yang penuh dengen gegap gempita. Jujur saja ketika mulai masuk dipelataran bangku kuliah sejak tahun 1997 sudah tidak bisa lepas dari Media koran harian "Kompas". Bicara media Cetak pada waktu itu ya koran Kompas. Rasa haus akan berita, lunas seketika membaca koran kompas. Bahkan seingat saya, berlangganan harian kompas sudah berlangsung bertahun-tahun sebelum maraknya sistem informasi digital. Belakangan ini saja, penulis tidak tertib lagi secara of line. Namun segera saya lunasi   di media harian on linenya.

Masih terasa segar dalam ingatan, bagaimana "sepinya" wacana alternatif pada waktu itu jika tidak berlangganan Kompas. Makhlum di era 90 an adalah tahun-tahun politik. Perkembangan politik dalam hitungan detik. Media cetak laris bak kacang goreng. Saya rasakan bagaimana kehadiran kompas betul-betul menjadi "kompas" kemana Republik ini mau melangkah. Bahkan setiap diskusi yang saya gelar rutinan bersama teman-teman kala itu terasa belum final jika belum membacanya. Tidak jarang ujung dari diskusi issu-issu aktual kemudian melahirkan sikap untuk "turun jalan" alias demonstrasi.

Indah betul, bagaimana aksi-refleksi menyatu dalam wacana yang hidup dan menggairahkan. Dan jujur saya akui "kompas" turut berjasa dalam melecut keberanian bersikap untuk "melawan" Rezim kekuasaan pada waktu itu. Keberanian dan kecerdasan membuat manifesto, juga terlahir dari tajamnya piranti analisis berita yang digunakan waktu itu.

Benang Merah itu sekarang adalah " Kompasiana".

berita-admin-1-59eec9b196bb087f321f4954-5a144804ca269b6e8904b282.jpg

Era kebangkitan tersebut sekarang mulai menggeliat kembali berkat kompasiana. 9thKompasiana adalah momentum bagi saya untuk beranjak kembali  menyikapi situasi dengan kritis dan dewasa. Walaupun dengan suasana dan zaman yang berbeda. Namun bagi saya keberadaan Kompasiana sudah mampu saya jadikan sahabat setia untuk kembali bersenyawa menyapa dunia.  Wacana dan pengetahuan memang bisa didapat sekaligus  dalam satu genggaman jika kemauan dan keberanian untuk berbenah tidak terasa lelah.

Tanggal 31 Oktober 2017 adalah hari yang cukup bersejarah, minimal untuk diri saya sendiri. Karena saya resmi terdaftar menjadi kompasianer. Ini merupakan kebahagiaan tersendiri bagi saya. Kesekalian kalinya aku harus berucap dengan segala hormat dan bangga pada Kompasiana.  Dengan ulang tahunnya yang kesembilan, Kompasiana nampak sudah tegar dan matang. Karena sudah melewati masa satu windunya. 

Barangkali pepatah lama tentang padi semakin tua semakin berisi terkadang  tidak berlaku bagi kompasiana. Karena menurut saya mudanya usia bukan berarti belum bernas dan layak untuk dipetik dan di rayakan. Hal ini bisa dibuktikan prestasi kompasiana yang sudah mengantongi 250.000 anggota yang  kemudian disebut dengan istilah kompasianer. Dari jumlah pengikut sebanyak itu yang membuat kita bangga karena didalamnya  rata-rata sebagai penulis produktif dan berkualitas pada bidangnya.

Dalam hal menilai dan merefleksikan 9thKompasiana saya tidak berani terlalu jauh menilainya. Sikap hati-hati dan tahu diri ini saya utamakan dalam tulisan ini. Karena sebagai kompasianer yang belum genap satu bulan sebagai anggota Kompasiana, maka saya ibaratkan seonggok bayi merah yang belum bisa apa-apa kecuali  hanya bisa disuapin dan disusui. Dengan keberadaan yang masih belia tersebut  maka saya tidak segan-segan untuk selalu menyusu dan berguru kepada kompasianer kategori tersohor dan senior yang sudah berkecimpung lama didalamnya.

