Mohon tunggu...
galihridho
galihridho Mohon Tunggu... -

nama saya galih asli gunungkidul. saya seorang penggemar berat MU dan menyukai dunia Broadcasting

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hubungan Bahasa dalam Persepsi Budaya

3 Januari 2016   20:05 Diperbarui: 3 Januari 2016   21:30 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam masyarakat khususnya masyarakat pulau jawa, tentu kita pernah mendengar istilah bahasa krama inggil . Ya, bahasa krama alus dalam bahasa jawa sendiri merupakan tingkatan paling atas dalam segi kehalusan dan kesopanan dalam bentuk maupun struktur kalimat kebahasaan. Jadi tidaklah mengherankan jika penggunaan bahasa krama inggil sangat ditekankan dalam masyarakat jawa secara turun temurun.

Sejak kecil memang orang tua mendidik anaknya agar berkomunikasi dengan orang lain yang lebih tua, mereka dapat berbicara dengan santun dan tetap menunjukkan rasa hormat untuk orang tersebut melalui bahasa krama inggil ini. Dengan menggunakan berbahasa yang sopan dan santun ini, para orang tua mengharapkan anaknya mampu memposisikan dirinya dengan baik dalam berkomunikasi dengan masyarakat. Jadi mereka bisa tahu dan paham jika berkomunikasi dengan teman sebayanya dan orang yang lebih tua tentulah berbeda. Bahkan menurut nenek moyang terdahulu, seorang yang tak mampu berbicara Krama Inggil dalam masyarakat akan mendapatkan cemohaan, sindiran dan cap sebagai orang yang tak berbakti dan durhaka terhadap orang tua.

Jika biasanya dalam berkomunikasi dengan teman sebaya, anak-anak menggunakan bahasa yang non formal dan kurang sopan atau dalam bahasa jawanya disebut bahasa ngoko, maka jika berkomunikasi dengan orang tua haruslah mereka menggunakan bahasa yang lebih sopan yaitu krama inggil agar orang yang lebih tua darinya tersebut nyaman dan merasa dihormati. Jika sudah begitu tentunya dapat meminimalisirkan salah tangkap, kesalahan, maupun konflik-konflik dalam komunikasi. Selain itu persepsi masyarakat pun bisa terpengaruhi melalui penggunaan bahasa yag baik dan benar.

Sebagai contoh sebuah kalimat yang menanyakan akan tidur. Biasanya anak anak menggunakan pilihan kata turu atau micek. Tentunya itu wajar dan tak masalah digunakan jika itu ditanyakan dengan orang yang memiliki derajat dibawah kita. Seumpama dengan adik kita. Namun akan menimbulkan kesan tak sopan dan cenderung kasar bila diterapkan saat berkomunikasi dengan orang yang lebih tua dari kita. Bahkan bisa menjadi konflik, karena kalimat micek merupakan kalimat yang kasar. Pada umumnya kita menggunakan kata sare sebagai pengganti kata tidur ini. selain dari segi bahasa lebih sopan, kata sare lebih enak didengarkan.oleh orang yang lebih tua dari kita dan bisa sebagai bukti bahwa kita menghomati mereka. selain itu ada juga kata tilem sebagai kata ganti tidur. Namun menurut masyarakat jawa, kata tilem ini lebih cenderung digunakan saat komunikasi terjadi diantara orang yang memiliki derajat yang sama. Seperti contohnya antara orang tua dengan orang tua.

Namun seiring berjalannya perkembangan zaman, penggunaan bahasa krama inggil ini jarang kita temukan dalam masyarakat. bak hilang ditelan bumi. Sekarang dapat kita lihat bagaimana seorang anak berkomunikasi dengan orang tuanya seperti berbicara dengan teman sebayanya. Bahasa tersebut seperti tak mencerminkan unggah-ungguh kita terhadap orang yang lebih tua yang seharusnya kita hormati keberadaannya. Bahkan hal itu menular ke perilaku anak yang makin nakal dan melonjak kepada orang tua secara tidak langsung.Karena mereka berpikir orang tua itu sederajat dengan mereka sehingga perlakuan mereka terhadap orang tua mereka terkesan kurang sopan. Sering kali juga, kata-kata kasar sering terucap seolah-seolah mereka berbicara dengan lawan bicara yang memiliki derajat yang sama.

Mereka lupa jika orang tua tentulah memiliki derajat yang lebih tinggi dari mereka. Walaupun sebuah kenakalan itu wajar, namun bila sudah berlebihan tentulah tidak baik. Di masyarakat jawa, seseorang yang tak memiliki unggah-ungguh dalam bergaul tentunya akan mendapat gunjingan dari masyarakat. Apalagi jika dalam berbahasa mereka tak mampu membedakan dengan siapa lawan bicara mereka. Disinilah sebenarnya fungsi utama kenapa kita dianjurkan untuk mampu menguasai bahasa krama inggil ini dalam masyarakat, terlebih dalam masyarkat pulau jawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun