Teori normatif pertama kali diusulkan oleh Fred Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm dalam buku mereka yang berjudul "Four Theories of the Press". Pada awalnya, istilah "Teori Normatif" diperkenalkan di Amerika Serikat pada puncak Perang Dingin melawan komunisme dan Uni Soviet. Sering disebut sebagai teori media massa Barat, teori normatif menggambarkan cara ideal bagi sistem media untuk dikendalikan dan dioperasikan oleh pemerintah, otoritas, pemimpin, dan publik. Teori-teori ini pada dasarnya berbeda dari teori komunikasi lainnya karena teori normatif tidak memberikan penjelasan atau prediksi ilmiah. Teori-teori normatif lebih fokus pada hubungan antara pers dan pemerintah dibandingkan hubungan antara pers dan audiens. Teori-teori ini lebih menekankan pada kepemilikan media dan siapa yang mengendalikan pers atau media di suatu negara. Pada saat yang sama, "Four Theories of The Press" ini berasal dari berbagai sumber, bukan dari satu sumber tunggal. Terkadang praktisi media, kritikus sosial, dan akademisi juga terlibat dalam mengembangkan teori-teori normatif ini.Â
Dalam pengembangan teori-teori normatif media, meskipun biasanya negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin memiliki tradisi budaya dan filosofis yang kaya, mereka belum mengembangkan inovasi besar dalam teori media normatif. Kontribusi yang relevan dari para sarjana negara-negara berkembang umumnya masih mencerminkan Four Theories atau revisinya, yang dapat menjadi bukti adanya ketergantungan intelektual. Perspektif Islam, misalnya, tidak hanya mewakili konsep etika media (Mowlana 1989) tetapi juga teori media normatif yang berbeda. Demikian pula, filosofi moral seperti ubuntu Afrika dengan penekanan pada komunitas dan kolektivitas telah merangsang pengembangan doktrin tentang peran media asli serta peringatan tentang penyalahgunaan doktrin tersebut untuk membatasi kebebasan media dan hak asasi manusia (Christians 2004; Fourie 2008).
Di Asia dan Amerika Latin, terdapat gerakan signifikan untuk menolak model Barat dan mengeksplorasi dasar-dasar etika dan normatif alternatif untuk komunikasi publik. Sebuah contoh adalah konferensi tentang sistem pers di negara-negara Asia Tenggara yang diadakan di Indonesia pada akhir 1980-an, yang menegaskan bahwa "tidak seperti tradisi teori politik Barat yang individualis, demokratis, egaliter, dan liberal, beberapa masyarakat menghargai tradisi konsensual dan komunal mereka dengan penekanan pada kewajiban terhadap kolektivitas dan harmoni sosial" (Mehra 1989, 3). Memang ada alasan untuk membicarakan "nilai-nilai Asia dalam jurnalisme" (Masterton 1996; Xiaoge 2005).Â
Jiafei Yin (2008) menjelaskan secara rinci bagaimana sistem media Asia tidak cocok dengan teori pers yang dikembangkan di Barat. Ia mengusulkan model dua dimensi dengan kebebasan dan tanggung jawab sebagai koordinatnya. Ia mengintegrasikan penekanan budaya Asia pada tanggung jawab ke dalam pemikiran Barat tentang kebebasan. Namun, masih dapat diperdebatkan apakah teori masyarakat dan media yang berbeda telah diartikulasikan dalam konferensi ini, selain dari frasa politik tentang pembangunan bangsa, kebebasan, dan tanggung jawab.
Posisi Media Massa di Indonesia Â
Sebuah survei oleh Markplus Insight pada tahun 2010 menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia cenderung meninggalkan media konvensional sebagai sumber utama informasi. Survei ini menunjukkan bahwa internet telah menjadi pilihan pertama untuk mencari informasi dan hiburan, setelah televisi. Namun, konsumsi media konvensional seperti televisi, media cetak (koran, majalah, dan tabloid), dan radio tetap menunjukkan pola konsumsi yang berbeda. Â Data dari BPS menunjukkan bahwa konsumsi radio menurun, seperti halnya media cetak. Namun, tingkat konsumsi televisi tetap stabil, dan kadang-kadang menunjukkan peningkatan. Oleh karena itu, penggunaan internet tidak mengurangi jumlah pemirsa televisi. Sementara permintaan akan berita sedikit meningkat, sisi penawaran menunjukkan peningkatan yang signifikan, terutama dalam bentuk situs berita online.Â
Banyak konglomerat media yang menambahkan platform online ke dalam bisnis mereka. Misalnya, Kompas Gramedia Group telah mengembangkan Kompas.com, Media Nusantara Citra (MNC) Group memiliki Okezone.com, dan Aburizal Bakrie, yang memiliki dua stasiun televisi (ANTV dan TVOne), memiliki Vivanews.com. Â Grup lain, Tempo Media, yang memiliki majalah Tempo, akhirnya terjun ke bisnis internet dengan mendirikan Tempo.co. Terlepas dari pertumbuhan berita online, televisi tetap menjadi sumber berita utama bagi mayoritas orang Indonesia. Bisnis surat kabar ini bagaimanapun sampai batas tertentu telah berjuang melawan gelombang dotcom.
Di bawah rezim Soeharto, jumlah outlet cetak di seluruh negeri adalah 289, karena politik lisensi yang ketat. Namun, jumlah ini telah meningkat lebih dari empat kali lipat sejak 1998. Pertumbuhan media cetak mencapai puncaknya pada tahun 2001, tiga tahun setelah demokratisasi negara itu, ketika jumlah judul media cetak mencapai 1.881. Itu turun menjadi kurang dari 900 dalam waktu lima tahun. Sejak itu, pertumbuhan telah dilanjutkan, tetapi dengan kecepatan yang jauh lebih lambat.
Digitalisasi
Transisi ke digital dan konvergensi media membentuk kembali lanskap media di Indonesia. Digitalisasi memungkinkan munculnya platform baru, namun juga memicu persaingan sengit antar perusahaan media. Ada kekhawatiran bahwa proses digitalisasi memperkuat kekuasaan konglomerat besar karena kebijakan lebih menguntungkan perusahaan besar dibandingkan pemain kecil.Â