Tugas PLN adalah menerangi nusantara. Kelihatannya sederhana, ya, tapi dengan Indonesia yang memiliki 23% pulau berpenghuni dari total 13.466 pulau yang terdaftar di PBB (4.038 pulau belum terdaftar) ini atau dengan kata lain sekitar 3000 pulau berpenghuni, bisa nggak ya semuanya teraliri listrik?
Hayo?
Bisa!
Pasti banyak yang mengerutkan kening ya, hehe. Memang belum semua, tapi dengan rencana jangka panjang serta suplai sumber daya manusia terbaik, tidak ada yang tidak mungkin. Kenapa saya bisa memberi pernyataan demikian? Karena saya sedang merasakan bagaimana bekerja dalam sub-unit kecil untuk memenuhi kebutuhan listrik di pelosok Indonesia bagian timur. Hehe. Tidak lupa juga saya memberi informasi bahwa di angkatan-angkatan pegawai baru PLN beberapa tahun terakhir, sudah banyak sekali ‘anak-anak muda’ yang berada di desa, wilayah tertinggal, terpencil, hingga pulau terluar. Kalau saya menyebutkan nama teman-teman seangkatan beserta daerah penempatannya, akan sangat banyak sekali nama daerah pelosok di Indonesia. Yap, demi menerangi Indonesia, tugas mulia harus ditunaikan dimanapun penempatan kita berada.
Saya bekerja di pedalaman hutan Kabupaten Jayapura, berjarak 120 KM dari pusat Kota Jayapura. Lokasi persisnya adalah di Genyem, spesifiknya lagi ada di Distrik Nimbotong. Silakan dicoba search google maps dengan keyword ‘Genyem’, lalu setting mode earth, niscaya teman-teman akan melihat betapa suburnya wilayah ‘Kantor PLN’ saya. Hihi. Yaiyalah, hutan kok. Kantor saya ada di hutan karena merupakan unit pusat listrik PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) dengan sumber Sungai Sermaway, namanya PLTA Orya Genyem 2 x 10 MW. Kalau di Jawa, unit ini termasuk sangat amat kecil sekali banget (kalimat tidak efektif), contohnya di PLTA Cirata dayanya mencapai 8 x 126 MW. Tapi jangan salah, PLTA Orya Genyem ini satu-satunya PLTA sekaligus yang terbesar di Papua.
Lokasi Kantor
Jika perjalanan menuju PLTA diruntut dari Bandara Sentani menggunakan kendaraan mobil, maka sejak 30 menit keberangkatan dari Bandara Sentani, sudah jelas pemandangan kanan-kiri adalah hutan yang rimbun. Sambil sesekali di sebelah kiri ada Danau Sentani yang elok, memantulkan cahaya matahari dengan indahnya.
Saat dulu pertama kali berangkat dari Kantor Wilayah PLN Papua dan Papua Barat sebagai pegawai baru yang belum tahu makan asam garam *ceilah*, yang saya rasakan hanyalah kebingungan. Bingung karena tadinya hidup di Jawa, kok tiba-tiba bisa terbang jauh ke Papua. Eh, mana perjalanan mobilnya masuk ke hutan lagi. Tapi, the journey starts here.
Yap, the journey dimulai dari…
Mengecek handphone di dalam mobil.
1 jam perjalanan.
Telkomsel 3G.
1,5 jam perjalan.
*no service*
Akhirnya saya memilih tenggelam bersama keindahan Danau Sentani.
Dan melanjutkan tidur.
._.v
Setelah 3 jam perjalanan, inilah Power House PLTA, yang juga menjadi kantor saya. Dan pada hari-hari tertentu juga menjadi tempat saya tidur. Haha. Hijau bukan daerah di sekitarnya?
Pernah nggak sih teman-teman ngebayangin hidup tanpa adanya sinyal telepon?
Gimana ya rasanya?
Kalau saya mah nggak usah ngebayangin. It’s happening! Hahaha. Loh kok saya bahagia sih.
Jadi, karena berada di tengah hutan, sinyal telepon tidak terjangkau di daerah ini. No-Signal-Life. Di tengah hutan, tanpa sinyal. Wih, gimana tuh rasanya ya? Coba tanya saya. Tanya sekarang, dong.
Kira-kira bisa nggak ya saya melanjutkan hidup tanpa sinyal?
Jawabnya: bisa. Alhamdulillah, pegawai PLN memang masa pendidikan dan latihannya ditempa harus siap berada dalam kondisi apapun, serta melaksanakan tugas yang telah diamanahkan, sehingga apapun rintangannya, harus diterjang. Beserta kesulitan ada dua kemudahan, saat kehilangan sinyal, alhamdulillah di kantor ada VSAT (Very Small Aperture Terminal) atau jaringan internet menggunakan sinyal satelit. Intinya seperti itu. Dan kecepatan aksesnyaaaaaaaaa… 50 Kb/s sudah membuat saya tersenyum bahagia.
Kenapa bahagia?
Sebab kami pegawai PLN yang berada di tengah hutan tanpa sinyal, masih bisa menghubungi keluarga meskipun untuk mendapatkan sinyal internet harus berada di kantor, karena mess pegawai yang berjarak 300 meter dari kantor tidak mendapat akses VSAT. Kami belajar mensyukuri segala yang ada. Jadi, berbahagialah teman-teman yang dengan mudah mendapatkan akses internet dimanapun kalian berada. Sebab jika pegawai PLN yang kondisinya semacam ini ketika bertugas di lapangan (tiang listrik yang berada di tengah hutan) tidak dapat menghubungi keluarganya, sebaliknya keluarganya pun tidak tersambungkan jika menghubungi mereka; atas kondisi seperti ini, kami hanya bisa berdoa agar keluarga yang nun jauh di sana selalu baik-baik saja.