Namun dari sekian tulisan para kompasianer dalam merayakan ulang tahun Kompasiana ada satu tulisan yang membuat saya tergelitik yaitu tulisannya Mas Rifki feriandi dengan judul " Tidak Perlu Sembilan, Dan Tidak Cukup Sembilan." Satu ungkapan ringan, tapi sebetulnya filosofis. Mas Rifki, dengan gaya tulisannya yang sedikit clelekan  demikian saya menyebutnya, telah mampu menggugah titik jenuh menjadi titik didih. Kebekuan berfikir lantas meleleh dan cair. Saya termasuk korbannya. Jika diamati betul,  Keistimewaan Kompasianer satu ini dibanding yang lain adalah "metodologi narsis" yang nggak ketulungan. Berbekal dari kenekatan inilah akhirnya berbuah manis.

Ada hikmah besar dari adventurer dunia tulisnya Mas Rifki. Diantaranya adalah memulai sesuatu yang mulia dan berharga tidak harus silau dengan prestasi, pujian, dan obsesi nama besar. Itu jelas akan membebani bagi si pemula. Karena subtansi dari perjuangan adalah "seni menghayati" sebuah proses. Inilah misteri. Karena intuisi adalah sangat dekat dengan ilmunya para wali. Laku proses ini hanya membutuhkan kejujuran seerta keikhlasan dalam melandasi kebaikan untuk orang banyak. Bahasa kerennya adalah rahmatan lil 'alamiin. Cieeh...

Sekali lagi, untuk menuju kesana dibutuhkan kecerdesan dan kejeniusan. Tuhan telah menitahkan Manusia sebagai Kholifah dimuka bumi. Sebuah misteri masih terbentang sangat luas bagi manusia jika mau membuka diri dan berbagi bagi kepada semua insani. Belajar dari para manusia super sang penemu titik titik perubahan besar dunia modern, sebut saja mulai Descartes, Thomas Alfa Edison,Galileo, Isaac Newton, Albert Einstin, Leonardo da Vinci.

 Okelah untuk sedikit bertamasya belajar sejarah sukses orang-orang tersebut, kita intip sang jenius atau yang sering disebut dengan Sang Maestro Dunia Barat. Yaitu Leonardo da Vinci. Multi talenta karena beragam ilmu dia kuasai mulai fisika, biologi, matematika, geografi, botani dan Arsitek ulung. Diapun terkenal dengan Seniman Agung sebagai pelukis dan musikus. Siapa yang tidak mengenal Lukisan Monalisa, te Last Supper, The vitruvian Man. Si jenius peletak dasar-dasar rumus kemajuan peradaban barat.

Dibalik ketenaran dan tersohornya dia karena jasa-jasa dan keilmuannya. Ada proses lain yang sangat mengejutkan bahkan membuat kita merinding mengingatnya. Yaitu dia terlahir bukan dari anak sang raja, hartawan, ataupun bangsawan yang terkenal kala itu. Dia malah terlahir dari rahim seorang ibu petani desa dan sempat juga sebagai penunggu toko lukisan. Yang membuat kita kaget adalah wanita dari desa yang melahirkannya ternyata tidak sempat dinikahi secara resmi oleh calon bapaknya. Sehingga dia lahir kedunia sebagai "anak haram".

Sungguh mencengangkan. Yakh... dia menjadi besar dan  menjadi manusia supper karena proses perjuangan seleksi alamiah dengan tekad untuk merubah sejarah. Hidupnya diarahkan untuk pencarian murni akan kebenaran dan keindahan. Segenap luka, penderitaan, ketersayatan hati, dan sakit strock yang kemudian merenggut hidupnya dia olah menjadi satu kata "cinta". Bagi dia ,"Hidup adalah cara mengolah rasa sakit". Karena di akhir hidupnya dia pernah berpesan yang membuat kita merinding, " Aku tak pernah bosan menjadi manusia berguna".

Di akhir tulisan ini saya ucapkan selamat ulang tahun yang kesembilan bagi Kompasiana. Semoga "ada, berada dan mengadanya" Kompasiana akan mampu memberikan ruang merdeka bagi kreativitas tak terhingga untuk perubahan peradaban bagi ummat manusia. Amiin.

Galih Sukma (Magelang, 21 November 2017).