Tapi ada secuil keajaiban, ada hot-spot lain di sini.
Daily Life dan Pekerjaan
Teman-teman pegawai PLN di sini hanya berjumlah 31 orang, 3 S1, 2 D3, dan 26 lulusan SMA/K. Kami bahu membahu untuk menjaga agar listrik di rumah-rumah pelanggan tetap menyala, meski di dalam hutan, tidak mengurangi profesionalitas kami untuk bekerja. Apalagi mengenai safety. Hal ini disebabkan jarak menuju Puskesmas terdekat adalah 30 menit, dan menuju Rumah Sakit di Kota Jayapura bisa memakan waktu 3 jam perjalanan. Tentu akan sangat mengkhawatirkan jika ada kecelakaan kerja saat melakukan pekerjaan.
Terpikirkan nggak bagaimana cara kami makan? Pakai sendok? Bukan. Maksudnya makanannya didapat dari mana begitu. Karena di depan kantor jangan berharap ada yang jual siomay, cilok, batagor, tahu gejrot, atau gula kapas. Jadi, ada sebuah surga kecil bernama Nimbokrang. Nimbokrang ini adalah distrik terdekat dari kantor, tempat puskesmas tadi berada. Nimbokrang adalah wilayah transmigran yang berasal dari Jawa, jadi tidak heran daerah ini juga disebut sebagai kampung Jawa. Awalnya saya sempat kaget saat Sholat Ied di sana (Yeah, pegawai PLN harus rela Idul Fitri tidak di kampung halaman) karena orang-orang mengobrol dengan bahasa Jawa. Haha.
Di Nimbokrang ini alhamdulillah masih ada swalayan kecil, pom bensin yang tidak jelas jam bukanya, dan warung-warung makan dengan rahasia dapur lidah Jawa. Lumayan lah untuk sedikit mengobati rindu. Bahkan kalau saya selesai makan di Nimbokrang dan mau bayar ke Ibu penjual kadang saya bilang, “Sampun, Bu,” (Sudah, Bu). Hahaha ini di Papua atau di Jawa sih. Untunglah harga di sana masih lumayan normal, Lalapan Ayam Rp 25.000,00, Nasi Telor Rp 15.000,00. Mahal ya? Iyalah kalau dibandingkan dengan harga Jawa. Haha. Itulah kenapa sesama pegawai PLN jangan iri dengan tunjangan kemahalan Papua, orang di sini harganya dua kali lipat harga pada umumnya kok. Hehe. Harus pinter-pinter nabung untuk bisa pulang kampung. :”)
Dapur Kantor mengebul hasil belanja bahan makanan di Pasar Nimbokrang dan dimasak oleh Oma kantin kantor yang senantiasa memasakkan kami untuk menjaga kami tetap hidup. Terimakasih Oma.
Anyway, dikarenakan di mess tidak ada sinyal, banyak teman-teman pegawai yang tidur di kantor. Para fakir-fakir internet. Haha. Mau bagaimana lagi, kami kebanyakan termasuk generasi millenials. Meski begitu, ketika mesin ada gangguan, kami bekerja tidak kenal waktu. Tidak peduli apa yang terjadi di luar sana, apakah itu cacian orang, kritik yang tidak berdasar pengetahuan, atau apapun yang sejenisnya, kami selalu melakukan yang terbaik. Meski jika listrik menyala kami tak menuai pujian, karena memang kami hanya menjalankan tugas, dan menerima pujian memang bukanlah salah satu tugas kami.
Hiburan
Saya tidak dapat menuliskan banyak tentang hiburan yang ada di kantor. Hahaha. Tapi yang pasti, teman-teman harus punya stock film atau drama Korea yang banyak, agar tidak stress. Karena berada di lingkungan yang sepi tanpa ada pusat keramaian bisa memicu stress ringan (nggak tau sih teori dari siapa kayaknya ngarang). Atau yang paling mudah adalah dengan pintar-pintar menghibur diri sendiri.
Epilog
Jadi… Begitulah cerita singkat pegawai PLN di pelosok hutan. Masih banyak pegawai PLN yang berjuang dengan kondisi serba minim, tapi tetap memberikan yang terbaik. Semoga kita selalu bersyukur dengan apa yang kita miliki, termasuk listrik yang kita nikmati, karena dibalik listrik yang menyala, ada keringat yang mengucur, ada nyawa yang terancam, ada waktu yang tercurah, ada rindu yang belum tuntas, dan ada doa yang selalu bertebaran untuk keselamatan.
Dan semoga yang selanjutnya… Semoga banyak yang baca tulisan ini, banyak yang share, dan semoga saya bisa menang. Karena kalau menang, uangnya saya pakai untuk pulang kampung. Pernyataan ini dibuat dengan sangat amat jujur, tapi semuanya bergantung pada jempol baik hati teman-teman. Sampai jumpa! (:
JE LK2 Angkatan 50.
Facebook: Galih Satrio Nugroho
Twitter: @galihsatrion
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H